Selama pandemi Covid-19, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme menyebut terjadi penangkapan kepada sekitar 170 orang pelaku terorisme. Sikap intoleran dan paham eksklusif juga tetap menyebar di sekolah.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Sekolah perlu selalu menyosialisasikan paham inklusif, Pancasila, wacana kebangsaan, dan moderasi beragama kepada siswa. Meski suasana pembelajaran berlangsung jarak jauh karena pandemi Covid-19, narasi radikalisme, paham eksklusif, hingga aksi kekerasan berbasis agama tetap berkembang.
Sebelumnya, pada November 2020, kabar pemilihan ulang ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) SMA Negeri 6 Depok dan pengunduran diri salah satu calon ramai dibahas di media sosial karena disertai isu Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan (SARA). Warganet sebelumnya juga dihebohkan kabar viral ajakan memilih ketua OSIS seagama oleh salah satu guru SMA Negeri 58 Jakarta.
Hari Jumat (27/11/2020), di Dusun Lewonu, Desa Lembantongoa, Kecamatan Palolo, Sigi, empat orang yang masih kerabat tewas dibunuh. Enam rumah, termasuk salah satu tempat ibadah, dibakar kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT).
Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ahmad Nurwakhid, Kamis (03/12/2020), di Jakarta, mengatakan, sejak Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2018 diundangkan, penangkapan aksi terorisme mencapai sekitar 535 orang. Selama pandemi Covid-19, terdapat sekitar 170 orang pelaku aksi terorisme yang tertangkap.
Dari kejadian tersebut, menurut dia, anak muda tetap punya potensi terpapar radikalisme. Radikalisme masuk ke berbagai saluran, seperti kelompok rohis di sekolah.
Anak muda (pelajar) sedang proses mencari jati diri dan senang mencari tantangan yang dinamis. Sementara pemahaman mereka, terutama menyangkut keagamaan, belum matang. Akar radikalisme adalah membenturkan dan melencengkan nilai agama.(Ahmad Nurwakhid)
"Anak muda (pelajar) sedang proses mencari jati diri dan senang mencari tantangan yang dinamis. Sementara pemahaman mereka, terutama menyangkut keagamaan, belum matang. Akar radikalisme adalah membenturkan dan melencengkan nilai agama," ujar dia.
Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi menyampaikan, pada akhir 2019, dia sudah mengingatkan bahwa pintu masuk ekstremisme ke sekolah ada tiga jalur, yakni guru, organisasi kesiswaan, dan kurikulum. Guru merupakan aktor penting dalam pendidikan dan biasanya nasihatnya lebih didengarkan pelajar. Jika ada guru madrasah ataupun sekolah yang ketahuan punya paham eksklusif dan radikal, dia meminta guru tersebut dikeluarkan dan tak boleh lagi mengajar.
Hasil studi menunjukkan sejumlah aktor atau pelaku terorisme memasukkan anggotanya ke dalam organisasi kesiswaan di sekolah asal mereka. Anggota tersebut berperan jadi mentor siswa junior. Lalu, mereka leluasa menanamkan paham eksklusif dan radikal.
Kurikulum pendidikan agama dan mata pelajaran lainnya juga bisa jadi saluran menyisipkan paham eksklusif dan radikal. Belakangan, dia mengamati, guru mata pelajaran non agama, seperti ilmu sosial, menebarkan pesan ekstremisme.
Tak sesuai ajaran agama
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia (AGPAII) Mahnan Narbawi mengatakan, AGPAII mengutuk keras tragedi kemanusiaan di Sigi yang menyebabkan korban jiwa dan ratusan warga mengungsi. Perbuatan itu tidak ada dan tidak sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama apapun yang penuh cinta kasih.
Kompetensi inti (KI) pertama dan kedua dalam Kurikulum 2013 memiliki muatan teologis dan ideologis. Muatan teologis pada KI pertama mendorong semua mata pelajaran mampu menguatkan nilai, praktik, pemahaman, dan penghayatan keagamaan siswa. Sementara KI kedua menegaskan sikap yang ingin dimiliki dan dibiasakan yaitu sikap menghargai dan menghayati perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli, dan toleransi.
Mahnan memandang, kelas atau sekolah harus membangun budaya yang menghargai perbedaan dan mengakui adanya keragaman budaya yang bisa dijadikan modalitas sosial. Setiap proses pembelajaran harus menghadirkan, baik paham ajaran, pendapat, maupun agama.
Guru pendidikan agama Islam dan guru lainnya harus punya paham inklusif terlebih dulu. Pemikirannya terbuka dan berwawasan kebangsaan yang luas.
"Guru pendidikan agama Islam dan guru lainnya semestinya memiliki pengalaman berjumpa dengan orang yang berbeda paham dan SARA," kata dia.
Sekretaris Dewan Penasihat Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Jakarta, Jamhari Makruf, mengatakan, beberapa survei PPIM menemukan anak muda sekarang piawai menggunakan teknologi digital. Pergaulan mereka di internet luas. Mereka aktif di media sosial.
"Aktivitas mereka di media sosial susah terkontrol. Mereka bisa saja terpapar paham radikal ataupun intoleran terhadap SARA di media sosial. Fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga Amerika Serikat yang menunjukkan generasi muda mudah terpapar ekstrimisme dari media sosial," ujar dia.
Senada dengan Menag, Jamhari pun punya pandangan senada bahwa radikalisme dan paham eksklusif dimiliki oleh guru-guru yang mengajar bukan pendidikan agama Islam. Oleh karena itu, dia berharap AGPAII bisa berkolaborasi dengan asosiasi guru lain untuk bersama - sama menciptakan program edukasi yang disisipkan narasi Pancasila, paham inklusif, wacana kebangsaan, dan moderasi beragama.
Salah seorang siswa dan pengurus kelompok rohis di SMA Negeri 6 Tangerang Selatan, Banten, Sofyan, mengaku mengikuti program Academy of Show Your Ideas for Peace (ASYIAP) bagian dari Inisiatif Pencegahan Kekerasan (IPK) yang diselenggarakan oleh AGPAII dan The Asia Foundation. Program itu berlangsung tahun 2019.
Baca juga: Ketika Radikalisme Masuk ke Sekolah
Selama ikut ASYIAP, dia menjadi orang yang lebih terbuka dan tidak reaktif terhadap orang lain yang berbeda darinya, termasuk berbeda agama. Sebelum tergabung di ASYIAP, dia sama sekali tidak paham mengapa harus meluruskan isu jihad, khilafah, dan kekerasan atas nama agama.