Pertahankan Ekosistem Demokrasi
Kebebasan berpendapat dan mengkritik hendaknya terus dijaga sebagai bagian ekosistem negara demokratis. Aksi saling lapor belakangan ini yang didasari pada misinformasi jadi pintu masuk memburuknya ekosistem demokrasi.

Din Syamsuddin
Kebebasan berpendapat dan menyampaikan kritik hendaknya terus dijaga sebagai bagian dari ekosistem negara demokratis. Aksi saling melaporkan belakangan ini yang didasari pada misinformasi dan sikap terburu-buru untuk menilai suatu pendapat di media sosial menjadi pintu masuk bagi kian buruknya ekosistem demokrasi di Tanah Air.
Dalam sepekan terakhir, media sosial diramaikan dengan informasi adanya tuduhan radikal kepada mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Din Syamsuddin oleh Gerakan Anti Radikalisme (GAR) Institut Teknologi Bandung (ITB).
Selain itu, ada pula laporan kepada polisi terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan, setelah ia mencuit pernyataannya tentang kematian Maheer at-Thuwailibi alias Soni Eranata yang pekan lalu meninggal saat berstatus tahanan kejaksaan di rumah tahanan Mabes Polri.
Terkait pelaporan terhadap Din Syamsuddin, juru bicara GAR ITB, Shinta Madesari, saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (14/2/2021), mengatakan, ada kekeliruan persepsi dalam menanggapi laporan GAR ITB.
Baca juga: Demokrasi, Stabilitas Politik, dan Kemajuan Negara

Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan, Kamis (2/7/2020).
Laporan terhadap Din Syamsuddin itu disampaikan kepada Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) terkait dengan aspek kedisiplinan dan etika.
Poin yang dilaporkan, antara lain, mengenai sikap Din yang konfrontatif terhadap lembaga negara dan keputusannya; mendiskreditkan pemerintah, menstimulasi perlawanan terhadap pemerintah yang berisiko untuk terjadinya proses disintegrasi bangsa; serta menjadi pemimpin dari kelompok yang beroposisi terhadap pemerintah.
”Kami tidak bilang Pak Din radikal. Ada kekeliruan dalam memahami laporan kami. Teman-teman lainnya juga barang kali belum membaca laporan lengkap kami, tetapi sudah buru-buru menilai ada tudingan radikal kepada Pak Din. Yang kami laporkan itu terkait dengan kedisiplinan sebagai ASN,” ucapnya.
Dihubungi terpisah, Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Agus Pramusinto membenarkan adanya laporan dari GAR ITB tersebut. Laporan itu juga telah diteruskan KASN kepada Kementerian Agama (Kemenag). Saat ini, status Din ialah ASN di bawah Kemenag lantaran ia adalah guru besar di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. ”KASN sudah meneruskan laporan GAR ITB ke satgas dan Kementerian Agama. Saya kira akan ada koordinasi dan membuat satu kebijakan yang sama,” katanya.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyampaikan hasil pertemuan antara Komnas HAM dan Presiden Joko Widodo di istana negara, Kamis (14/1/2021).
Pemerintah menyatakan tidak akan menindaklanjuti laporan itu. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD secara terbuka mengemukakan hal itu melalui akun media sosialnya.
”Memang ada beberapa orang yang mengaku dari ITB menyampaikan masalah Din Syamsuddin kepada Menpan dan RB Tjahjo Kumolo. Pak Tjahjo mendengarkan saja, namanya ada orang minta bicara untuk menyampaikan aspirasi, ya, didengar. Tapi, pemerintah tidak menindaklanjuti, apalagi memproses laporan itu,” katanya.
Basis rasional dan data
Menyikapi misinformasi di medsos yang memantik pro dan kontra serta aksi saling lapor yang marak belakangan ini, pengajar komunikasi politik di UIN Syarif Hidayatullah, Gun Gun Heryanto, mengatakan, ekosistem demokrasi Indonesia saat ini menghadapi ancaman. Ekosistem itu perlu dijaga untuk memastikan kritik tetap dapat disampaikan oleh semua pihak, sepanjang kritik itu berbasis pada argumentasi rasional dan data.
”Dalam kasus Pak Din, misalnya, sebagai seorang intelektual, akademisi, ia memiliki kebebasan dan mimbar akademik untuk mengkritisi pemerintah. Kalau, misalnya, seluruh akademisi di perguruan tinggi negeri tidak boleh mengkritisi pemerintah, nanti berapa banyak akademisi yang akan dilaporkan ke KASN dengan alasan itu. Kritik kepada pemerintah, kan, boleh saja, sepanjang berbasis argumentasi yang rasional dan dilengkapi data,” katanya.

Gun Gun Heryanto
Dalam konteks tertentu, ketika pernyataan disampaikan melampaui batasan, antara lain melalui ujaran kebencian (hate speech), berita bohong (hoaks), diskriminatif terhadap kelompok disabilitas, orientasi seksual, dan jender, maka barulah yang demikian itu dapat dilaporkan.
Namun, pada dasarnya ekosistem demokrasi yang berlandaskan pada penghargaan terhadap kebebasan berpendapat haruslah dijaga. Jangan sampai orang merasa ketakutan untuk menyampaikan kritik, pendapat, dan pandangan yang berbeda dengan rezim yang berkuasa.
”Bagaimanapun kita khawatir kalau kritik di ruang publik itu menjadi tidak lagi berjalan atau orang mengalami hambatan, baik langsung maupun tidak langsung. Hambatan langsung itu, misalnya, aparat yang memberikan hambatan struktural melalui penggunaan UU atau hukum. Atau hambatan tidak langsung, yaitu melalui pihak ketiga, atau melalui propagandis-propagandis di medsos, buzzer, yang melakukan doxing atau perundungan siber (cyber bullying) terhadap mereka yang kritis. Itu semua tidak sehat bagi demokrasi,” katanya.
Fenomena medsos yang kerap menjadi ladang bagi dilakukannya aksi-aksi antidemokrasi, dan pembungkaman kritik tidak langsung, menurut Gun Gun, dipicu oleh minimnya etika dan kesadaran pengguna medsos terhadap aturan main demokrasi.

Pengelola akun merasa bebas memanfaatkan medsos untuk melakukan yang dipersepsinya sebagai kebenaran dan acap kali atas nama ”proyek” tertentu lalu meniadakan etika dalam mengelola akun-akun di medsos. Ditambah lagi, literasi digital pengguna medsos masih buruk sehingga mudah termakan narasi yang belum tentu benar.
”Fenomena bermedia sosial sekarang ini, kalau ada buzzer pro pemerintah dan buzzer kontra pemerintah, itu tidak terhindarkan. Mereka yang mengoperasikan akun-akun itulah sesungguhnya yang harus ikut bertanggung jawab menjaga demokrasi. Tetapi, sayangnya, mereka merasa etika dan hukum itu berada di luar dirinya, bukan di dalam dirinya,” ucap Gun Gun.
Komitmen pemerintah
Dikonfirmasi terpisah, tenaga ahli utama Kantor Staf Presiden (KSP), Donny Gahral Adian, mengatakan, pemerintah berkomitmen menjaga kebebasan berpendapat sebagai hak demokratis warga. Terkait peristiwa saling lapor yang terjadi di antara masyarakat, hal itu menjadi ranah dari aparat penegak hukum.
”Jika ditemukan ada unsur tindak pidana pasti dilanjutkan, jika tidak pasti didrop. Pihak yang terlapor pun juga punya hak mengajukan praperadilan jika proses hukumnya berlanjut. Jadi, saya kira ini bukan soal pemerintah membungkam kebebasan berpendapat,” katanya.
Baca juga: Media Sosial Dijadikan Senjata Melawan Jurnalisme

Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Kamis (28/1/2021).
Donny mengatakan, perbedaan pendapat biasa ada dalam negara demokratis. Ketika ada ketegangan antarkelompok masyarakat, semuanya harus diletakkan dalam koridor hukum sehingga tidak terjadi kekacauan sosial. Pihak yang melaporkan pasti memiliki dasar pembuktian, demikian pula yang dilaporkan juga punya hak untuk membela diri.
”Artinya, konflik-konflik di masyarakat itu tidak diselesaikan dengan kekerasan, tetapi melalui proses hukum yang berjalan dengan transparan, adil, berimbang, dan berbasis supremasi hukum,” ujarnya.
Pemerintah juga tidak dalam konteks menghalangi orang menyampaikan kritik, sepanjang dilengkapi argumentasi dan data. Misalnya, dalam penyaluran bansos, kritik yang membangun ialah jika ada orang yang mengatakan bansos salah sasaran sehingga orang yang meninggal atau pindah domisili masih mendapat bansos.
”Nah, itu kritik. Artinya, ada datanya. Misalnya, saya tahu ada RT A, ada dua rumah yang tidak dapat bansos, padahal dia punya hak. Itu kritik. Tetapi, kalau fitnah itu, misalnya, dengan mengatakan pemerintah sengaja memanipulasi data bansos sehingga yang dapat bansos hanya pendukungnya saja. Nah, yang seperti itu fitnah,” katanya.

Menurut Donny, setiap pernyataan di depan umum seharusnya disertai dengan bukti dan data. Apalagi jika pendapat itu disampaikan untuk menyerang kelompok, organisasi, atau orang lain. Tanpa adanya bukti, pernyataan itu dapat berupa rumor, gosip, atau berdasarkan atas berita bohong dan dapat menjadi fitnah bagi pihak lain.
Dalam perjalanan sejarahnya, menurut Donny, Indonesia pernah porak poranda karena fitnah. Pada 1998, kelompok minoritas mengalami kekerasan karena adanya finah atau rumor yang tidak benar tentang kelompok minoritas yang disebut menzalimi kelompok pribumi.
”Pernyataan yang seperti itu berbahaya karena bisa memecah belah bangsa. Kalau kritik tidak begitu, karena kritik memperbaiki kinerja pemerintahan, membuat pemerintah berbuat lebih baik,” ucapnya.
Adanya kelompok yang pro dan antipemerintah, menurut Donny, merupakan hal lumrah, termasuk di medsos. Tidak ada pemerintahan demokratis yang tanpa oposisi. Namun, ketegangan antarpihak itu dilakukan dalam diskursus dan diskusi terbuka, yang dibarengi dengan argumentasi berbasis akal sehat, bukan fitnah, hoaks, ataupun manipulasi informasi.
”Sepanjang dilakukan dengan berbasis argumentasi dan akal sehat, data, serta fakta, itu tidak masalah. Perdebatan keras di ruang publik itu biasa, asalkan tidak dilakukan untuk memecah persatuan dan kesatuan sebagai bangsa,” katanya.

Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani saat diskusi di kawasan Cikini, Jakarta, Selasa (10/12/2019).
44 kasus makar
Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani mengatakan, pelaporan atas Din dinilai kurang tepat jika alasannya ialah karena ia oposisi pemerintah. Demikian halnya jika ia memimpin suatu organisasi atau kelompok yang menyampaikan kritik terhadap pemerintah.
”Larangan terhadap orang untuk berorganisasi, berserikat, atau menyampaikan kritik terhadap pemerintah itu jelas kematian atau kemunduran demokrasi,” katanya.
Demikian halnya jika terjadi pelaporan pidana atas pernyataan seseorang di medsos, harus jelas tindak pidananya. Kasus yang dialami Novel, misalnya, harus dapat dibuktikan oleh pelapor ada tindak pidana yang jelas dilanggar olehnya saat mengomentari kematian Maheer. ”Duduk perkaranya harus jelas, misalnya apakah ada penghasutan, provokasi, dan promosi atas sesuatu yang tidak benar. Sebagai contoh, belakangan ada promosi nikah siri, ini, kan, memang tindak pidana sehingga silakan dilaporkan,” kata Ismail.
Akan tetapi, kerap kali bingkai pembicaraan atau pemberitaan di medsos kerap tidak tepat mendudukkan masalah. Pengguna juga kerap langsung saja berkomentar tanpa merujuk pada berita aslinya atau informasi yang benar.

Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo (tengah) di Markas Polda Metro Jaya, Jakarta, Kamis (10/12/2020). Saat ini, Listyo menjabat Kapolri.
Dalam menghadapi laporan berbasis pada cuitan di medsos, menurut Ismail, polisi harus berhati-hati dan benar-benar mengkaji apakah suatu laporan itu patut ditindaklanjuti. Apalagi masih ada pasal-pasal yang merupakan pasal karet, seperti ditemui di UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Belakangan, misalnya, ada pula cuitan Jumhur Hidayat yang mengkritisi UU Cipta Kerja (omnibus law), yang mengakibatkan ia menjadi tersangka.
Dalam kaitannya dengan itu, soal kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonesia, Setara Institute juga mencatat ada 44 kasus tuduhan makar yang ditujukan kepada para tokoh pada 2014-2019.
Baca juga: Demokrasi dan Intervensi Uang
Kasus makar itu sempat ramai menjelang Pemilu Presiden 2019. Sejumlah tokoh, seperti Rahmawati Soekarnoputri, Sri Bintang Pamungkas, dan Eggy Sudjana, sempat dijadikan tersangka dalam kasus makar.
”Sampai sekarang, kan, publik tidak mengetahui kelanjutan kasus makar ini, apakah diteruskan ataukah tidak. Pada kenyataannya, tidak terjadi makar sebagaimana dituduhkan. Istilah makar ini rentan dijadikan alat menyandera pihak-pihak tertentu yang ditetapkan tersangka dan dalam sejumlah kasus itu dapat menjadi alat pembungkaman. Jangan sampai daftar ini bertambah panjang,” ujarnya.