Perbaikan data penerima bantuan sosial mutlak dilakukan menyusul hendak dicairkannya bansos pada awal Januari ini. KPK akan mengawal proses perbaikan data tersebut.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyaluran bantuan sosial yang sepenuhnya diberikan secara tunai pada tahun ini membutuhkan akurasi data penerima bantuan. Untuk itu, Komisi Pemberantasan Korupsi akan mengawal perbaikan data penerima bantuan atau Data Terpadu Kesejahteraan Sosial oleh Kementerian Sosial.
Tak hanya itu, KPK pun meminta Kementerian Sosial menggabungkan tiga basis data penerima bantuan agar bantuan yang diterima warga tidak tumpang-tindih.
”Perbaikan data ini sangat penting karena pada tahun ini pemerintah sudah memutuskan bahwa bantuan sosial diserahkan dalam bentuk tunai, tidak lagi dalam bentuk barang-barang kebutuhan pokok. Penyaluran bantuan secara tunai membutuhkan akurasi data penerima bantuan agar tepat sasaran dan penerima bantuan tidak menerima lebih dari satu jenis bantuan,” ujar Deputi Bidang Pencegahan KPK Pahala Nainggolan saat dihubungi, Minggu (3/1/2021).
Perbaikan data ini sangat penting karena pada tahun ini pemerintah sudah memutuskan bahwa bantuan sosial diserahkan dalam bentuk tunai, tidak lagi dalam bentuk barang-barang kebutuhan pokok.
KPK, lanjut Pahala, sebenarnya sudah melayangkan surat berisi sejumlah rekomendasi untuk perbaikan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) kepada Kementerian Sosial (Kemensos) sehari sebelum Mensos Juliari P Batubara ditahan KPK pada 6 Desember 2020.
Namun, dengan Juliari ditahan karena ditengarai mengorupsi pengadaan paket bansos dan posisinya digantikan Tri Rismaharini, KPK berencana menjelaskan kembali rekomendasi perbaikan itu kepada Tri Rismaharini. Pasalnya, hingga saat ini, rekomendasi dari KPK belum terlihat dilaksanakan oleh pemerintah.
”Inti rekomendasi KPK, Mensos harus gabung tiga basis data orang miskin yang dikelola dua dirjen dan satu sekjen karena pasti tumpang-tindih. Yang PKH (Program Keluarga Harapan) itu data base sendiri, BPNT (Bantuan Pangan Non Tunai) sendiri, dan DTKS sendiri lagi. Ini sudah kami minta gabung, tetapi (hingga sekarang) belum (dilakukan),” ujar Pahala.
KPK juga merekomendasikan agar program perbaikan DTKS yang memakan anggaran sebesar Rp 1,4 triliun tidak menjadi proyek sentralisasi, tetapi lebih ke dana dekonsentrasi ke pemerintah daerah. Pahala menjelaskan, cara ini bertujuan supaya ada rasa memiliki dan pembaruan data lebih akurat. Menurut Pahala, jika proyek ini berada di pemerintah pusat, akan lebih rawan disalahgunakan.
KPK merekomendasikan agar program perbaikan DTKS yang memakan anggaran sebesar Rp 1,4 triliun tidak menjadi proyek sentralisasi, tetapi lebih ke dana dekonsentrasi ke pemerintah daerah.
Vaksin
Terkait dengan pengadaan vaksin, Pahala menegaskan, rekomendasi KPK sudah dijalankan pemerintah, yakni penetapan jumlah, jenis, dan tata cara pengadaan. Menurut Pahala, risiko korupsi pengadaan vaksin tergolong kecil karena diberikan semua secara gratis.
”Pemerintah yang membeli semua. Asal memenuhi syarat. Ada otorisasi dari BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan), artinya barang sah. Soal kontrak pembelian, Jamdatun (Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha), LKPP, serta BPKP bisa membantu merumuskan kontraknya supaya negara tidak rugi” kata Pahala.
Menurut Pahala, potensi korupsi yang besar justru ada pada pengadaan alat kesehatan, APD (alat pelindung diri), tes diagnostik, dan alat kesehatan lainnya. Sebab, ada keterlibatan swasta di dalamnya. KPK akan mendorong menteri kesehatan untuk kembali menjalankan e-katalog di sektor alat kesehatan.
Pelaksana Tugas Juru Bicara Pencegahan KPK Ipi Maryati Kuding menambahkan, KPK akan terus mengawal kebijakan dan program pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19 dan pemulihan nasional.
Sebagai fungsi koordinasi dan pemantauan di tingkat pusat dan daerah, KPK membentuk 15 satgas khusus pada kedeputian pencegahan untuk mendampingi, monitor, dan memberikan rekomendasi untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Dewi Anggraeni, mengatakan, pengadaan untuk penanganan Covid-19 harus diawasi secara maksimal. Apalagi, sudah ada pembelajaran dari kasus Juliari.
”Pemerintah harus transparan terhadap proses pengadaan penanganan Covid-19, termasuk untuk vaksin. Karena tidak hanya anggarannya yang besar, efektivitas vaksin juga masih dipertanyakan sehingga perlu ditransparankan informasinya. Informasi yang transparan akan membuat semua mudah diawasi. Tidak hanya KPK, tetapi juga untuk publik,” tutur Dewi.