ICW: Ada Potensi Korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa di Kemenkes
Ada potensi korupsi dalam pengadaan barang dan jasa terkait penanganan Covid-19 di Kementerian Kesehatan. ICW menilai hal ini terjadi karena banyak pengadaan barang dilakukan dengan penunjukan dan pengadaan langsung.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia Corruption Watch menemukan ada potensi korupsi dalam pengadaan barang dan jasa selama pandemi Covid-19 di Kementerian Kesehatan. Potensi korupsi itu terjadi karena banyak proyek pengadaan langsung, penunjukan langsung, dan tender cepat yang diikuti oleh perusahaan tidak kompeten.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Dewi Anggraini, dalam diskusi bertema ”Mengawal Distribusi Dana Bantuan Sosial Pandemi Covid-19” yang diadakan oleh Lapor Covid-19, Selasa (22/12/2020), mengatakan, ICW melakukan pemantauan Rencana Umum Pengadaan (RUP) Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) Kemenkes pada periode Maret-Juli 2020. Data RUP PBJ diakses melalui Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SIRUP) Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Periode pengadaan barang dan jasa dipilih Maret-Juli 2020 karena pada saat itu sudah diberlakukan realokasi anggaran untuk penanganan Covid-19.
Ada 74 paket PBJ dengan cara pengadaan langsung bernilai Rp 15,2 miliar. Sebanyak 17 paket PBJ yang dilakukan dengan metode darurat bernilai Rp 313,5 miliar.
Hasilnya, ada 74 paket PBJ dengan cara pengadaan langsung bernilai Rp 15,2 miliar. Sebanyak 17 paket PBJ yang dilakukan dengan metode darurat bernilai Rp 313,5 miliar, 14 paket penunjukan langsung dengan nilai proyek Rp 8,7 miliar, serta 6 paket tender cepat senilai Rp 22 miliar. Sisanya, PBJ dilakukan dengan cara e-purchasing 59 paket, tender 3 paket, dan dikecualikan 1 paket.
”Pengadaan barang dan jasa di Kemenkes ini paling banyak (dilakukan dengan) pengadaan langsung. Seharusnya, aturan pengadaan langsung itu nilainya tidak boleh lebih dari Rp 200 juta. Namun, yang kami temukan ada 11 pengadaan dengan anggaran lebih dari Rp 200 juta,” kata Dewi.
Selain Dewi, narasumber yang hadir dalam diskusi itu adalah anggota Lapor Covid-19, Amanda Tan, dan anggota tim Jaga Bansos Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Henny Kusumaningrum. Adapun Staf Ahli Bidang Perubahan dan Dinamika Sosial Kementerian Sosial (Kemensos) Adhy Karyono tidak hadir.
Sebanyak 11 pengadaan langsung dengan pagu anggaran melebihi Rp 200 juta itu paling banyak ditemukan di Rumah Sakit Umum Sanglah, Denpasar, Bali. Ada tujuh paket pengadaan langsung yang dilakukan oleh RSU Sanglah. Salah satunya adalah belanja peningkatan penambah daya tahan tubuh untuk Covid-19 senilai Rp 1,9 miliar, pengadaan bahan medis habis pakai masing-masing senilai Rp 1,4 miliar dan Rp 1,3 miliar.
Perusahaan yang mengikuti tender pembangunan jaringan dan kontraktor dalam PBJ di Kemenkes tidak kompeten karena tidak memiliki pengalaman pengadaan alat material kesehatan.
ICW juga menemukan bahwa perusahaan yang mengikuti tender pembangunan jaringan dan kontraktor dalam PBJ di Kemenkes tidak kompeten karena tidak memiliki pengalaman pengadaan alat material kesehatan. Pengadaan masker bagi mahasiswa Poltekkes Kemenkes Kupang Tahun 2020, misalnya, dimenangi oleh CV Johan Agung. CV ini minim pengalaman dalam pengadaan alkes. Tender yang pernah diikuti oleh perusahaan ini adalah pengadaan perlengkapan gedung kantor tahun 2019 dan pengadaan buku koleksi perpustakaan SMP swasta di Dinas Pendidikan Kabupaten Lembata.
”Terkait hasil temuan ini, ICW sudah menyampaikan kepada Kemenkes. Kami merasa ada celah sangat besar untuk terjadinya penyalahgunaan atau penyelewengan karena pengadaan barang yang cepat di masa pandemi Covid-19 ini. Korupsi sudah terjadi di Kemensos, jangan sampai terjadi lagi di kementerian atau lembaga lain,” kata Dewi.
Terhadap potensi korupsi selama pandemi Covid-19 ini, ICW meminta agar aparat penegak hukum memprioritaskan pengawasan. Aparat penegak hukum, khususnya KPK, diminta untuk menelusuri pihak kementerian yang berpotensi melakukan penyelewengan pengadaan barang dan jasa.
Bantuan sosial
Sementara itu, pasca-ditangkapnya Menteri Sosial Juliari Batubara terkait dugaan korupsi pengadaan bansos di wilayah Jabodetabek, pengaduan masyarakat ke berbagai platform meningkat. Laporan yang masuk ke Lapor Covid-19 dan Jaga Bansos KPK, misalnya, terus bertambah.
Pada periode September-Desember 2020, Lapor Covid-19 menerima 231 laporan dan terverifikasi 180 laporan. Laporan tersebut akan diteruskan ke instansi terkait untuk ditindaklanjuti. Adapun laporan yang masuk ke Jaga Bansos KPK 2.129 laporan. Dari jumlah tersebut, yang diteruskan ke instansi terkait untuk ditindaklanjuti 450 laporan. Namun, baru 142 laporan ditindaklanjuti oleh instansi terkait.
”Keluhan terbanyak berasal dari Provinsi DKI Jakarta (91 laporan), Jawa Barat (24 laporan), dan Jawa Timur (17 laporan). Kalau di tingkat kabupaten atau kota paling banyak Kota Surabaya (91 laporan), Kabupaten Tangerang (53 laporan), dan Kabupaten Subang (40 laporan),” kata Henny.
Banyaknya laporan yang masuk ke berbagai platform laporan itu membuat KPK mendesak agar Kemensos segera memperbaiki data penerima bantuan sosial. Dari laporan yang masuk ke Jaga Bansos KPK, masih ada warga yang mendapatkan bantuan lebih dari satu, ada pula yang tidak terdata sebagai warga penerima bansos, hingga seharusnya tidak menerima bansos tetapi terdata sebagai penerima. Karena bansos masih akan disalurkan pada tahun anggaran 2021, KPK mendorong agar Kemensos segera memperbaiki karut-marut data penerima bansos ini.
”Kepada Kemensos, tolong segera perbaiki Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan lebih responsif terhadap laporan mengenai bansos dari masyarakat,” kata Henny.
Selain itu, ada permintaan dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) di daerah agar KPK menelusuri dugaan korupsi dana jaring pengaman sosial di daerah. Sejumlah pemda mengalokasikan dana besar untuk program jaring pengaman sosial. Namun, transparansi pengadaan barang dan jasa masih minim.
Ramli dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Nusa Tenggara Barat (NTB) mengatakan, di NTB, alokasi anggaran jaring pengaman sosial terutama ditujukan untuk keluarga miskin dengan penghasilan di bawah Rp 1,5 juta per bulan. Temuan Fitra di Kabupaten Lombok Timur, ada dugaan korupsi dalam pengaturan pemasok dan potongan fee yang diserahkan kepada pejabat daerah. Diduga ada aliran fee Rp 700 juta per bulan dari tiga jenis komoditas bansos. Masing-masing paket bansos dipotong Rp 1.500 sebagai fee dari penyedia barang dan jasa kepada pejabat daerah.
”Ini sempat ribut di daerah karena ada salah satu supplier yang melapor ke kepolisian. Tetapi, setelah itu, karena pihak-pihak yang beperkara damai, tidak ada tindak lanjut dari aparat penegak hukum,” kata Ramli.