Tim kajian Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik mulai meminta masukan dari para korban UU ITE. Para korban UU ITE berharap diskusi tersebut tak hanya jadi proforma,tetapi bahan kajian untuk merevisi UU ITE.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Tim kajian Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE mulai meminta masukan dari para korban UU ITE. Para korban UU ITE berharap diskusi tersebut tidak hanya menjadi proforma semata, tetapi bahan kajian untuk menyusun naskah akademik draf revisi UU ITE. Dengan demikian, revisi UU ITE bisa diajukan sebagai Program Legislasi Nasional Prioritas 2021 di DPR.
Ketua Tim Kajian UU ITE Sugeng Purnomo dalam keterangan resmi, Senin (1/3/2021), di Jakarta, mengatakan, tim mengundang beberapa korban UU ITE dan pihak pelapor. Sejumlah nama yang diundang itu adalah Baiq Nuril, Saiful Mahdi, Dandhy Dwi Laksono, Bintang Emon, Singky Soewadi, dan Diananta Putra Sumedi. Sementara dari pihak pelapor ada Muannas Al Aidid dan Ade Armando. Mereka sengaja dihadirkan dari beragam latar belakang mulai dari guru, jurnalis, dosen, hingga pigur publik.
“Kami mengundang beberapa narasumber orang-orang yang pernah memiliki pengalaman sebagai terlapor maupun sebagai pelapor di kasus yang terkait dengan UU ITE,” ujar Sugeng.
Pertemuan dengan para korban UU ITE itu dilakukan secara daring dan dibagi menjadi dua sesi pertemuan. Pada sesi pertama, narasumber dibagi menjadi delapan hingga sembilan orang dengan pembicara Baiq Nuril, Bintang Emon, Dandhy Dwi Laksono, dan pembicara lain. Sisanya, akan mendapatkan jadwal dengar pendapat pada Selasa (2/3/2021) mendatang.
“Kami mengundang beberapa narasumber orang-orang yang pernah memiliki pengalaman sebagai terlapor maupun sebagai pelapor di kasus yang terkait dengan UU ITE”
Tim evaluasi juga akan melibatkan narasumber lain dari berbagai klaster seperti aktivis, masyarakat sipil, akademisi, dan pers. Tim juga membuka hotline bagi masyarakat yang ingin memberikan masukan melalui email kajianuuite@polkam.go.id dan SMS/Whatsapp di 082111812226.
Masukan dan pandangan dari korban UU ITE, maupun pihak pelapor akan digunakan sebagai bahan pertimbangan Tim Evaluasi UU ITE, yang terdiri dari dua tim. Satu tim akan menghasilkan panduan UU ITE, sedangkan tim kedua bertugas mengkaji revisi UU ITE.
Langkah nyata
Dihubungi terpisah, aktivis dan sineas film dokumenter Dandhy Dwi Laksono mengatakan, dalam forum tersebut para korban diminta menceritakan kembali kronologis kasus yang dialami. Ada satu narasumber yang tidak datang dalam sesi pertama yaitu musisi Ahmad Dhani. Para korban UU ITE yang diundang dilaporkan melanggar UU ITE, dengan tingkatan proses hukum berbeda. Ada yang diproses di kepolisian kemudian kasusnya menggantung di tengah jalan, ada yang diproses hingga pengadilan.
“Sebenarnya, kasus UU ITE dari para korban yang diundang di sesi pertama ini adalah kasus yang terekspos dengan baik di media. Pemerintah seharusnya juga memberikan perhatian kepada kasus-kasus yang tidak terekspos di media. Tidak harus mengundang korban, tetapi bisa melalui organisasi nirlaba seperti Safenet, ICJR, AJI, maupun LBH Pers. Ini penting untuk mengkaji perspektif hukumnya juga”
“Sebenarnya, kasus UU ITE dari para korban yang diundang di sesi pertama ini adalah kasus yang terekspos dengan baik di media. Pemerintah seharusnya juga memberikan perhatian kepada kasus-kasus yang tidak terekspos di media. Tidak harus mengundang korban, tetapi bisa melalui organisasi nirlaba seperti Safenet, ICJR, AJI, maupun LBH Pers. Ini penting untuk mengkaji perspektif hukumnya juga,” tutur Dandhy.
Setelah diminta menceritakan kronologis kasus, pelapor juga diminta untuk memberikan masukan. Secara tegas, Dandhy mengatakan sikapnya adalah meminta pemerintah mencabut sembilan pasal problematik di UU ITE yang kerap disebut sebagai pasal karet.
Sembilan pasal bermasalah itu di antaranya Pasal 27 ayat (1) tentang konten asusila, Pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik, Pasal 28 ayat (2) tentang ujaran kebencian atau konten yang mengandung SARA, Pasal 29 tentang ancaman dan menakut-nakuti pribadi, Pasal 26 ayat (3) tentang pelanggaran data pribadi, Pasal 36 tentang perbuatan yang merugikan orang lain, Pasal 40 ayat (1) intersepsi atau peretasan, Pasal 40 ayat (2) tentang konten yang mengganggu ketertiban umum, serta Pasal 45 ayat (3) tentang distribusi atau transmisi konten penghinaan atau pencemaran nama baik.
Menurut Dandhy, untuk menjaga demokrasi dan kebebasan berekspresi di ruang digital, sembilan pasal itu harus dihapuskan. Dihapuskannya pasal itu juga tidak akan menimbulkan kekosongan hukum karena normanya sudah ada di Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP). Jika dikaji, pasal-pasal di UU ITE itu bukanlah norma baru. UU ITE hanya menambahkan norma tersebut dengan konteks ruang digital. Bahkan, hukuman pidana yang ada di UU ITE, dengan delik pelanggaran yang sama, justru lebih berat. Ini menunjukkan bahwa UU ITE dibuat untuk membatasi ruang gerak digital, alih-alih memberikan perlindungan.
“Namun, jika tidak ada upaya konkret dari pemerintah untuk membuat naskah akademik dan draft revisi UU ITE, pertemuan tadi tak lebih dari seminar dan kerja kehumasan pemerintah semata. Kami berharap ada aksi nyata setelah menjaring masukan publik”
Dandhy berharap forum diskusi dengan korban ITE tidak hanya menjadi basa-basi politik. Dia berharap ada itikad baik dari pemerintah untuk merealisasikan aspirasi korban dan masyarakat sipil. Jika omnibus law Cipta Kerja yang mengatur 70 klaster setebal lebih dari 1.000 halaman saja bisa selesai dalam waktu 100 hari, revisi UU ITE yang hanya segelintir pasal diharapkan juga cepat diselesaikan. Para korban berharap revisi UU ITE dapat masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021.
Dandhy juga tak sepakat jika pemerintah membuat panduan teknis UU ITE. Sebab, sebenarnya di bawah UU sudah ada peraturan pemerintah (PP) yang mengatur secara teknis pelaksanaannya. Ketika sudah ada PP, kemudian ada pedoman, berarti memang hulu persoalannya ada di substansi UU-nya. Langkah membuat pedoman justru bisa membuat implementasinya semakin bias, dan subyektif antar penegak hukum.
“Namun, jika tidak ada upaya konkret dari pemerintah untuk membuat naskah akademik dan draft revisi UU ITE, pertemuan tadi tak lebih dari seminar dan kerja kehumasan pemerintah semata. Kami berharap ada aksi nyata setelah menjaring masukan publik,” tegas Dandhy menambahkan.