Pemerintah Abaikan Desakan Pemisahan Waktu Pilkada dan Pemilu di 2024
Pemerintah berdalih fokus menghadapi pandemi. Padahal, pilkada serentak nasional dengan pemilu legislatif dan presiden di 2024 berisiko mengulang kejadian di Pemilu 2019 di mana banyak petugas meninggal karena kelelahan.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Desakan agar penyelenggaraan pemilihan kepala daerah serentak nasional tidak bersamaan dengan pemilu presiden dan pemilu legislatif pada 2024 menguat. Penyelenggaraan di tahun yang sama bakal merepotkan penyelenggara pemilu. Pemerintah dan DPR seharusnya berkaca pada penyelenggaraan Pemilu 2019 yang membebani penyelenggara pemilu, bahkan ratusan petugas meninggal karena kelelahan.
Namun, Kementerian Dalam Negeri mengabaikan desakan ini. Pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak nasional harus tetap digelar pada 2024.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Dalam diskusi bertajuk ”RUU Pemilu, Batal atau Lanjutkan?”, Jumat (29/1/2021), Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta mengatakan, penyelenggaraan pilkada serentak nasional bersamaan dengan pemilu legislatif dan pemilu presiden pada 2024 akan merepotkan penyelenggara pemilu. Selain itu, isu-isu lokal dikhawatirkan akan terpinggirkan oleh isu-isu nasional atau sebaliknya.
Dalam diskusi tersebut, hadir pula komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Pramono Ubaid Tanthowi; dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Ridho Al-Hamdi; serta pembina Komite Independen Sadar Pemilu (KISP), Bambang Eka.
Oleh karena itu, ia mendesak agar DPR melanjutkan proses penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu di mana di dalamnya harus diatur pemisahan waktu penyelenggaraan pilkada serentak dan pemilu legislatif serta pemilu presiden.
”Bahayanya kalau (RUU Pemilu) ditunda, ini akan menjadi beban kerja yang berat. Jadi, revisi undang-undang ini harus tetap dilaksanakan,” ujar Kaka.
Melalui RUU Pemilu, sejumlah fraksi di DPR menginginkan pengaturan pemilu legislatif dan pemilu presiden digabung dengan pilkada. Dengan demikian, terbuka peluang pemisahan waktu penyelenggaraan tersebut dalam RUU Pemilu. Ini terutama untuk merevisi aturan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang mengamanatkan pilkada serentak nasional digelar pada 2024.
Namun, kelanjutan penyusunan RUU Pemilu itu menjadi tidak pasti menyusul munculnya penolakan pembahasan RUU Pemilu dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Adapun Komisi II DPR sebagai pengusul RUU menginginkan seluruh fraksi menyetujui pembahasan. Sebab, RUU Pemilu merupakan inisiatif DPR.
Ridho Al-Hamdi sependapat dengan Kaka bahwa pemisahan antara pemilu nasional dan pemilu daerah harus dibahas di dalam revisi UU Pemilu.
Hal ini, menurut dia, tidak terlepas dari memori kelam pada Pemilu 2019. Saat itu, dengan pemilu legislatif dan pemilu presiden digelar serentak, ada 894 petugas penyelenggara pemilu yang meninggal dan 5.175 petugas sakit karena kelelahan. Belum lagi jika harus dibebankan tugas menyelenggarakan pilkada, ia khawatir peristiwa kelam itu akan terulang, bahkan bertambah parah.
”Ini harus menjadi refleksi bersama agar memori kelam itu tak terulang kembali,” ucap Ridho.
Bambang Eka pun berharap PAN dan PPP mengubah sikapnya dengan berkaca pada peristiwa kelam saat Pemilu 2019. Namun, kalaupun tidak, perbedaan sikap kedua fraksi seharusnya tidak mengganjal fraksi lain untuk tetap melanjutkan pembahasan RUU Pemilu. Apalagi ada kepentingan lebih besar yang ingin dicapai untuk perbaikan regulasi kepemiluan dan mencegah banyaknya petugas pemilu yang meninggal pada Pemilu 2019.
Efektif dan efisien
Pramono Ubaid Tanthowi menegaskan, sejatinya revisi UU Pemilu harus ditujukan demi pemilu yang lebih berintegritas. Karena itu, ia melihat, pemisahan pemilu nasional dan daerah merupakan pilihan yang tepat agar penyelenggaraan tetap berjalan optimal.
”Kalau bagi KPU, kan, selalu pendekatannya, mana yang lebih bisa dilaksanakan oleh jajaran KPU yang lebih efektif dan efisien. Misal, soal memisahkan pemilu nasional dan lokal, itu cara pandangnya tentu dari beban pekerjaan,” ujarnya.
Menurut dia, dengan pemisahan pemilu, kerja petugas penyelenggara pemilu akan lebih dimudahkan saat melakukan proses penghitungan. Surat suara juga akan lebih kecil sehingga pemilih akan jauh lebih mudah menjatuhkan pilihan.
”Jadi, itulah, selalu pendekatan untuk kepentingan teknis penyelenggaraan, baik bagi KPU maupun bagi pemilih,” kata Pramono.
Tolak perubahan
Namun, atas desakan dan pertimbangan perlunya pemisahan waktu penyelenggaraan pemilu legislatif dan pemilu presiden dengan pilkada, Kementerian Dalam Negeri menolaknya.
Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Bahtiar menyampaikan, ketentuan pilkada serentak nasional pada 2024 dalam UU Pilkada belum dilaksanakan. Dengan demikian, tidak tepat jika direvisi.
”Tidak tepat jika belum dilaksanakan sudah direvisi. Mestinya, dilaksanakan dulu, kemudian dievaluasi, baru kemudian direvisi jika diperlukan,” ujar Bahtiar.
Apalagi, menurut dia, saat ini negara sedang menghadapi pandemi Covid-19. ”Saat ini kita sedang menghadapi pandemi, menghadapi krisis kesehatan dan perekonomian, seharusnya kita fokus untuk menyelesaikan krisis ini,” katanya.