Pemerintah Terbuka Perbaiki Norma UU ITE, tetapi Tidak Menghilangkan Pasal
Staf ahli Menteri Komunikasi dan Informatika Henri Subiakto menyebut rencana revisi UU ITE adalah upaya yang logis. Pemerintah terbuka memperbaiki norma yang sudah ada, tetapi bukan berarti pasalnya dihapus.
JAKARTA, KOMPAS — Dalam wacana revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, pemerintah ada pada posisi terbuka untuk memperbaiki dan melengkapi norma yang sudah ada agar maknanya menjadi lebih jelas dan tidak lagi terjadi multitafsir. Namun, hal itu bukan berarti pasal-pasal itu dicabut atau dihilangkan.
Di sisi lain, elemen masyarakat sipil menghendaki pasal-pasal karet di dalam UU ITE dicabut saja, tidak cukup dengan diubah. Pasal karet tersebut di antaranya terkait pencemaran nama baik dan ujaran kebencian.
Staf ahli Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Henri Subiakto, Minggu (21/2/2021), saat dihubungi dari Jakarta, menuturkan, revisi terhadap UU Nomor 11 Tahun 2008 yang telah diubah dengan UU No 19/2016 tentang ITE adalah upaya yang logis. Revisi itu terutama dilakukan untuk menampung perkembangan teknologi yang cepat berubah, serta melengkapi norma yang ada agar lebih jelas.
”Jadi, kita semua terbuka terhadap revisi, tetapi bukan berarti mengubah menjadi liberal, dan bukan pula membiarkan dunia siber kita terbuka dari serangan-serangan yang membahayakan NKRI,” kata Henri yang juga Ketua Panitia Kerja Pemerintah dalam revisi UU ITE tahun 2016.
Menurut Henri, Indonesia berbeda dengan Eropa dan Amerika. Aturan hukum Indonesia juga tidak harus mengikuti aturan negara lain. ”Kita negara hukum yang berpegang pada falsafah Pancasila dalam membuat UU. Jadi, sumber hukum kita selain norma-norma universal, menyerap juga dari hukum adat dan hukum agama. Tidak bisa menggunakan konsep liberalisme ala Eropa,” ujarnya.
Internet saat ini, lanjutnya, merupakan fasilitas yang sangat terbuka, tempat perang proksi dapat dilakukan oleh pihak mana pun. Perang proksi yang tidak terkendali itu juga berpotensi memecah belah atau menghancurkan suatu negara. Peristiwa penyerbuan Gedung Capitol di Amerika Serikat, beberapa waktu lalu, menurut Henri, dapat menjadi cerminan bagi Indonesia bagaimana suatu konten di media sosial (medsos) dapat memecah belah negara dan meruntuhkan kemapanan demokrasi suatu negara.
Menurut Henri, UU ITE hanya sedikit mengatur soal informasi elektronik. Dua pasal yang kerap dipersoalkan ialah Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 28 Ayat (2) UU ITE. Problem yang mengikuti penerapan pasal itu disebutnya sebagai akibat interpretasi yang tidak tepat terhadap pasal.
Dia mencontohkan, dua pasal yang merupakan delik aduan itu semestinya hanya dapat diproses ketika orang yang merasa dicemarkan nama baiknya sendiri yang melapor kepada polisi. Bukan orang atau kelompok lain yang melapor kepada polisi, lalu ditindaklanjuti. Dengan kondisi itulah, pemerintah menilai perlu ada pedoman interpretasi dan penanganan dugaan kasus pelanggaran UU ITE.
”Artinya, dalam tataran interpretasi, yang harus dibuat adalah pedoman. Tidak apa-apa pasal-pasal itu direvisi, tetapi untuk menegaskan maknanya saja sehingga tidak multitasfir. Bukan berarti pasal-pasal itu harus dicabut atau dihilangkan. Kalau dihilangkan, nanti yang dipertaruhkan nasib bangsa ke depan dalam konteks perang urat syaraf dan konflik horizontal. Sejak awal, UU ini ada untuk menjaga internet bersih,” katanya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, pemerintah sudah membentuk dua tim. Tim pertama membuat interpretasi yang lebih teknis atas UU ITE dan membuat implementasi dari pasal-pasal yang selama ini dianggap sebagai pasal karet. Tim pertama akan dipimpin Kominfo. Adapun tim kedua adalah tim rencana revisi UU ITE.
Henri mengatakan, soal pembentukan tim oleh Kominfo, hal itu masih dibicarakan di internal Kominfo.
Baca juga : Revisi UU ITE Dibutuhkan
Jangan hanya wacana
Sebelumnya, sejumlah fraksi di DPR mendorong revisi UU ITE bukan sekadar jadi wacana. Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sukamta mengatakan, mulanya UU ITE dimaksudkan untuk memberikan kepastian bagi pelaku bisnis dan ekonomi di dunia maya. UU ITE itu sebenarnya sudah agak terlambat keberadaannya karena saat itu internet sudah sangat berkembang.
Akan tetapi, pada perkembangannya, sejumlah pasal, salah satunya pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik, lebih sering digunakan. Akibatnya, banyak orang dilaporkan, ditangkap, dan ditahan karena menyampaikan pendapatnya di internet.
”Tahun 2016, kami Fraksi PKS saat itu meminta agar pasal pencemaran nama baik ditinjau ulang, bahkan kalau perlu dihapus saja, mengingat sudah diatur dalam KUHP, agar tidak ada duplikasi pengaturan. Hanya fraksi PKS dan PAN yang dianggap progresif pandangannya terhadap pasal tersebut,” katanya.
Namun, usulan itu tidak diakomodasi. Revisi UU ITE yang melahirkan UU No 19/2016 hanya mengubah ancaman pidana maksimal dari pasal pencemaran nama baik, yakni dari semula 6 tahun menjadi 4 tahun. Perubahan ancaman pidana itu membuat mereka yang melanggar pasal pencemaran nama baik tidak perlu ditahan.
Oleh karena itu, dalam wacana revisi UU ITE kali ini, fraksinya mendorong pemerintah agar segera merealisasikan usulannya. ”Jangan sampai revisi UU ITE ini nantinya hanya move politik kosong belaka,” ujarnya yang juga anggota panja revisi UU ITE, 2016.
Sementara itu, anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Syaifullah Tamliha, mengatakan, saat revisi UU ITE tahun 2016, panja memang hanya merevisi dua pasal. Tujuannya baik, yakni mengurangi ancaman maksimum masa hukuman sehingga seseorang yang diduga melanggar UU ITE tidak mesti harus ditahan saat menjalani penyelidikan ataupun penyidikan.
”Karena yang direvisi sangat terbatas, dan pemerintah yang diwakili Menkominfo saat itu Rudiantara tidak mau memperlebar revisi, maka memang berakibat masih terdapat beberapa pasal karet yang perlu direvisi lagi. UU Nomor 19 tahun 2016 hasil revisi tersebut pun seperti kami duga sebelumnya menjadi masalah bagi kebebasan mengemukakan pendapat,” katanya.
Berbeda dengan pandangan pemerintah, kalangan masyarakat sipil menilai revisi terhadap UU ITE tidak cukup dengan memperjelas interpretasi atau menegaskan norma UU. Namun, lebih jauh lagi sebaiknya pasal-pasal karet itu agar dicabut.
”Tentunya pencabutan pasal-pasal karet di UU ITE ini perlu karena beberapa di antaranya sudah ada di KUHP. Agar tidak ada duplikasi dan memberikan kepastian hukum. Pemerintah seharusnya mencabut saja pasal-pasal karet tesebut,” kata Erasmus Napitupulu, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).
Alasannya, pengaturan mengenai tindak pidana kepada sebuah ekspresi, seperti penghinaan, perbuatan menyerang kehormatan seseorang, dan ujaran kebencian, sejak awal sangatlah samar-samar pemenuhan unsur pidananya, serta penilaiannya sangat subyektif.
”Kualifikasi sebuah perbuatan dianggap sebagai tindak pidana kepada ekspresi sangat sulit memiliki standar interpretasi yang tegas dan memiliki kepastian hukum. Oleh karena itu, pembuatan pedoman interpretasi resmi terhadap UU ITE merupakan langkah yang tidak menyelesaikan akar permasalahan, justru berpotensi membuka ruang interpretasi lain yang tidak mustahil justru lebih karet dibandingkan dengan pasal-pasal UU ITE sendiri,” tuturnya.