Strategi represif dinilai paling efektif dibanding edukasi dan perbaikan sistem. Apalagi Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2020 tengah anjlok tiga point. Karena itu, KPK didorong lakukan operasi tangkap tangan.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Operasi tangkap tangan atau OTT yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi masih diharapkan masyarakat dapat terus dilakukan untuk memberantas korupsi. Strategi represif dinilai paling efektif dibandingkan dengan edukasi dan perbaikan sistem. Apalagi Indeks Persepsi Korupsi 2020 Indonesia tengah turun tiga point dibandingkan tahun 2019.
Pendiri Lembaga Survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (Kedaikopi) Hendri Satrio di Jakarta mengatakan, dalam survei yang dilakukan Kedaikopi selama Januari 2021 yang melibatkan 2.000 responden yang dilaksanakan di 34 provinsi, masyarakat masih menganggap OTT sebagai cerminan pemberantasan korupsi.
”Salah satu yang penting adalah bagaimana persepsi OTT masih dianggap sebagai sebuah langkah yang mencerminkan pemberantasan korupsi di Indonesia,” kata Hendri saat berkunjung ke gedung KPK, Jakarta, Selasa (2/2/2021).
Salah satu yang penting adalah bagaimana persepsi OTT masih dianggap sebagai sebuah langkah yang mencerminkan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Hendri menambahkan, walaupun OTT masih menjadi cerminan kinerja KPK, masyarakat juga ingin berkurangnya korupsi di Indonesia. Dari survei yang dilakukan Kedaikopi ditemukan, sebanyak 85,8 persen responden menganggap OTT sebagai bukti keberhasilan KPK menjalankan tugasnya.
Publik menganggap pemberantasan korupsi semakin berhasil karena banyaknya OTT yang dilakukan KPK. Strategi represif dipersepsikan paling efektif dibandingkan dengan strategi lainnya, seperti edukasi dan perbaikan sistem.
Sebelumnya, saat merilis hasil survei Kedaikopi, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Kedaikopi Kunto Adi Wibowo mengatakan, OTT yang dilakukan KPK terhadap dua menteri anggota Kabinet Indonesia Maju pada 2020 lalu berpengaruh besar terhadap tingginya kepercayaan publik kepada KPK. Strategi penangkapan atau tindakan represif dari KPK dinilai menjadi strategi yang paling mudah terlihat hasilnya oleh masyarakat dalam memberantas korupsi dibandingkan strategi lainnya.
Akan tetapi, ketika responden diberikan pilihan banyak OTT atau korupsi sedikit sebagai indikator keberhasilan pemberantasan korupsi, responden terpolarisasi. Setelah dianalisis lanjutan, mereka yang berpendidikan lebih rendah mengutamakan OTT sebagai indikator keberhasilan, sedangkan yang berpendidikan lebih tinggi memilih korupsi sedikit.
KPK diharapkan jadi ”pembalas”
Menanggapi hasil survei yang disampaikan Lembaga Survei Kedaikopi, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan, KPK menerima secara terbuka lembaga yang melakukan survei terkait KPK. Survei tersebut menjadi potret penilaian publik terhadap KPK yang menjadi tantangan ke depan.
Ia mengakui, sampai saat ini, kinerja KPK masih diukur pada indikator tangkap tangan atau penindakan. Sementara kinerja pencegahan dan pendidikan masyarakat masih dirasa kurang menjadi ukuran. Karena itu, masyarakat masih menunggu kerja KPK dalam bentuk tangkap tangan.
Menurut Ghufron, masyarakat berharap kepada KPK agar menjadi ”pembalas” terhadap pelaku korupsi yang tega mencuri uang rakyat. ”Harapannya koruptor itu kemudian ditindak secara tegas sebagai luapan kegeraman masyarakat kepada pelaku korupsi, terutama dalam masa pandemi Covid-19. Masyarakat ingin KPK hadir melakukan penindakan terhadap pelaku korupsi tersebut,” ujarnya.
Komisioner KPK mestinya memahami bahwa penindakan adalah salah satu tugas utama KPK di samping pencegahan, koordinasi, supervisi, monitoring, dan eksekusi putusan pengadilan. Untuk itu, menjadi hal yang wajar, jika publik turut mengomentari rendahnya penindakan yang dilakukan KPK saat ini dengan parameter OTT.
Namun, berdasarkan hasil survei yang dilakukan Kedaikopi, kata Ghufron, masyarakat juga berharap kerja KPK adalah dalam kerangka menurunkan atau meniadakan korupsi di segala bidang.
Secara terpisah, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, mengatakan, komisioner KPK mestinya memahami bahwa penindakan adalah salah satu tugas utama KPK di samping pencegahan, koordinasi, supervisi, monitoring, dan eksekusi putusan pengadilan. Untuk itu, menjadi hal wajar jika publik turut mengomentari rendahnya penindakan yang dilakukan KPK saat ini dengan parameter OTT.
Sepanjang 2020, KPK tercatat hanya melakukan delapan kali OTT. Jumlah tersebut merosot tajam apabila dibandingkan sebelumnya. Misalnya, pada 2019, KPK melakukan 21 OTT, pada 2018 ada 30 OTT, pada 2017 ada 23 OTT, dan pada 2016 ada 18 OTT.