Banyak Gugatan Pilkada di MK, KPU: Bentuk Kematangan Demokrasi
Banyaknya permohonan sengketa hasil Pilkada 2020 di MK dimaknai sebagai bentuk kematangan demokrasi lokal. Sebab, aktor-aktor politik lokal lebih memilih jalur hukum untuk menyalurkan ketidakpuasan atas hasil pilkada.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Proses demokrasi dalam pemilihan kepala daerah dinilai semakin matang. Baik kontestan maupun pemantau memercayakan pengadilan untuk menyelesaikan sengketa hasil pilkada. Bahkan, di daerah yang diikuti pasangan calon tunggal, tetap muncul permohonan sengketa hasil pilkada dari pemantau pemilu.
Hasil kajian awal Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (KoDe) Inisiatif, ada 136 permohonan sengketa hasil pilkada yang masuk ke Mahkamah Konstitusi. Artinya, sebanyak 42,9 persen dari total 270 daerah yang mengadakan pilkada serentak 2020 mengajukan sengketa perselisihan. Permohonan sengketa hasil pilkada paling banyak berasal dari pemilihan bupati, yaitu 115 permohonan, 14 permohonan dari pemilihan wali kota, dan 7 permohonan dari pemilihan gubernur.
”Dari 32 provinsi yang mengikuti pilkada serentak 2020, 29 di antaranya mengajukan sengketa hasil pilkada. Hanya Provinsi Bangka Belitung, Bali, dan Daerah Istimewa Yogyakarta yang tidak ada permohonan,” ujar Koordinator Harian KoDe Inisiatif Ihsan Maulana dalam diskusi daring bertajuk ”Peluncuran Kajian Awal Sengketa Hasil Pilkada 2020: Tantangan Sengketa Pilkada di Tengah Pandemi Covid-19”, Kamis (7/1/2021).
Selain Ihsan, narasumber lain dalam diskusi itu adalah Ketua KoDe Inisiatif Veri Junaidi, anggota KPU Hasyim Asyari, anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar, dan Juru Bicara Mahkamah Konstitusi Fajar Laksono Suroso. Acara dipandu oleh moderator peneliti KoDe Inisiatif, Violla Reininda.
Salah satu yang dipotret dalam kajian ini adalah delapan sengketa hasil pemilihan yang diajukan oleh pemantau pemilihan dan bakal calon.
Ada lima permohonan yang diajukan oleh pemantau pemilu, yaitu dua sengketa hasil pemilihan bupati Ogan Komering Ulu Selatan, Sulawesi Selatan; pemilihan bupati Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur; pemilihan bupati Raja Ampat, Papua Barat; dan pemilihan wali kota Balikpapan, Kalimantan Timur. Adapun permohonan sengketa dari bakal calon berasal dari pemilihan bupati Manokwari Selatan, Papua Barat, dan pemilihan bupati Nabire, Papua.
Meskipun pilkada diikuti calon tunggal melawan kotak kosong, tidak berarti kesalahan penghitungan dan kecurangan dibiarkan begitu saja.
”Menariknya, enam dari delapan permohonan ini, pilkadanya diikuti oleh pasangan calon tunggal, yaitu di Ogan Komering Ulu Selatan, Kutai Kartanegara, Balikpapan, Raja Ampat, dan Manokwari Selatan,” ujar Ihsan.
Menurut Ihsan, hal itu merupakan bentuk partisipasi publik yang baik untuk menjaga supaya pilkada berjalan sesuai prosedur dan regulasi yang ada. Meskipun pilkada diikuti calon tunggal melawan kotak kosong, tidak berarti kesalahan penghitungan dan kecurangan dibiarkan begitu saja.
Agar perkara dari pemantau pemilu ini diperiksa hakim Mahkamah Konstitusi (MK), mereka harus memenuhi syarat kedudukan hukum yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penanganan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Tahun 2020. PMK No 6/2020 mensyaratkan hanya pemantau pemilu yang terakreditasi oleh KPU yang memiliki kedudukan hukum sebagai pemohon.
Adapun syarat kedudukan hukum bagi pemohon yang berasal dari bakal calon memang tidak diatur dalam PMK No 6/2020. Meskipun demikian, sebelumnya sudah pernah ada bakal calon yang juga mendaftarkan sengketa hasil pilkada 2018 ke MK. Saat itu, bakal calon dari Kota Makassar, Sulawesi Selatan, mengajukan perselisihan hasil pilkada ke MK. Pilkada serentak 2018 di Makassar sendiri dimenangi oleh kotak kosong. Saat itu, permohonan dari bakal calon tersebut kandas karena tidak memenuhi syarat kedudukan hukum.
Kematangan demokrasi
Hasyim Asyari mengatakan, banyaknya pengajuan sengketa hasil pilkada ke MK bisa dimaknai sebagai bentuk kematangan demokrasi di daerah. Menurut dia, hal itu mengindikasikan aktor-aktor politik lokal lebih memilih jalur hukum untuk penyelesaian sengketa. Tidak hanya sengketa hasil, permasalahan hukum lain selama pilkada pun banyak dilaporkan ke Bawaslu dan Mahkamah Agung.
”Jalur-jalur yang disediakan secara yuridis dan konstitusional ditempuh oleh aktor-aktor politik yang terlibat dalam pemilu dan pilkada,” kata Hasyim.
Pembatalan calon
Di sisi lain, dalam Pilkada 2020 masih ditemukan ketidaksinkronan regulasi yang berimplikasi serius secara hukum.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Lampung, misalnya, membatalkan penetapan pasangan calon Eva Dwiana-Deddy Amarullah. Pembatalan itu dilakukan karena calon terbukti melakukan pelanggaran administratif secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Padahal, calon tersebut unggul dalam perolehan suara pilkada.
Terkait hal itu, Veri Junaidi mengatakan, Bawaslu memang memiliki kewenangan untuk menangani pelanggaran administratif seperti kasus kecurangan TSM dan politik uang.
Namun, penjatuhan sanksi tersebut seharusnya dihitung momentumnya. Apabila sudah masuk pada tahapan perselisihan hasil pilkada, seharusnya bisa menjadi obyek sengketa di MK. Ini sekaligus untuk mencegah ada perbedaan putusan antara MK dan Mahkamah Agung. MK, ditekankannya, seharusnya menjadi peradilan terakhir untuk memutus perkara sengketa hasil pilkada.
”Sebaiknya semua diselesaikan di MK karena ada ruang untuk menilai itu. Jika yang terjadi ada gugatan keputusan Bawaslu di MA, kemudian selisih hasil di MK, dan putusannya bertentangan, ini akan memicu sengketa berkepanjangan,” kata Veri.
Fritz Edward Siregar mengatakan, rekomendasi Bawaslu soal pembatalan penetapan calon pilkada sudah sesuai dengan Pasal 71 Ayat (2) dan Ayat (3) UU Pilkada. Pasal tersebut memang memiliki dampak diskualifikasi. Beberapa pasangan calon yang didiskualifikasi itu adalah pasangan calon di Gorontalo, Pegunungan Bintang, Kaur, Ogan Komering Ilir, dan Tasikmalaya.
”Saya tidak bisa berkomentar banyak soal itu karena sudah masuk dalam materi perkara di MK. Biar nanti MK menilai bagaimana rekomendasi Bawaslu tersebut,” kata Fritz.