Badan Legislasi DPR Segera Harmonisasi RUU Pemilu
Harmonisasi Rancangan Undang-Undang Pemilu yang telah diusulkan Komisi II DPR segera dilakukan Badan Legislasi DPR. Pasal-pasal terkait isu krusial yang masih memuat banyak alternatif diharapkan jadi satu alternatif.
JAKARTA, KOMPAS — Badan Legislasi DPR akan segera melakukan harmonisasi Rancangan Undang-Undang Pemilu yang telah diusulkan Komisi II DPR. Pasal-pasal terkait isu krusial yang sebelumnya masih memuat banyak alternatif diharapkan hanya menjadi satu alternatif sehingga proses harmonisasi bisa berjalan cepat.
Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas saat dihubungi di Jakarta, Jumat (8/1/2021), mengatakan, pihaknya belum mendapatkan informasi terkait perbaikan draf RUU Pemilu yang diusulkan Komisi II DPR ke Baleg untuk diharmonisasi.
Sebagaimana diketahui, sebelumnya draf awal RUU Pemilu yang diajukan kepada Baleg masih berupa alternatif, terutama pada isu-isu krusial.
Isu-isu itu antara lain ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold), ambang batas raihan suara untuk diikutkan dalam penghitungan kursi parlemen (parliamentary threshold), sistem pemilu, dan besaran daerah pemilih (district magnitude).
Baca juga : Segera Tuntaskan RUU Pemilu
Mulanya, karena pasal-pasal menyangkut isu krusial itu masih berupa alternatif, Baleg keberatan untuk melakukan harmonisasi dan sinkronisasi. Di dalam rapat Baleg bahkan muncul usulan untuk mengembalikan draf RUU Pemilu itu kepada Komisi II DPR agar dituntaskan dulu di internal mereka sebelum diajukan ke Baleg untuk harmonisasi dan sinkronisasi.
Saya belum lihat kalau sudah ada perbaikan (draf RUU Pemilu) dari Komisi II. Mungkin mereka sudah mengajukan perubahan, tetapi saya belum sempat cek di Baleg. Nanti Senin, saya cek.
”Saya belum lihat kalau sudah ada perbaikan (draf RUU Pemilu) dari Komisi II. Mungkin mereka sudah mengajukan perubahan, tetapi saya belum sempat cek di Baleg. Nanti Senin (11/1/2021), saya cek,” ujar Supratman.
Adapun Senin, 11 Januari 2020, DPR mulai memasuki masa sidang setelah reses. Jika benar perbaikan draf RUU Pemilu telah dimasukkan ke Baleg, menurut Supratman, Baleg akan segera menggelar rapat untuk melakukan harmonisasi.
”Bukan soal lebih cepat atau enggak (harmonisasinya). Jadi, yang bisa kami (Baleg) harmonisasikan (adalah) draf final, bukan alternatif-alternatif. Kalau masih banyak alternatifnya, kami tidak bisa mengambil keputusan di Baleg. Nah, itu harus diselesaikan oleh pengusul, Komisi II,” tutur Supratman.
Ia mengaku, jika pasal-pasal sudah matang, proses harmonisasi bisa berlangsung cepat. ”Kami tak ada urusan (memperlama proses). Begitu sudah sempurna pasal-pasalnya, pasti kami selesaikan harmonisasinya. Mau suka atau tidak, harus kami selesaikan,” ucapnya.
Satu alternatif
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Nasdem Saan Mustopa menyampaikan, berdasarkan perkembangan terbaru, fraksi-fraksi di Komisi II DPR telah setuju pada satu alternatif sehingga proses harmonisasi dan sinkronisasi di Baleg DPR dapat dilanjutkan.
”Komisi II sudah rapat internal dengan seluruh kapoksi (ketua kelompok fraksi) untuk menyamakan draf RUU Pemilu yang bersifat alternatif itu untuk dijadikan satu alternatif saja. Ini semua berdasarkan kesepahaman di internal Komisi II dan sudah dikirim ke Baleg, terutama yang terkait isu-isu yang dianggap krusial,” tutur Saan.
Kesepahaman antarfraksi itu dicapai karena Komisi II menginginkan draf RUU Pemilu dapat segera ditetapkan sebagai RUU inisiatif DPR dan selanjutnya dibahas dengan pemerintah.
”Ego dari setiap fraksi dihilangkan dulu karena ini, kan, baru draf saja. Nanti soal substansi dapat berkembang dalam pembahasan dengan pemerintah. Jadi, kami sudah berhasil membuat draf yang sesuai dengan tata cara pembuatan draf RUU yang telah dikirim kepada Baleg,” ujarnya.
Oleh karena itu, menurut Saan, Komisi II DPR berharap proses harmonisasi dan sinkronisasi di Baleg dapat lebih cepat dilakukan. Sebab, draf RUU tidak lagi berupa opsi atau alternatif. Beberapa persoalan yang sebelumnya masih berupa banyak alternatif sesuai dengan sikap dan pendirian setiap fraksi kini telah disepakati menjadi satu alternatif saja.
Sebagai contoh, dalam draf yang kini ada di Baleg, Komisi II mengusulkan ambang batas penghitungan kursi di parlemen diberlakukan berjenjang, yakni 5 persen suara untuk DPR RI, 4 persen suara untuk DPR provinsi, dan 3 persen suara untuk DPR kabupaten/kota. Sebelum ada kesepakatan ini, setiap fraksi mengusulkan besaran ambang batas yang berbeda-beda.
Selain itu, sistem pemilu disepakati menjadi proporsional terbuka. Dalam draf sebelumnya, alternatif yang muncul juga bervariasi. Ada fraksi yang menginginkan sistem proporsional terbuka dan ada yang menginginkan sistem proporsional tertutup.
Untuk besaran daerah pemilihan, Komisi II menyepakati 3-8 kursi setiap dapil. Angka ini dianggap moderat dan tidak terlalu kecil atau besar.
Adapun ambang batas pencalonan presiden disepakati untuk dipertahankan 20 persen raihan suara parpol atau gabungan parpol. Ambang batas pencalonan presiden ini tidak berubah dibandingkan dengan yang berlaku dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Saan mengatakan, dalam draf juga ada catatan khusus mengenai penggabungan pengaturan pilkada dalam UU Pemilu. Komisi II DPR menyepakati agar pilkada juga diatur dalam UU Pemilu hasil revisi, tetapi dalam draf RUU yang diserahkan kepada Baleg diberi catatan. Sebab, Fraksi PDI-P keberatan jika pilkada dijadikan satu pengaturannya dengan pemilu legislatif dan pemilu presiden dalam UU Pemilu.
”Kami memang minta persetujuan dari semua fraksi di Komisi II DPR dan sudah jadi satu alternatif yang kami ajukan kepada Baleg. Kami harapkan pembahasan dengan pemerintah bisa berjalan Maret tahun ini dan target penyelesaian paling lambat pertengahan atau kalau molor sedikit di bulan Agustus 2021,” ujarnya.
Tarik-menarik kepentingan
Sementara itu, anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, berpandangan, sebenarnya ada dua opsi yang bisa dilakukan untuk memberikan kepastian hukum pilkada serentak 2022.
Pertama, pemerintah bisa mengambil opsi penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Kedua, revisi terbatas UU Pilkada, terutama Pasal 201 yang mengatur tentang keserentakan pilkada. Kedua opsi ini yang memungkinkan apabila DPR menginginkan opsi agar pemilu legislatif dan pemilu presiden tidak digelar pada tahun yang sama, yaitu tahun 2024.
”Untuk memberikan kepastian hukum bagi daerah untuk menyediakan anggaran pilkada, penataan jadwal bagi penyelenggara pemilu, serta sirkulasi elite daerah, pilihannya antara perppu atau revisi terbatas UU Pilkada,” kata Titi.
Menurut Titi, jika pilkada serentak dilakukan pada tahun 2022, pos anggaran sudah harus dipastikan maksimal pada awal semester kedua 2021. Selain itu, dari sisi penyelenggara pemilu, jadwal dan tahapan pemilu juga sudah harus berjalan sejak 2021.
Jika tidak, DPR dituntut untuk membahas RUU Pemilu secara cepat. RUU Pemilu harus disahkan pada tahun ini. Menurut Titi, sebenarnya hal itu tidak terlalu sulit karena hanya menyinkronkan dan mengharmonisasikan substansi dari UU Pemilu dan UU Pilkada.
Namun, berdasarkan pengalaman sebelumnya, pembahasan RUU Pemilu di DPR diprediksi tidak akan cepat. Apalagi saat pembahasan substansi yang berkaitan dengan parpol, diprediksi akan terjadi tarik-menarik isu dan kepentingan parpol.
Misalnya, untuk pembahasan sistem ambang batas, besaran daerah pemilihan, alokasi kursi di daerah pemilihan, hingga metode konversi suara ke kursi. Berdasarkan pola pembahasan sebelumnya, pembahasan RUU Pemilu akan memakan waktu lama dan terancam molor.
Dari pengalaman pembahasan RUU Pemilu pada tahun 2010, pembahasan berlangsung hampir dua tahun. RUU itu baru disahkan di paripurna pada bulan April 2012.
”Dari pengalaman pembahasan RUU Pemilu pada tahun 2010, pembahasan berlangsung hampir dua tahun. RUU itu baru disahkan di paripurna pada bulan April 2012,” ujar Titi.
Baca juga : Implementasi Pemilu Serentak Perlu Dikaji
Apalagi jika melihat target jangka panjang RUU Pemilu, yang diharapkan menjadi aturan yang ajek mengenai pemilu dan pilkada. Pembahasan RUU Pemilu harus hati-hati dan tidak dikejar target untuk cepat selesai.
Untuk menyempurnakan aturan mengenai pemilu, misalnya, akan bergulir gagasan tentang peradilan khusus pemilu. Selain itu, dibutuhkan evaluasi komprehensif pelaksanaan pemilu dan pilkada serentak selama ini. Karena itu, pembahasan harus benar-benar mendalam dan substantif.
”Kita punya target jangka panjang UU Pemilu yang ajek dan tidak bergonta-ganti setiap pemilu, sementara di sisi lain berhadapan dengan penataan jadwal pilkada. Karena itu, menurut saya, opsi yang memungkinkan, meskipun tidak populer, adalah penerbitan perppu atau revisi terbatas UU Pilkada,” tegas Titi.