Perekrutan Anggota Kelompok Teroris Masif Saat Pandemi
Kelompok teroris mengeksploitasi krisis sosial-ekonomi yang dipicu oleh pandemi Covid-19 dengan menyebarkan narasi bahwa pandemi ini adalah azab Tuhan. Mereka pun memanfaatkannya untuk merekrut anggota dan simpatisan.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perekrutan anggota dan simpatisan kelompok teroris disinyalir meningkat selama pandemi Covid-19. Mereka memandang bahwa masa pandemi merupakan waktu yang tepat karena pemerintah dianggap sedang lemah dan lengah karena merespons pandemi. Oleh karena itu, program-program kontranarasi perlu didorong kembali untuk memutus dukungan terhadap kelompok ekstremis.
Hal tersebut terungkap dalam ”Laporan Studi Pandemi, Demokrasi, dan Ekstremisme Berkekerasan di Indonesia” yang diluncurkan The Habibie Center saat webinar yang diselenggarakan Senin (22/2/2021). Penelitian dilakukan sejak Agustus-Desember 2020 saat Indonesia memasuki masa pandemi Covid-19.
Program-program kontranarasi perlu didorong kembali untuk memutus dukungan terhadap kelompok ekstremis.
Peneliti The Habibie Center, Sopar Peranto, mengatakan, ancaman radikalisme dan ekstremisme berkekerasan tetap berlangsung di Indonesia selama pandemi Covid-19. Kelompok teroris tersebut bahkan mengeksploitasi krisis sosial-ekonomi yang dipicu oleh pandemi dengan menyebarkan narasi bahwa pandemi ini adalah azab Tuhan. Mereka juga membangun narasi bahwa pandemi merupakan waktu yang tepat untuk melakukan serangan terhadap pemerintah dan aparat keamanan.
Ajakan tersebut sejalan dengan seruan pemimpin Negara Islam Irak Surian (NIIS) di level internasional yang juga berulang kali menyerukan kepada para pendukungnya untuk melakukan serangan dengan memanfaatkan kesibukan pemerintah dalam menangani pandemi. Momentum pandemi dianggap menjadi saat terbaik karena pemerintah sedang lemah dan lengah karena mengerahkan hampir semua sumber daya untuk merespons pandemi, termasuk dari unsur aparat keamanan.
”Kami melihat dampak pandemi memunculkan ruang bagi perekrutan kelompok-kelompok ekstremis karena sedang terjadi kekosongan power negara,” kata Sopar.
Momentum pandemi dianggap menjadi saat terbaik karena pemerintah sedang lemah dan lengah karena mengerahkan hampir semua sumber daya untuk merespons pandemi, termasuk dari unsur aparat keamanan
Kondisi ini, lanjut Sopar, dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok teroris untuk merekrut lebih banyak anggota. Apalagi dampak pandemi di sektor ekonomi mengakibatkan sebagian masyarakat mengalami penurunan pendapatan bahkan kehilangan pekerjaan. Ini dimanfaatkan oleh kelompok tersebut untuk merekrut kader dan simpatisan dengan menawarkan materi dan pekerjaan.
”Program-program kontranarasi perlu didorong kembali untuk memutus dukungan terhadap kelompok ekstremisme berkekerasan,” ucap Sopar.
Analis Kebijakan Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri Brigadir Jenderal (Pol) Ibnu Suhaendra menuturkan, kelompok teroris memandang krisis pandemi sebagai peluang untuk mendapatkan lebih banyak rekrutan, pendukung, dan simpatisan. Perekrutan dilakukan melalui propaganda di media sosial dan menyebarkan konten-konten di internet agar diakses secara luas oleh publik.
Dalam Buletin Al-Naba, media milik NIIS, pertengahan Maret 2020, NIIS mendesak pengikutnya untuk melancarkan serangan saat krisis dan tidak menunjukkan belas kasihan. Bahkan, di Irak, terjadi 556 serangan selama Januari-April 2020 dan terus berlangsung hingga sekarang untuk menunjukkan bahwa kelompok tersebut semakin kuat.
Sejumlah kelompok teror diketahui tetap melaksanakan aktivitas selama masa pandemi. Jama’ah Ansharut Khilafah (JAK) memanfaatkan platform daring Zoom untuk melakukan kajian. Sementara kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) menyebarkan konten video di internet.
Di Indonesia, sejumlah kelompok teror diketahui tetap melaksanakan aktivitas selama masa pandemi. Jama’ah Ansharut Khilafah (JAK) memanfaatkan platform daring Zoom untuk melakukan kajian. Sementara kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) menyebarkan konten video di internet. Model penyebaran video ini sekaligus untuk menunjukkan bahwa eksistensi mereka masih kuat. Sementara Jama’ah Ansharut Syariah (JAS) melakukan aktivitas-aktivitas politik serta program misi medis dan kemanusiaan.
”Kelompok teroris memanfaatkan waktu krisis pandemi tidak hanya untuk menyebarkan ideologi mereka atau melancarkan serangan, tetapi juga menggunakannya untuk memperkuat basis agar muncul lebih kuat setelah pandemi berakhir,” tutur Ibnu.
Pengajar pada Departemen Hubungan Internasional Universitas Indonesia, Ali Wibisono, mengatakan, intensitas serangan kelompok teroris saat pandemi cenderung mengalami penurunan. Salah satunya disebabkan kurangnya aksi teatrikal akibat pembatasan gerak yang mengakibatkan berkurangnya kerumunan masyarakat.
”Meskipun tidak ada serangan, bukan berarti aktivitas terorisme berhenti. Serangan hanya sebagian kecil dari aktivitas kelompok terorisme karena ada kegiatan lain, seperti propaganda, perekrutan, pembinaan organisasi, dan pengumpulan dana,” katanya.
Staf Ahli Media dan Advokasi Wahid Foundation Siti Kholisoh mengatakan, masyarakat sipil memiliki peran penting dalam mengisi kekosongan terhadap hal-hal yang tidak dilakukan oleh negara dalam mencegah bergabungnya masyarakat dalam kelompok teroris. Mereka perlu menjalankan fungsi-fungsi kemanusiaan yang juga digunakan oleh kelompok teroris untuk merekrut anggota baru.