Membicarakan Motif Gerakan Hijrah Kontemporer
Gerakan hijrah merupakan bagian dari kontestasi pemaknaan agama. Kontestasi semacam ini sebenarnya sudah berlangsung sejak dulu. Apakah yang sesungguhnya melandasi gerakan yang berkembang belakangan ini.
JAKARTA, KOMPAS — Fenomena hijrah tumbuh di kalangan Muslim perkotaan Indonesia. Mereka biasanya dikenali dalam dua tipologi, konservatif dan Islamis. Meski sama-sama mengajak pengikutnya taat pada ajaran agama, setiap kelompok ini bervariasi dalam menyikapi isu aktual, seperti kesetaraan jender, cara berpakaian, atau posisi gerakan hijrah dalam konteks kebangsaan.
Kehadiran mereka memunculkan pertanyaan, apakah gerakan hijrah merupakan bentuk dari demokratisasi gerakan Islam atau sekadar taktik dari gerakan Islamisme dalam menyamarkan agendanya untuk merebut kekuasaan? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan cara pemerintah merespons gerakan ini.
Tipologi hijrah kontemporer terungkap dalam penelitian bertajuk ”Tren Keberagamaan Gerakan Hijrah Kontemporer” oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Hasil penelitan itu disampaikan peneliti PPIM UIN Syarif Hidayatullah, Windy Triana dan Ida Rosyidah, Senin (1/2/2021) secara daring.
Hasil riset itu menjadi bahan diskusi Direktur Jenderal Bimas Islam Kementerian Agama Kamaruddin Amin, Direktur Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Noorhaidi Hasan, Direktur Yayasan Rumah Kita Bersama Lies Marcoes Natsir, Ketua Majelis Ulama Indonesia Bidang Fatwa Asrorun Niam, dan sejumlah aktivis gerakan hijrah.
Baca Juga: Nahdlatul Ulama: Indonesia Bukti Islam Berdemokrasi
Penelitan ini menyasar lima komunitas hijrah, yakni Pemuda Hijrah SHIFT, Kajian Musawarah, Yuk Ngaji, The Strangers Al-Ghuroba, dan Terang Jakarta.
Pemuda Hijrah SHIFT berbasis di Bandung, Jawa Barat, sementara empat komunitas lainnya berada di Jakarta.
Peneliti PPIM menyimpulkan bahwa hijrah oleh kelompok tersebut dimaknai sebagai konversi keagamaan secara praktik individual ke komunal. Hal ini berdasarkan dari dari telaah konten ceramah dan wawancara sejumlah pengikut komunitas. Hasil penelitian juga menyebutkan gerakan ini berkembang di kelas menengah urban, terutama di generasi muda.
Sebagian dari mereka masuk dalam kategori konservatif, yang menolak penafsiran ulang modernis, liberal, ataupun progresif terhadap ajaran Islam. Kelompok ini menolak gagasan kesetaraan jender, tantangan terhadap otoritas yang mapan, serta pendekatan hermeneutis modern terhadap kitab suci. Sementara yang lain berada dalam kelompok Islamisme, merujuk pada kelompok yang mempromosikan tatanan Allah, bukan berdasarkan kedaulatan rakyat.
Kelompok konservatif terdiri dari Salafi dan Non-Salafi. Salafisme merupakan paham keagamaan yang menekankan pada tiga unsur utama, yakni Al Quran dan hadis secara tekstual, ingin hidup seperti di masa Nabi Muhammad SAW, dan mendasarkan pemahaman keagamaan pada tiga generasi awal Islam (salafus shalihin).
Baca Juga: Tularkan Moderasi Beragama
Penelitan membagi lagi kelompok Salafi menjadi Salafi murni dan Salafi akomodatif. Istilah terakhir digunakan khusus dalam penelitian karena kelompok ini menunjukkan sikap akomodatif terhadap nilai-nilai modern dan praktik keagamaan mereka tak terakomodasi lagi oleh Salafisme dalam pengertian di atas.
Dari lima komunitas hijrah kontemporer yang menjadi subyek penelitan, empat di antaranya tergolong konservatif. Mereka adalah Kajian Musawarah dan Pemuda Hijrah SHIFT (non-Salafi) serta Terang Jakarta (Salafi akomodatif) dan The Strangers Al Ghuroba (Salafi murni). Sementara itu, Komunitas Yuk Ngaji pimpinan Felix Siauw dikategorikan sebagai kelompok Islamis.
Terkait kesetaraan jender, kelompok non-Salafi dan Salafi murni sama-sama membagi peran suami-istri secara ketat. Bahkan, Salafi murni melarang suami membantu pekerjaan istri. Sementara itu, Salafi akomodatif membolehkan suami membantu pekerjaan istri. Kelompok ini menempatkan suami-istri dalam posisi setara dalam hubungan seksual. Tidak hanya istri yang berdosa dan dilaknat Tuhan ketika menolak berhubungan intim. Suami pun akan mendapat ganjaran yang sama jika menolak menggauli istrinya.
Tak jauh berbeda dari Salafi akomodatif, kelompok Islamis menempatkan perempuan sebagai sahabat lelaki. Kelompok ini menempatkan perempuan sebagai subyek yang harus dilindungi lantaran menjadi target dari musuh Islam.
Salafi murni melarang perempuan bekerja di luar rumah, sementara Salafi akomodatif membolehkan perempuan bekerja dengan syarat tidak meninggalkan tugas utama di rumah dan suami tak mampu lagi menafkahi keluarga. Kelompok non-Salafi juga membolehkan perempuan bekerja jika suami tak bisa lagi mencari nafkah. Sementara itu, penelitian ini tak menemukan data terkait cara pandang kelompok Islamis dalam menyikapi perempuan yang bekerja di luar rumah.
Selain Salafi murni, semua komunitas hijrah yang diteliti mengizinkan perempuan beraktivitas di ruang publik dengan menyesuaikan stereotipe jendernya. Selain itu, Salafi murni menampatkan suami sebagai pengambil keputusan tunggal di keluarga. Kelompok lain juga berprinsip sama. Hanya saja, keputusan itu perlu didiskusikan dulu bersama anggota keluarga lainnya.
Terkait poligami, semua kelompok hijrah membolehkan, yang membedakan adalah syarat dan ketentuan. Kelompok Salafi akomodatif dan non-Salafi mengharuskan poligami dengan syarat ketat, termasuk izin dari istri pertama. Sementara kelompok Salafi murni tergolong moderat dalam memandang poligami.
Baca Juga: Jadikan Istiqlal sebagai Tempat Berkembangnya Islam Moderat
Dalam perkara menutup aurat, hanya kelompok Salafi murni yang mengharuskan perempuan memakai cadar dan menggunakan celana cingkrang. Adapun kelompok hijrah lainnya membolehkan pengikutnya berpakaian trendi asalkan menutup aurat.
Selain kelompok Islamis, semua komunitas hijrah mendukung pernikahan di bawah umur. Pertimbangannya adalah untuk menghindari zina, memperbanyak pahala, dan memutus dosa.
Terkait sikap komunitas hijrah terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), semua kelompok gerakan hijrah cukup terbuka dengan nasionalisme. Mereka pun tidak membenarkan kekerasan dan mengutuk aksi terorisme di Indonesia.
Secara historis, kata Noorhaidi Hasan, istilah hijrah digunakan oleh gerakan Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir. Gerakan yang dimulai 1928 ini bertujuan untuk mengislamkan seluruh sendi kehidupan. Para peneliti menyebut gerakan ini sebagai Islamisme atau gerakan Islam politik: sebuah visi, misi, gagasan, dan aksi yang mendorong Islam ke dalam pusat kekuasaan.
Baca Juga: Mengarusutamakan Islam Moderat
Dalam konteks itu, Islam tak sekadar agama. Ia menjadi ideologi politik, sistem ekonomi, sosial, serta budaya. Semua hal harus diatur berdasarkan nilai dan ajaran Islam.
Sebagai gerakan, lanjut Noorhaidi, IM merekrut pengikut dengan strategi hijrah. IM memaknai tauhid dengan tendensius. Ketika seorang Muslim mengaku tiada tuhan selain Allah dan tiada Muhammad sebagai utusan Allah, seluruh hidupnya harus berjalan atas semua aturan Allah yang disampaikan oleh Muhammad. Jika ada seorang Muslim yang dalam mendidik anaknya mengikuti undang-undang atau memilih berpolitik dengan aturan negara tertentu, misalnya, orang tersebut dianggap melalaikan komitmen tauhid.
Dari sini, lahir doktrin yang mengandaikan keterbelahan dunia: dunia jahiliah (kebodohan) dan non-jahiliah. Doktrin ini mengharuskan seorang Muslim menjauhi orang yang hidup dalam sistem jahiliah kendati sesama Muslim. Di Mesir, dia menambahkan, paham ini digunakan untuk melawan rezim yang sedang berkuasa. Gerakan ini membolehkan perlawanan bersenjata jika rezim tidak menjalankan syariat Islam.
Dalam perkembangannya, dia melanjutkan, gerakan Islamisme gagal karena rezim di negara Islam tetap kokoh dan bisa menundukkan perlawanan Islamisme. Ditambah lagi, hampir semua negara, termasuk negara Islam, yang dipimpin Amerika Serikat melakukan perang global melawan terorisme.
Baca Juga: Khazanah Indonesia Bisa Tangkal Radikalisme
Indonesia, misalnya, turut bergabung dengan gerakan global ini dengan menggunakan pendekatan lunak dan pendekatan keras. Menurut Noorhaidi, gerakan global ini memaksa gerakan Islamisme untuk berubah. Mereka lebih fokus mengislamkan akar rumput dengan terminologi hijrah.
”Dengan perang global terhadap terorisme, posisi Islamisme kian terjepit. Mereka tidak akan mungkin lagi berteriak-teriak tentang jihad dan menyerukan perlawanan terhadap negara karena akan diringkus oleh aparat,” ujarnya.
Karena itu, dia menempatkan gerakan hijrah kontemporer sebagai transformasi dari gerakan Islam politis menjadi gerakan yang lebih berorientasi dakwah dan mengajak individu menjadi lebih religius. Ideologi politik Islam yang tadinya kental menjadi lebih tipis.
Namun, pertanyaan yang belum terjawab, kata dia, belum ada penelitian yang bisa menjelaskan motif dari transformasi ini. ”Apakah ini memang transformasi yang genuine (sejati) akibat demokratisasi di seluruh sektor kehidupan, termasuk gerakan Islam, atau ini sekadar perubahan taktik dari Islamisme untuk menggalang kekuatan dan melancarkan lagi agenda utamanya untuk mengubah sistem demokrasi di negara dengan mayoritas Islam?” ujarnya.
Bangsa Indonesia, katanya, harus menyambut positif jika transformasi ini merupakan bentuk demokratisasi gerakan Islam. Oleh sebab itu, negara jangan terlalu keras terhadap gerakan ini. Namun, kewaspadaan harus ditingkatkan jika hijrah kontemporer ternyata menjadi sekadar taktik dari Islam politik untuk menggalang kekuatan. Menurut dia, pembahasan ini yang luput dari penelitian. ”Kajian terhadap transformasi ini harus menjadi fokus kita ke depan,” ujarnya.
Menyambung uraian Noorhaidi yang menyebut hijrah kontemprorer sebagai bentuk transformasi, Lies Marcoes Natsir menambahkan, jangan-jangan tren hijrah itu disuburkan paham kapitalisme. Terlihat betul bahwa pasar menyambut tren ini meski tren tersebut mengarah ke konservatisme.
Karena itu, penelitian ini harus melihat aspek jender secara lebih detail. Dia menduga ini merupakan bentuk hegemoni kapitalisme yang memperluas pasar dengan mengunakan simbol-simbol Islam. Dan, perempuan menjadi subyek yang sangat penting dalam prosesnya.
”Dalam 24 halaman yang disampaikan sebagai ringkasan eksekutif (kesimpulan), aspek jender belum menonjol. Kedua, saya merasa sudah cukup terjelaskan mengenai apa, siapa, demografinya kelihatan, dan juga tren keagamaan, tetapi argumentasi ini tidak menjelaskan secara langsung dalam metodologi aspek jendernya. Tak muncul juga di dalam penelitian tentang mengapa orang atau apa yang memotivasi orang untuk terlibat dengan gerakan ini,” paparnya.
Baca Juga: Melerai Dua Kutub Ekstrem Teologi
Menurut Asrorun Niam, tren gerakan hijrah kontemporer harus dilihat dalam ruang dan waktu masa kini. Ada keinginan dari generasi muda untuk memperkuat spiritualitas setelah mapan secara sosial dan ekonomi.
Kehausan terhadap agama juga dipicu karakter masyarakat urban yang cenderung kapitalistik, budaya pop yang nirmoral dan mengabaikan nilai-nilai Islam. Di sisi lain, pengusung Islam liberal kadang kala tak sensitif terhadap isu-isu yang dianggap bertentangan dengan keyakinan agama. ”Misanya, mereka sedang mengkaji agama, tetapi tidak menutup aurat dengan benar,” ujarnya.
Karena itu, kata Niam, moderasi dalam beragama harus menjadi pilihan. Moderasi dalam beragama tidak dijadikan sebagai doktrin, tetapi dijalankan secara partisipatif. Moderasi dalam beragama harus berdiri di antara ekstrem kiri atau liberal yang tak responsif, bahkan mencederai kelompok konservatif, dan ekstrem kanan yang terlalu eksklusif dengan kelompok sendiri. Kedua kutub harus berdiskusi dan menyampaikan persoalan terkini serta masalah yang dihadapi.
Menurut Kamaruddin Amin, tren gerakan hijrah kontemprorer merupakan bagian dari kontestasi pemaknaan agama. Kontestasi antara konservatisme, liberalisme, dan moderatisme sebagai jalan tengah sudah berlangsung sejak dulu. Dalam konteks Indonesia sebagai negara demokrasi, semua pihak harus saling menghargai.
”Terlepas dari konten dakwahnya, saya melihat gerakan hijrah berangkat dari kecintaan terhadap Islam sebagai upaya untuk menanamkan militansi religiositas yang patut diapresiasi,” ujarnya.
Dia melanjutkan, fenomena ini juga menunjukkan perebutan otoritas di ruang publik. Melalui media sosial dan budaya pop, gerakan hijrah bisa merebut secara parsial otoritas keagamaan di ruang publik. Hal ini menjadi tantangan bagi pemerintah, termasuk para ulama, yang memilih moderasi beragama sebagai jalan dakwah. ”Terkait instrumen dakwah, ini contoh bagus dari kelompok hijrah yang harus dicontoh para ulama kita,” ujarnya.
Kementerian Agama, dia melanjutkan, memutuskan memilih moderasi beragama untuk mewujudkan kesalehan spritual, sosial, serta kerukunan antarumat beragama. Moderasi beragama pun sudah termasuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
Mewakili kelompok gerakan hijrah, Inong mengibaratkan penelitian ini merupakan bentuk kekhawatiran orangtua terhadap aktivitas anak-anaknya. Dia menjamin, tak ada aktivitas di gerakan hijrah yang membahayakan pribadi ataupun negara.
Menurut dia, persoalan generasi muda berkisar pada lima hal, yakni cinta, karier, hiburan, status sosial, dan masalah keluarga. Dakwah gerakan hijrah berangkat dari lima persoalan itu. ”Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Ini adalah upaya kami dalam memperbaiki diri dan insya Allah tidak membahayakan diri dan negeri,” katanya.