Agar tak muncul ketakutan untuk sampaikan kritik, pemerintah perlu merevisi UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Hingga kini, ada 245 kasus dari mereka yang pernah jadi korban UU ITE itu.
Oleh
Nina Susilo
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perubahan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mendesak dilakukan. Perbaikan semestinya dilakukan supaya negara menjamin kebebasan sipil agar tidak muncul ketakutan untuk menyampaikan kritik kepada pemerintah.
UU ITE disahkan pertama kali pada 2008 dan sempat direvisi pada 2016. Direktur Eksekutif The Indonesian Institute Adinda Tenriangke Muchtar menyebutkan, pada 2018 studi Suara Kebebasan mendapati 245 kasus terkait kebijakan yang menjadi turunan dari UU ITE.
”Korbannya tak hanya aktivis dan wartawan, tetapi juga warga biasa termasuk yang memprotes layanan fasilitas kesehatan. Ini sejalan dengan penurunan indeks demokrasi kita,” kata Adinda dalam diskusi terkait rencana revisi UU Pemilu dan UU ITE yang diselenggarakan Parasyndicate secara daring, Jumat (19/2/2021).
Korbannya tak hanya aktivis dan wartawan, tetapi juga warga biasa termasuk yang memprotes layanan fasilitas kesehatan. Ini sejalan dengan penurunan indeks demokrasi kita.
Semestinya, untuk mendorong iklim demokrasi, partisipasi publik diperluas. Dengan demikian, negara bisa merumuskan kebijakan yang sesuai dengan harapan dan kebutuhan masyarakat. Namun, untuk membuka peluang partisipasi masyarakat ini, semestinya kritik tak dihadapkan dengan buzzer apalagi kemungkinan pemidanaan.
Adinda pun menyebut UU ITE seakan menjadi alat pemerintah untuk membungkam suara yang berbeda pendapat. Karena itu, revisi UU ITE mendesak untuk dilakukan dan masyarakat secara umum perlu mengawal perbaikan ini.
Keinginan merevisi UU ITE muncul ketika Presiden Joko Widodo memberi pengarahan pada rapat pimpinan TNI/Polri di Istana Negara, Senin (15/2/2021). Saat itu, Presiden menyesalkan maraknya aksi saling melaporkan pelanggaran UU ITE di kalangan masyarakat serta meminta aparat penegak hukum selektif dalam menyikapi laporan pelanggaran UU ITE.
Tak hanya meminta Polri berhati-hati dalam menerjemahkan pasal-pasal multitafsir di UU ITE, Presiden juga menyampaikan akan meminta DPR bersama-sama merevisi UU ITE.
DPR menyambut
Para politikus di DPR pun menyambut keinginan revisi UU ITE tersebut. Ketua Fraksi PAN DPR RI Saleh Partaonan Daulay menyampaikan Fraksi PAN akan menyambut apabila pemerintah menginisiasi perubahan UU ITE.
Pakar hukum sendiri menyebut ada pasal karet di dalam UU itu. Tidak hanya itu, aturan yang diatur tersebut juga ternyata sudah diatur di dalam KUHP. Setidaknya substansinya sama.
”Pakar hukum sendiri menyebut ada pasal karet di dalam UU itu. Tidak hanya itu, aturan yang diatur tersebut juga ternyata sudah diatur di dalam KUHP. Setidaknya substansinya sama,” ujarnya.
Kendati demikian, dalam revisi diharapkan ada beberapa hal yang diperhatikan. Pertama, perubahan disesuaikan dengan perkembangan teknologi informasi yang ada. Kedua, revisi diarahkan pada pengaturan pengelolaan teknologi informasi, bukan penekanan pada upaya pemidanaan.