Tuntutan Ringan Para Terdakwa Kasus Joko Tjandra Lukai Rasa Keadilan Publik
Tuntutan ringan jaksa yang terus berlanjut bagi mereka yang ditengarai terlibat kasus pelarian Joko Tjandra disayangkan sejumlah pihak. Tuntutan ringan dinilai melukai rasa keadilan publik.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tuntutan ringan jaksa yang terus berlanjut bagi mereka yang ditengarai terlibat kasus pelarian Joko Tjandra disayangkan sejumlah pihak. Tuntutan ringan melukai rasa keadilan publik, terutama karena sejumlah terdakwa berprofesi sebagai penegak hukum. Pemenuhan keadilan publik kini bertumpu pada hakim, seperti telah ditunjukkan dalam vonis atas sejumlah terdakwa di kasus tersebut.
Seperti diberitakan sebelumnya, Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte, salah satu terdakwa dalam kasus penghapusan nama Joko Tjandra dari daftar pencarian orang (DPO) Interpol, dituntut hukuman tiga tahun penjara oleh jaksa. Perwira tinggi Polri yang saat peristiwa itu terjadi menjabat Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri dianggap terbukti menerima uang 370.000 dollar AS dan 200.000 dollar Singapura atau total sekitar Rp 7,2 miliar dari Joko melalui perantara pengusaha Tommy Sumardi.
Dalam kasus yang sama, Brigadir Jenderal (Pol) Prasetijo Utomo dituntut 2,5 tahun penjara. Ia dinilai menerima uang 100.000 dollar AS atau sekitar Rp 1,4 miliar dari Joko melalui Tommy Sumardi. Saat peristiwa ini terjadi, ia menjabat Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri
Tuntutan bagi Napoleon dan Prasetijo itu dinilai terlalu ringan oleh pengajar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar. Saat dihubungi, Selasa (16/2/2021), ia mengatakan, penegak hukum yang ditengarai terlibat kasus kejahatan, apalagi korupsi, seharusnya dituntut lebih berat.
”Tuntutan itu menghina rasa keadilan dalam masyarakat. Penegak hukum adalah orang yang menegakkan hukum dan dia digaji untuk itu. Konsekuensinya, dia harus konsisten. Maka, ketika terjadi penyalahgunaan kewenangan, hal itu menjadi alasan pemberat,” ujarnya.
Ironisnya, menurut Fickar, tuntutan ringan tersebut seperti melanjutkan tuntutan ringan jaksa kepada terdakwa kasus pelarian Joko lainnya.
Dalam kasus pengurusan fatwa bebas untuk Joko, misalnya, salah satu terdakwa, jaksa Pinangki Sirna Malasari, pun hanya dituntut hukuman empat tahun penjara. Beruntung, hakim yang menyidangkan perkara itu melihat status Pinangki sebagai penegak hukum dan menjatuhkan hukuman berat. Pekan lalu, Pinangki divonis hukuman 10 tahun penjara.
Dalam putusan atas Pinangki, hakim bahkan terang-terangan menyebut kalau tuntutan jaksa terlalu rendah (Kompas, 9/2/2021).
Berkaca pada vonis Pinangki tersebut, Fickar pun berharap hakim yang menyidangkan kasus penghapusan nama Joko dari DPO turut menjatuhkan putusan ultra petita atau melebihi tuntutan bagi Napoleon dan Prasetijo. Ia kembali menekankan, kejahatan oleh penegak hukum diharapkan menjadi dasar pemberat oleh hakim agar mereka dihukum maksimal.
”Kita berharap agar majelis hakim tidak terkooptasi dan masih punya kemandirian sebagaimana putusan bagi jaksa Pinangki. Sebab, kejahatannya sama, tindakan korupsinya sama, serta sama pula dalam penyalahgunaan kewenangan,” ujarnya.
Mencoreng institusi
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, juga menilai tuntutan jaksa terhadap para terdakwa yang berprofesi sebagai penegak hukum terlalu rendah. ”Posisinya sebagai penegak hukum seharusnya menjadi pemberatan. Perbuatan mereka mencoreng wajah institusi penegak hukum karena malah bekerja sama dengan pelaku kejahatan,” katanya.
Terlebih kasus tersebut berdampak serius bagi citra penegakan hukum di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia tahun 2020 yang menurun 3 poin di skor 37. Dari rentang 0-100, semakin tinggi skor, semakin dipersepsikan sebuah negara bebas korupsi.
Bahkan, tak hanya kepada mereka yang berprofesi sebagai penegak hukum, Kurnia berpandangan, rekam jejak penuntutan oleh kejaksaan terhadap terdakwa lain dalam kasus-kasus yang terkait Joko pun mengecewakan. Vonis hakim yang lebih berat daripada tuntutan jaksa menguatkan hal itu.
Untuk diketahui, selain para terdakwa yang berprofesi sebagai penegak hukum, terdakwa lainnya pun dituntut ringan oleh jaksa.
Andi Irfan Jaya di kasus pengurusan fatwa bebas untuk Joko, misalnya, dituntut 2,5 tahun penjara. Hakim lantas menilai tuntutan Andi terlalu rendah sehingga memvonisnya enam tahun penjara. Begitu pula Tommy di kasus penghapusan nama Joko dari DPO, dituntut 1,5 tahun penjara, tetapi lantas divonis dua tahun penjara oleh hakim. Adapun di kasus surat jalan palsu bagi Joko, tiga terdakwa, yaitu Joko Tjandra, Brigjen (Pol) Prasetijo Utomo, dan Anita Kolopaking (mantan pengacara Joko), sama-sama divonis lebih berat dari tuntutan jaksa.
Sebagaimana tertuang dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, lanjut Kurnia, hakim wajib menggali dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat. Oleh karena itu, hakim diharapkan menjatuhkan vonis berat atau maksimal bagi terdakwa yang adalah penegak hukum sebagai efek jera sekaligus menjadi pesan bagi penegak hukum yang lain untuk tidak melakukan hal serupa.
Seharusnya dibebaskan
Namun, penasihat hukum Napoleon Bonaparte, Santrawan T Paparang, menolak jika disebut tuntutan terhadap Napoleon terlalu rendah. Ia bahkan menilai kliennya seharusnya justru dibebaskan. Ini karena pemberian uang dari Tommy kepada Napoleon tidak terbukti di persidangan.
”Keterangan dari Tommy hanya bertumpu pada keterangan pribadinya saja,” kata Santrawan.
Menurut Santrawan, tanggal-tanggal penyerahan uang yang disampaikan Tommy Sumardi, yakni pada 27 April 2020, 28 April 2020, 29 April 2020, 4 Mei 2020, dan 5 Mei 2020, dibantah semua oleh saksi yang diajukan jaksa. Demikian pula jumlah uang yang disampaikan Tommy jumlahnya berubah-ubah.
Adapun Prasetijo saat sidang dengan agenda pembacaan pembelaannya, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (15/2/2021), memohon pengampunan agar bisa berkumpul dengan anak istri.
Ia mengakui menerima uang 20.000 AS, tetapi sudah dikembalikan ke Propam Polri. Uang dari Tommy Sumardi pun diketahuinya hanya sebagai uang pertemanan.
Kompas telah mencoba meminta keterangan dari Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak terkait penilaian rendahnya tuntutan jaksa terhadap terdakwa dalam kasus-kasus Joko, tetapi ia tidak merespons.