Masyarakat Sipil: Polisi Siber Perlu Diimbangi dengan Program Literasi Digital
Pemerintah diminta untuk menyiapkan kerangka utuh dalam menyelesaikan persoalan di dunia maya. Tak hanya fokus padai penegakan hukum melalui polisi siber, pemerintah juga diminta meningkatkan literasi digital warga.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berencana untuk lebih mengaktifkan kinerja polisi siber pada 2021. Terkait dengan hal tersebut, masyarakat sipil mengingatkan agar pemerintah menyeimbangkan pemantauan digital yang dilakukan dengan tetap menjaga kebebasan berekspresi di ruang maya. Penegakan hukum sebaiknya menjadi langkah terakhir atau ultimum remedium.
Dalam wawancara khusus dengan harian Kompas, Kamis (17/12/2020) malam, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, potensi ancaman yang perlu diperhatikan pada 2021 adalah ketegangan politik, terorisme, dan serangan digital. Menurut dia, pada 2021, kondisi politik akan mulai memanas karena sudah masuk ke pembahasan berbagai undang-undang di bidang politik.
Serangan digital akan meningkat pada 2021. Karena itu, tahun depan, pemerintah akan lebih serius lagi mengaktifkan polisi siber
Hal tersebut diprediksi akan menimbulkan ketegangan. Ketegangan politik, biasanya akan diikuti ancaman keamanan, baik karena demonstrasi, kerusuhan, maupun penumpang gelap. Mahfud juga melihat bahwa serangan digital akan meningkat pada 2021. Karena itu, tahun depan, pemerintah akan lebih serius lagi mengaktifkan polisi siber.
”Tahun 2021 akan diaktifkan sungguh-sungguh (polisi siber). Karena kalau (pemerintah) terlalu toleran, juga berbahaya,” ujar Mahfud.
Polisi siber yang dimaksud Mahfud adalah informasi yang membutuhkan kontranarasi, akan dibuat ramai-ramai oleh instansi pemerintah. Namun, jika sifatnya pelanggaran atau tindak pidana, akan ditindak oleh kepolisian. Menurut Mahfud, mekanisme polisi siber itu nantinya akan diterapkan secara bertanggung jawab, tidak sewenang-wenang. Informasi yang sifatnya hinaan terhadap personal tidak akan diproses hukum. Namun, jika sudah berhubungan dengan kepentingan masyarakat, polisi akan menindak.
Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar saat dihubungi, Sabtu (26/12), mengatakan, penggunaan internet sebagai ruang interaksi ke depan memang akan menjadi pilihan. Hal itu terutama diakselerasi oleh pandemi Covid-19 yang mengharuskan orang membatasi pertemuan langsung. Karena banyaknya interaksi di ruang digital itu, potensi ancaman memang harus diantisipasi.
Langkah pemerintah seharusnya lebih komprehensif. Pemerintah diminta tidak hanya fokus pada upaya penegakan hukum, yang seharusnya menjadi strategi di hilir
Namun, menurut dia, langkah pemerintah seharusnya lebih komprehensif. Pemerintah diminta tidak hanya fokus pada upaya penegakan hukum, yang seharusnya menjadi strategi di hilir. Di luar itu, pemerintah semestinya juga memikirkan tentang program literasi digital untuk meningkatkan kemampuan masyarakat berinternet. Selama ini, peta arah literasi digital belum jelas dan berkelanjutan. Literasi digital hanya sebatas kegiatan seremonial, atau selebrasi berdasarkan momen tertentu.
”Memang dalam konteks ruang siber, penegakan hukum yang dibuat oleh pemerintah ini diharapkan akan menimbulkan efek jera. Namun, selama ini strategi itu tidak efektif. Meskipun sudah ada polisi siber, apakah tren penyebaran disinformasi, berita bohong, ujaran kebencian, menurun? Saya rasa tidak,” ujar Wahyudi.
Wahyudi mengatakan, pemerintah selama ini sudah melakukan berbagai upaya penegakan hukum untuk menciptakan tertib di ranah maya. Namun, hal itu tidak menurunkan jumlah kasus dari tahun ke tahun. Di sisi lain, penggunaan instrumen pemantauan seperti social media intelligence surveillance di kepolisian juga menuai pro-kontra di negara-negara Eropa. Hal itu dianggap melanggar kebebasan sipil karena negara dianggap memata-matai aktivitas warganya.
”Jika dilakukan secara berlebihan, lama-kelamaan warga akan semakin takut mengeluarkan pendapatnya, ekspresinya. Padahal, hal itu dijamin di konstitusi dan negara demokrasi hukum,” kata Wahyudi.
Pemerintah membuat semacam rencana aksi nasional literasi digital untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang risiko dan implikasi dunia digital
Oleh karena itu, Wahyudi berharap pemerintah membuat semacam rencana aksi nasional literasi digital untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang risiko dan implikasi dunia digital. Orang yang memakai sosial media, misalnya, diharapkan sudah memiliki literasi digital sehingga bisa membagikan informasi yang bertanggung jawab.
Adapun langkah penegakan hukum dapat diterapkan apabila ada dampak kejahatan yang ditimbulkan dari penyebaran informasi tersebut. Jika tidak, seharusnya pemerintah lebih mengutamakan langkah mediasi dan literasi. Orang yang baru pertama kali menyebarkan berita bohong (hoaks), ujaran kebencian misalnya, dapat dimediasi dan diliterasi agar tidak melakukannya lagi di kemudian hari.
Adaptif
Sementara itu, Ketua Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia (Mafindo) Septiaji Eko Nugroho mengatakan, upaya untuk memperkuat pengawasan di ruang digital demi ketahanan negara adalah sesuatu yang baik. Namun, harus ada kerangka utuh penyelesaian masalah di ruang maya.
Penegakan hukum seharusnya diletakkan paling akhir. Sebab, menurut Septiaji, selama ini, isu yang paling relevan di bidang digital ini adalah masalah literasi digital yang rendah, kemampuan berpikir kritis yang rendah, dan polarisasi masyarakat. Hal-hal tersebut pada akhirnya berdampak terhadap situasi sosial di masyarakat. Kerukunan sosial menurun, sedangkan kelompok intoleran meningkat. Dengan kompleksitas permasalahan itu, menurut Septiaji, kurang tepat jika langkah yang diambil hanya berfokus pada penegakan hukum.
”Kalau penegakan hukum yang diutamakan, arahnya seperti hanya ingin mengatur masyarakat agar tertib. Padahal, masalah yang dihadapi tidak bisa diselesaikan secara parsial, harus komprehensif dan menyeluruh,” kata Septiaji.
Dengan situasi literasi digital yang sangat rendah itu, penegakan hukum yang dilakukan kepolisian pun sering kali tidak tepat sasaran. Polisi masih memukul rata pelaku penyebar misinformasi dan disiformasi sebagai hoaks
Septiaji menjelaskan, dengan situasi literasi digital yang sangat rendah itu, penegakan hukum yang dilakukan kepolisian pun sering kali tidak tepat sasaran. Polisi masih memukul rata pelaku penyebar misinformasi dan disiformasi sebagai hoaks. Padahal, dalam kasus misinformasi, masyarakat tidak tahu konten yang disebarkan mengandung informasi tak benar dan tak akurat. Kerap, para pelaku melakukan secara tidak sengaja dan tidak memiliki tujuan apa pun untuk menyebarkan informasi hoaks di media sosial.
”Melihat fakta itu, solusinya tentu bukan hanya penegakan hukum, tetapi juga pada peningkatan literasi digital, agar masyarakat lebih selektif dan kreatif dalam berinternet,” kata Septiaji.
Selain itu, Septiaji juga menyarankan kepada pemerintah untuk lebih efektif dalam berkomunikasi publik khususnya di media sosial. Pemerintah diharapkan lebih adaptif dalam memberikan informasi, ataupun berinteraksi dengan warganet di sosial media. Kemampuan berkomunikasi itu menjadi penting karena dapat membangun kepercayaan publik kepada pemerintah. Ketika ada berita bohong, berita dapat segera diklarifikasi oleh akun resmi pemerintah, sehingga tidak menimbulkan potensi merusak.
”Ini pekerjaan rumah bagi pemerintah juga dalam memerangi hoaks, post-truth. Pemerintah harus mampu beradaptasi, serta meng-engange warganet. Sehingga disinformasi atau kabar bohong yang beredar dapat diklarifikasi dengan cepat,” kata Septiaji.