Rapuhnya Indonesia di bidang kesehatan tampak jelas saat menghadapi pandemi Covid-19. Tudingan adanya mafia alat kesehatan pun dilontarkan menyusul sebagian besar alat kesehatan hingga bahan baku vitamin C pun diimpor.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
Pandemi Covid-19 telah menyentak bangsa-bangsa di dunia, juga Indonesia. Tak hanya mengguncang tatanan sosial dan ekonomi, tetapi juga mengungkap kerapuhan sendi-sendi kesehatan di negeri ini.
Hingga Kamis (23/4/2020), tercatat 7.418 orang di Tanah Air terinfeksi Covid-19. Sebanyak 913 orang di antaranya sembuh, sementara 635 orang meninggal. Di antara korban meninggal, setidaknya ada 15 dokter yang gugur karena Covid-19. Kurangnya alat pelindung diri (APD) yang melengkapi mereka ditengarai menjadi penyebab utama.
Dalam situasi sulit ini, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir secara mengejutkan menyentil publik mengenai adanya mafia dalam impor alat-alat kesehatan dan ketergantungan mengimpor alat kesehatan (alkes). Sulitnya masyarakat dan petugas kesehatan mendapatkan APD, seperti masker dan ventilator, dituding akibat ulah mafia alkes. Namun, siapakah mafia itu?
Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga dalam Satu Meja The Forum bertajuk ”Mafia di Tengah Pandemi” yang ditayangkan Kompas TV, Rabu (22/4/2020), mengatakan, Erick melihat Indonesia memiliki masalah keamanan kesehatan (health security). Pasalnya, sekitar 90 persen alkes di Indonesia diimpor dari luar negeri. Demikian pula untuk bahan baku obat-obatan.
Diskusi yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Kompas Budiman Tanuredjo itu juga diikuti narasumber lain melalui konferensi video, yakni Wakil Ketua Komisi VI DPR Aria Bima, Sekretaris Jenderal Perkumpulan Organisasi Perusahaan Alat-alat Kesehatan dan Laboratorium (Gakeslab) Indonesia Randy Hendarto Teguh, Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen Alat Kesehatan Indonesia (Aspaki) Ahyahudin Sodri, Ketua Bidang Advokasi Lembaga Eksekutif Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Husniah Rubiana Thamrin, dan Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi.
Arya mencontohkan, meskipun beberapa jenis APD diproduksi di Indonesia, bahan bakunya didatangkan dari luar negeri. Demikian pula ketika APD selesai, produk itu langsung dibawa ke luar. Meski demikian, Arya tidak menyebut siapa yang dimaksud mafia alkes tersebut.
”Kita enggak bicara spesifik, tetapi terasa bahwa memang ada pihak-pihak ini. Ini ternyata tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga ada (jaringan) globalnya. Kami lihat, ini hanya bisa dilawan dengan memperbanyak produk lokal,” kata Arya.
Meski begitu, membangun industri dalam negeri tak bisa hanya dilakukan satu pihak, seperti pemerintah. Diperlukan kerja sama dengan produsen dan pengguna, seperti rumah sakit, dokter, dan perawat.
Membuka kerapuhan
Hal senada diungkapkan Aria Bima. Rapuhnya Indonesia di bidang kesehatan tampak jelas saat menghadapi situasi abnormal seperti pandemi Covid-19 sekarang. Sebab, sebagian besar alkes hingga bahan baku untuk vitamin C harus diimpor.
Ketergantungan mengimpor alkes itu tentu memunculkan para pemburu rente. Untuk melawan mereka, Indonesia mesti membangun industri kesehatan sendiri, baik untuk alkes maupun obat-obatan. Dengan demikian, Indonesia tak lagi bersandar pada impor.
Namun, Randy mempunyai pandangan lain. Isu kedaulatan bidang kesehatan bukanlah isu baru. Setidaknya sejak 10 hingga 15 tahun lalu Gakeslab telah bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk mendorong pengembangan produksi dalam negeri. Gakeslab beranggotakan sekitar 500 perusahaan, terdiri dari produsen, importir, dan distributor.
”Sebenarnya sayang ketika ada wabah, kok, sepertinya pemerintah dan stakeholder baru memperhatikan pentingnya alkes,” kata Randy.
Randy tak dapat membenarkan atau membantah adanya mafia yang terlibat dalam impor alkes. Pihaknya pun ingin mendapat kejelasan lebih jauh tentang hal itu. Di sisi lain, Randy memastikan anggota Gakeslab telah menerapkan tata kelola dan kode etik saat impor alkes.
Selain itu, kata Randy, pihaknya juga mendukung pemerintah untuk membangkitkan industri alkes dalam negeri. Ia bahkan mengklaim banyak anggota Gakeslab yang bertransformasi menjadi produsen alkes dalam negeri. Bahkan, terdapat produsen masker ataupun APD yang sebelum wabah Covid-19 telah mengekspor sebagian produknya karena kapasitasnya berlebih.
Ahyahudin menambahkan, alkes bukan termasuk produk massal karena permintaannya terbatas. Mengutip data Kemenkes, ada sekitar 1.500 importir, 3.494 distributor, serta 44.369 toko alkes yang teregistrasi di seluruh Indonesia.
Di sisi lain, lanjut Ahyahudin, penggunaan alkes juga terkait unsur kebiasaan. Sejak dulu, produk alkes yang digunakan dan dijual di Indonesia produk impor. Kebiasaan ini melekat kepada para pengguna, termasuk bagi dokter dan perawat. Penggunaan itulah yang mendorong tumbuhnya bisnis importasi alkes. Adapun dari sisi nilai uang, sekitar 90 persen alkes diimpor dari luar negeri. Hanya 10 persen produksi dalam negeri.
Yang harus diperhitungkan, menurut Tulus, alkes menjadi mahal karena pajaknya digolongkan sebagai barang mewah. Akibatnya, pasien harus menanggung ongkos kemahalan dari alkes tersebut. Birokrasi yang panjang saat mengurus perizinan di pemerintah juga mempunyai andil menambah biaya tinggi.
Menurut Husniah, bagi dokter yang penting dari alkes adalah mutu, ketersediaan, dan keterjangkauan. Oleh karena itu, pihaknya tidak berkepentingan jika alkes merupakan produk impor atau dalam negeri.
”Kami hanya ingin disediakan alkesnya dengan standar mutu tertentu. Ketika ada kebijakan untuk merangsang pengembangan industri dalam negeri, itu bukan urusan IDI,” kata Husniah.
Meski demikian, diakui Husniah, akan lebih baik jika alkes diproduksi sendiri. Dia pun menyatakan, IDI siap membantu produsen menghasilkan produk alkes sesuai dengan standardisasi mutu.
Kini, tudingan mafia impor alkes telah dilontarkan. Penelusuran dan pembuktian harus dilakukan aparat. Untuk kepentingan sendi-sendi kesehatan negeri ini, kedaulatan kesehatan tak terelakkan mesti dibangun sendiri.