Irjen Napoleon Bonaparte menilai, jaksa gagal membuktikan dirinya menerima uang suap dari Joko Tjandra. Jaksa hanya mampu membuktikan, Tommy Sumardi, pengusaha yang dekat dengan Joko, bertandang ke ruangannya.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Terdakwa kasus dugaan penghapusan daftar pencarian orang atas nama Joko Tjandra, Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte, membantah telah menerima hadiah atau janji apa pun dari Joko Tjandra. Tuduhan yang hanya berdasarkan keterangan Tommy Sumardi tersebut dinilai direkayasa.
Hal itu diungkapkan Napoleon dalam sidang perkara penghapusan daftar pencarian orang atas nama Joko Tjandra di Interpol, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat, Senin (22/2/2021). Dalam pembelaan pribadi, Napoleon mengatakan, dalam persidangan jaksa penuntut umum hanya dapat membuktikan bahwa Tommy pernah berada di ruangannya selaku Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri.
Sementara, surat-surat dari NCB Interpol Indonesia kepada Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang dijadikan dasar pembuktian tuntutan dinilai Napoleon sudah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Terdapat tiga surat yang dinilai penuntut umum dimaksudkan untuk menghapus daftar pencarian orang atas nama Joko Tjandra, yakni 29 April, 4 Mei, dan 5 Mei 2020.
Dalam pembelaan pribadi, Napoleon menilai jaksa hanya dapat membuktikan bahwa Tommy pernah berada di ruangannya selaku Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri.
Menurut Napoleon, dirinya telah menjadi korban kriminalisasi berupa masifnya pergunjingan publik sebagai bentuk sinisme terhadap kekuasaan yang menimbulkan malpraktik di bidang hukum. Tindakan cepat dan tegas dari Kepala Polri saat itu dengan mencopotnya dari jabatan Kadivhubinter Polri karena dianggap gagal mengawasi, belum memuaskan desakan publik yang lantas berujung pada penetapan dirinya sebagai tersangka.
Dalam rentetan perkara tersebut, surat dari NCB Interpol Indonesia pada 5 Mei 2020 dianggap semakin menyudutkan Polri karena dianggap telah menghapus daftar pencarian orang atas nama Joko Tjandra dari sistem di Kemenkumham. ”Padahal, faktanya NCB Interpol tidak pernah menghapus red notice karena tidak punya kewenangan,” kata Napoleon.
Napoleon mengatakan, Tommy telah merekayasa bahwa uang Rp 10 miliar dibagikan kepada dirinya sebesar 370.000 dollar AS dan 200.000 dollar Singapura atau sekitar Rp 7 miliar serta kepada Brigadir Jenderal (Pol) Prasetijo Utomo sebesar 100.000 dollar AS.
Uang itu disebutkan diberikan karena telah menerbitkan 3 buah surat yang ditujukan kepada Ditjen Imigrasi Kemenkumham untuk menghapus nama Joko Tjandra dari sistem. Padahal, surat itu bukan berisi permintaan penghapusan, melainkan bersifat pemberitahuan sehingga tidak memiliki dampak hukum apa pun.
Selain itu, lanjut Napoleon, keterangan bahwa dirinya meminta uang sebesar Rp 3 miliar yang di kemudian hari naik menjadi Rp 7 miliar hanya didasarkan pada keterangan Tommy. Demikian pula analisis penuntut umum bahwa dirinya membuat surat kepada Ditjen Imigrasi Kemenkumham setelah menerima uang dari Tommy dinilai dipaksakan agar ada motif bagi dirinya untuk membuat surat tersebut.
Padahal, menurut Napoleon, surat-surat tersebut dibuat berdasarkan rapat NCB Interpol Indonesia pada 28 April 2020 karena saat itu diketahui nama Joko Tjandra sudah tidak ada dalam data Interpol. Sebaliknya, surat yang dikirimkannya kepada Ditjen Imigrasi Kemenkumham maupun kepada Kejaksaan Agung pada 12 Mei 2020 adalah langkah yang benar untuk menangkap Joko Tjandra secara legal.
Tidak ada saksi yang melihat pemberian dan penerimaan uang tersebut kepada Napoleon. Barang bukti berupa rekaman video (CCTV) di gedung TNCC Mabes Polri tidak dapat mendeteksi bahwa kantong yang dibawa Tommy adalah berisi uang.
Penasihat hukum Napoleon, Santrawan T Paparang, dalam nota pembelaan mengatakan, berdasarkan keterangan saksi tidak terbukti adanya perbuatan berupa penerimaan uang oleh Napoleon yang disebutkan terjadi dalam beberapa kali. Demikian pula tidak ada saksi yang melihat pemberian dan penerimaan uang tersebut kepada Napoleon. Barang bukti berupa rekaman video (CCTV) di gedung TNCC Mabes Polri tidak dapat mendeteksi bahwa kantong yang dibawa Tommy adalah berisi uang.
”Bahwa rangkaian cerita dari Tommy Sumardi adalah rangkaian cerita bohong. Agar majelis hakim membebaskan terdakwa dari segala dakwaan atau melepaskan dari segala tuntutan hukum,” kata Santrawan.
Dalam perkara tersebut, Napoleon dituntut pidana penjara selama 3 tahun dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan.