Nasdem Ikut Tolak Revisi UU Pemilu, Demokrat-PKS Masih Konsisten
Partai Nasdem menyusul tiga partai politik lain yang tiba-tiba mengubah sikapnya terkait revisi UU Pemilu, dari semula setuju menjadi menolak. Adapun PKS dan Demokrat mendorong revisi UU Pemilu tetap dilanjutkan.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA,KOMPAS – Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh meminta Fraksi Nasdem di DPR untuk tidak melanjutkan pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dengan demikian, Nasdem menyusul tiga fraksi lain di DPR yang tiba-tiba mengubah sikapnya terkait revisi Undang-Undang Pemilu, dari semula setuju menjadi menolak.
Surya Paloh melalui siaran pers yang diterima Kompas, Jumat (5/2/2021), mengatakan, bangsa Indonesia saat ini tengah berjuang menghadapi pandemi Covid-19 dan berupaya memulihkan perekonomian yang terdampak oleh pandemi. Dalam kondisi itu, soliditas partai-partai politik pendukung pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin perlu dijaga, dan bahu-membahu menghadapi pandemi serta pemulihan perekonomian bangsa.
"Cita-cita dan tugas Nasdem adalah sama dengan Presiden, yakni untuk kemajuan dan masa depan bangsa yang lebih baik," ujar Surya Paloh.
Ia menekankan, Nasdem sebagai partai politik memang berkewajiban melakukan telaah kritis terhadap setiap kebijakan. Namun, Nasdem tetap lebih mengutamakan kepentingan bangsa dan negara.
Oleh karena itu, ia mengarahkan agar Fraksi Partai Nasdem di DPR agar mengambil sikap untuk tidak melanjutkan revisi UU Pemilu. Selain itu, ia meminta agar fraksi mendukung pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak nasional pada 2024.
Berkaitan dengan arahan tersebut, Fraksi Partai Nasdem DPR menyatakan akan melaksanakan dan mengawal arahan Surya Paloh tersebut.
Padahal sebelumnya, Nasdem mendukung revisi UU Pemilu. Nasdem juga mendukung agar melalui revisi UU Pemilu, jadwal pilkada serentak seperti diatur di Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, diubah. Di UU Pilkada, pilkada serentak selanjutnya akan digelar di seluruh daerah pada 2024. Namun melalui revisi UU Pemilu, jadwal itu hendak diubah sehingga melanjutkan tiga gelombang pilkada serentak yang ada sejauh ini. Artinya, pilkada serentak selanjutnya akan digelar pada 2022, 2023, 2025, dan terus rutin setiap lima tahun di setiap gelombangnya.
Sebelum Nasdem, tiga fraksi lain di DPR juga tiba-tiba mengubah sikapnya, dari semula setuju revisi menjadi menolak. Ketiga fraksi itu, Partai Gerindra, Partai Amanat Nasional, dan Partai Persatuan Pembangunan. Alasannya mirip, yaitu karena saat ini negara sedang fokus menghadapi pandemi.
Adapun tiga fraksi, yakni Golkar, Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), menyatakan revisi UU Pemilu perlu tetap dilakukan untuk mengevaluasi pelaksanaan Pemilu 2019.
Dua fraksi lainnya, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menolak UU Pilkada diutak-atik, terutama yang menyangkut penyelenggaraan Pilkada 2024. Namun, kedua partai masih membuka ruang untuk pembahasan isu lain di dalam revisi UU Pemilu, seperti ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold), ambang batas raihan suara untuk diikutkan dalam penghitungan kursi parlemen (parliamentary threshold), metode konversi suara, sistem pemilu, dan besaran kursi setiap daerah pemilihan (dapil).
PKS tetap menolak
Menyikapi soal perubahan sikap Nasdem, Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera menyatakan setiap fraksi punya kebebasan dalam menentukan sikap.
“Namun aneh saja. Semua fraksi sudah punya sikap setuju revisi saat penyampaian sikap di Panitia Kerja (Panja) RUU Pemilu di Komisi II DPR, dan dalam draf RUU Pemilu yang diantar Komisi II DPR ke Badan Legislasi DPR, tertulis Pilkada 2022 dan 2023 tetap berjalan,” ujarnya.
Sekalipun kian banyak fraksi menolak revisi UU Pemilu, Ketua DPP PKS ini menekankan, fraksi PKS tetap mendukung revisi UU Pemilu, termasuk di dalamnya normalisasi jadwal pilkada.
Bukan untuk menjegal
Kepala Badan Komunikasi Strategis Demokrat Herzaky Mahendra mengatakan, Demokrat pun menghargai pendapat yang berbeda dalam pembahasan revisi UU Pemilu. Namun Demokrat berharap, pertimbangan menolak atau menyetujui revisi UU Pemilu, untuk kepentingan perbaikan kualitas tata kelola pemilu, bukan untuk jegal-menjegal tokoh potensial, dan bukan pula politik ancam-mengancam.
Menurutnya, revisi UU Pemilu yang menyatukan regulasi soal pemilu dan pilkada, penting untuk dilanjutkan demi menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2019 tentang desain keserentakan pemilu.
Selain itu, revisi penting untuk memperbaiki keserentakan pemilu legislatif dan presiden pada Pemilu 2019.
"Sistem pemilu lima kotak pada Pemilu 2019 memang meningkatkan partisipasi pemilih. Tetapi, tetap saja tidak memberikan pengaruh positif terhadap peningkatan pemahaman pemilih terhadap pemilu. Ini ditandai dengan minimnya politik gagasan dan programatik, terutama dalam pemilu legislatif. Lalu, menguatnya polarisasi, maraknya politik identitas, dan kecenderungan menguatnya pragmatisme," jelasnya.
Keserentakan pemilu legislatif dan presiden pada Pemilu 2019, juga membebani penyelenggara pemilu. Ratusan petugas pemilu bahkan meninggal karena kelelahan. "Apalagi kalau kemudian pilkada digelar serentak di tahun yang sama," katanya.
Untuk diketahui, saat ini proses pembahasan revisi UU Pemilu ada di Badan Legislasi (Baleg) DPR. Dengan adanya perubahan sikap sejumlah fraksi, Baleg DPR belum bersikap. Komisi II DPR sebagai pengusul revisi tersebut, juga belum bersikap. Pimpinan Komisi II DPR menyatakan akan segera menggelar rapat internal untuk menanyakan ulang sikap setiap fraksi.