Peluang Revisi UU Pemilu Makin Meredup
Semakin banyak partai yang berubah sikap menjadi menolak revisi UU Pemilu. Jika revisi UU Pemilu tak jadi dilakukan, peraturan KPU akan menjadi sandaran utama regulasi di tengah problem yang akan muncul pada 2024.
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah partai politik yang semula mendukung kemudian berubah menolak revisi Undang-Undang Pemilu semakin bertambah. Hal ini membuat nasib revisi UU tersebut kian meredup di DPR.
Konsekuensinya, segala kompleksitas dalam pelaksanaan pemilu dan pilkada serentak pada tahun 2024 harus diantisipasi, baik kompleksitas pelaksanaan pemilu, aturan hukum, maupun dampaknya bagi pemilih.
Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh melalui siaran pers yang diterima Jumat (5/2/2021) meminta Fraksi Nasdem di DPR untuk tidak melanjutkan pembahasan revisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Sebelum Nasdem, tiga fraksi lain di DPR juga tiba-tiba mengubah sikapnya, dari semula setuju revisi menjadi menolak. Ketiga fraksi itu adalah Partai Gerindra, Partai Amanat Nasional, dan Partai Persatuan Pembangunan.
Surya Paloh mengatakan, bangsa Indonesia saat ini tengah berjuang menghadapi pandemi Covid-19 dan berupaya memulihkan perekonomian yang terdampak oleh pandemi. Dalam kondisi itu, soliditas partai-partai politik pendukung pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin perlu dijaga dan bahu-membahu menghadapi pandemi serta pemulihan perekonomian bangsa.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Titi Anggraini, saat dihubungi, Sabtu (6/2/2021), mengatakan, ada berbagai konsekuensi akibat meredupnya wacana revisi UU Pemilu. Pertama, jika revisi UU Pemilu tak tercapai, artinya aturan main pemilu masih akan sama seperti tahun 2019.
Beban berat tidak hanya akan dialami oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) karena harus menyelenggarakan pemilihan kepala daerah, pemilu presiden, dan pemilu legislatif. Pemilih juga akan dihadapkan pada kompleksitas pilihan yang akan berdampak pada kualitas demokrasi elektoral. Isu politik nasional akan menenggelamkan isu lokal. Fokus masyarakat akan lebih pada pilpres. Calon anggota legislatif dan calon anggota DPD bisa dikesampingkan pemilih.
”Seperti yang terjadi di tahun 2019, kompleksitas pemilu yang dilaksanakan secara bersamaan itu akan berpengaruh pada tingginya suara tidak sah. Walaupun partisipasi politik tinggi, saat itu suara tidak sah pemilu legislatif mencapai 11 persen dan pemilihan DPD mencapai 19 persen,” kata Titi.
Baca juga : Nasdem Ikut Tolak Revisi UU Pemilu, Demokrat-PKS Masih Konsisten
Menurut Titi, selama ini publik masih kerap terjebak pada isu beban berat yang akan dialami penyelenggara ketika pilkada diselenggarakan bersamaan dengan pemilu nasional. Namun, isu-isu seperti kebingungan pemilih karena pemilu yang kompleks masih jarang dibicarakan.
”Jika tidak ada revisi UU Pemilu, akhirnya demokrasi hanya dilakukan sebatas prosedural saja,” kata Titi.
Kapasitas SDM
Anggota KPU, Pramono Ubaid Tanthowi, mengatakan, secara umum KPU menyerahkan keputusan revisi UU Pemilu kepada pemerintah dan DPR. Sebagai penyelenggara pemilu, KPU akan siap melaksanakan pemilu atau pilkada dengan desain apa pun yang diputuskan.
Namun, Pramono berpandangan, selain pertimbangan aspek politik, sebaiknya desain pemilu ke depan memperhatikan beban penyelenggaraan pemilu yang sesuai dengan kapasitas sumber daya manusia (SDM) KPU. Jangan sampai kejadian di Pemilu 2019 terulang. Dengan beban penyelenggaraan itu, korban yang timbul besar. Dalam Pemilu 2019 tercatat 894 penyelenggara pemilu meninggal dan 5.175 petugas sakit. Saat itu pemilu legislatif berlangsung pada hari yang sama dengan pemilihan presiden.
Baca juga : Mereka Berkorban Nyawa demi Demokrasi
”Semua sudah tahu bahwa itu terjadi karena beban melebihi kapasitas, apakah kita tidak akan mengambil pelajaran dari situ?” kata Pramono.
Namun, jika desain keserentakan pemilu pada akhirnya tak berubah, menurut Pramono, dibutuhkan penyesuaian teknis. Misalnya, diperlukan payung hukum pemilu lebih awal (early voting) dan penerapan sistem informasi rekapitulasi (Sirekap) sebagai mekanisme penetapan hasil pemilu yang bisa meringankan beban penyelenggara pemilu. Dengan desain apa pun, penyesuaian teknis tetap diperlukan untuk mengurangi beban penyelenggara di lapangan.
”Kalau dari perspektif penyelenggara, dengan pilihan desain seperti itu tetap masih bisa, tetapi butuh banyak penyesuaian teknis,” kata Pramono.
Dari sisi penyelenggara, tanpa revisi UU Pemilu, pilkada dan pemilu tetap bisa dilaksanakan dengan sejumlah prasyarat. Namun, dari sisi pemilih, dengan kompleksitas pemilu seperti 2019, mereka tidak akan punya cukup ruang untuk memilah isu politik nasional, lokal, eksekutif, dan legislatif. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya suara tidak sah di pemilu legislatif dan pemilu DPD.
”Pemilih yang baik ketika dia mau menjatuhkan pilihan harus punya informasi yang cukup mengenai visi, misi, gagasan calon, baik eksekutif maupun legislatif, baik nasional maupun lokal. Namun, dengan desain pemilu yang seperti itu, pemilih kesulitan untuk memilah-milah karena terbanjiri dengan isu kepresidenan,” terang Pramono.
Penguatan PKPU
Titi mengingatkan, jika revisi UU Pemilu tak jadi dilakukan, peraturan KPU (PKPU) akan menjadi sandaran utama regulasi. Penyusunan PKPU harus didasarkan pada simulasi komprehensif penyelenggaraan Pemilu 2024. KPU harus mampu mengukur, menghitung apa saja kebutuhan dan daya dukung untuk menyelenggarakan pemilu berkualitas, profesional, dan kredibel.
Selain itu, penyusunan aturan itu juga harus tepat waktu sehingga membutuhkan dukungan politik dan hukum dari pemerintah dan DPR. ”Kalau tidak ada revisi UU Pemilu, PKPU harus kuat dan dikondisikan dari jauh-jauh hari. Dengan demikian, KPU bisa melakukan simulasi dan evaluasi penyelenggaraan untuk memastikan pemilu berjalan baik,” kata Titi.
PKPU tersebut, lanjutnya, harus memuat aturan tentang pengaturan tempat pemungutan suara, distribusi beban kerja, kesiapan logistik pemilu, kesalahan pengiriman logistik pemilu, hingga optimalisasi penggunaan teknologi informasi dalam pemilu.
Selain penguatan PKPU, menurut Titi, pembenahan regulasi juga bisa diharapkan pada Mahkamah Konstitusi (MK). MK akan menjadi sandaran untuk merevisi ketentuan dan mengatasi masalah bawaan yang disebabkan UU Pemilu. Sebelumnya, masyarakat sipil juga sudah banyak menguji UU Pemilu, misalnya pengujian aturan soal jumlah Panitia Pemilihan Kecamatan dan aturan soal jangka waktu pindah memilih.
”Hal-hal itu mungkin juga akan diambil oleh sejumlah pihak untuk memperbaiki regulasi pemilu meski MK juga banyak keterbatasannya,” ujar Titi.
Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan, Komisi II segera menggelar rapat internal untuk menanyakan ulang sikap resmi fraksi. Hal itu menjadi penting karena revisi UU Pemilu merupakan inisiatif dari Komisi II DPR. Hasil rapat Komisi II DPR itu kemudian akan disampaikan ke rapat setiap fraksi untuk dibahas dalam rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR.
”Kalau kemudian semua fraksi akhirnya setuju untuk tidak dilanjutkan, itu akan disampaikan ke rapat fraksi untuk dibahas di rapat Bamus. Kemudian akan dibahas di Baleg (Badan Legislasi) untuk dibicarakan dengan pemerintah apakah revisi UU Pemilu ini masuk atau tidak dalam Program Legislasi Nasional 2021,” kata Doli.
Menurut Doli, jika revisi UU Pemilu urung dilakukan, KPU harus membuat simulasi secara komprehensif terkait penyelenggaraan pilkada dan pemilu nasional.