Saat Legislasi Tak Sejalan dengan Kebutuhan Publik
Gap kebutuhan publik versus kerja legislasi menunjukkan problem representasi. DPR dengan rakyat acap kali tak satu frekuensi. Aspirasi elemen publik seolah diabaikan, memanfaatkan momentum pandemi mengambil keputusan.
Sepanjang 2020, pembuatan legislasi di Dewan Perwakilan Rakyat mendapatkan sorotan tajam dari publik. Momentum pandemi Covid-19 menjadikan penyusunan legislasi lebih sensitif bagi publik karena sejumlah RUU dinilai tidak mendesak untuk cepat-cepat dibahas di dalam kondisi pandemi. Di sisi lain, dengan alasan pandemi, DPR merevisi target legislasi, tetapi tetap membahas sejumlah RUU yang kontroversial.
Dari 50 RUU yang semula ditargetkan untuk diselesaikan pada 2020, Badan Legislasi (Baleg) DPR akhirnya merevisi target itu menjadi 37 RUU dengan memperhatikan kondisi pandemi. Dalam kondisi serba terbatas di tengah pandemi, jumlah target legislasi yang terlalu besar dikhawatirkan tidak mampu dipenuhi oleh DPR dan dipandang hanya akan menjadi beban lembaga.
Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, daripada kinerja DPR dinilai buruk karena dianggap tidak mampu menyelesaikan target legislasi, lebih baik targetnya dikoreksi dan dievaluasi. Terlebih, kini DPR tidak harus terikat dengan jumlah Prolegnas Prioritas tahunan yang telah ditetapkan karena sewaktu-waktu Baleg DPR dapat merevisi daftar prolegnas tersebut.
Hal itu dimungkinkan setelah keluar UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang merupakan revisi dari UU No 12/2011. UU tersebut juga mengatur tentang pembahasan RUU operan (carry over) sehingga kini ketika ada RUU yang belum tuntas dibahas pada satu masa periode DPR, dapat dituntaskan untuk dibahas pada periode berikutnya. Pembahasan itu juga tidak harus dimulai dari awal dan tinggal melanjutkan pembahasan pada periode sebelumnya.
Dari 37 RUU yang diputuskan untuk diteruskan, hingga Desember 2020, baru 13 RUU yang disahkan oleh DPR. Artinya, masih lebih banyak RUU yang belum diselesaikan kendati target penyelesaian diturunkan. Persoalan capaian target itu sebenarnya dapat dipahami karena kondisi pandemi tidak ideal bagi dilakukannya pembahasan legislasi secara komprehensif, deliberatif, dan partisipatif. Bahkan, sejumlah pakar mendorong agar DPR sebaiknya tidak fokus pada fungsi legislasi, tetapi lebih pada fungsi pengawasan dalam penanganan pandemi.
Baca juga: Kejar Tayang Aturan Turunan UU Cipta Kerja
Namun, beberapa RUU justru terkesan dikebut penyelesaiannya, sedangkan untuk RUU lain terabaikan. Beberapa RUU yang hingga kini belum jelas nasibnya ialah RUU Masyarakat Hukum Adat dan RUU Perlindungan Pembantu Rumah Tangga. Kedua RUU itu telah selesai harmonisasi di Baleg DPR, dua kali masa sidang lalu, tetapi hingga saat ini belum juga diparipurnakan menjadi usulan DPR. Belum lagi usulan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang akhirnya dikeluarkan dari Prolegnas Prioritas 2020. Apakah RUU PKS dan RUU lainnya tersebut akan masuk ke dalam Prolegnas Prioritas 2021 masih menjadi pertanyaan karena sampai akhir 2020 belum ada kesepakatan antara DPR dan pemerintah tentang susunan daftar Prolegnas Prioritas 2021.
Beberapa RUU justru terkesan dikebut penyelesaiannya, sedangkan untuk RUU lain terabaikan. Beberapa RUU yang hingga kini belum jelas nasibnya ialah RUU Masyarakat Hukum Adat dan RUU Perlindungan Pembantu Rumah Tangga. Kedua RUU itu telah selesai harmonisasi di Baleg DPR, dua kali masa sidang lalu, tetapi hingga saat ini belum juga diparipurnakan menjadi usulan DPR. Belum lagi usulan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang akhirnya dikeluarkan dari Prolegnas Prioritas 2020.
Aktivis perempuan dan hak asasi manusia (HAM) sudah lama menyuarakan tentang perlunya regulasi yang memungkinkan penghapusan kekerasan seksual. RUU ini pun sudah disepakati untuk dibahas di Komisi VIII DPR. Namun, akhirnya pimpinan Komisi VIII mengusulkan agar pembahasan RUU itu ditarik dari Prolegnas Prioritas 2020. Mengenai RUU yang banyak disuarakan oleh publik ini, Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi Nasdem Willy Aditya mengatakan, pembahasan RUU itu telah diserahkan kepada Baleg DPR. Pimpinan DPR telah menyurati Baleg DPR untuk mengambil alih pembahasan RUU tersebut.
Namun, RUU PKS tidak bisa langsung dibahas karena prosedurnya harus dikeluarkan dulu dari Prolegnas Prioritas 2020 sebagaimana diusulkan Komisi VIII, baru setelah itu pada tahun berikutnya diusulkan kembali dibahas oleh Baleg DPR.
Supratman mengakui, evaluasi sejumlah RUU itu dilakukan karena Baleg harus pula mempertimbangkan kemampuan mereka dalam membahas RUU. Pada saat yang sama, ada RUU Cipta Kerja yang memerlukan energi besar untuk dituntaskan. RUU Cipta Kerja yang diusulkan oleh pemerintah itu meliputi 76 UU yang berbeda dan ada 7.197 daftar inventarisasi masalah (DIM) yang mesti dibahas.
Pembahasan cepat
Berkebalikan dengan RUU lain yang nasibnya menggantung, RUU Cipta Kerja dibahas dengan segenap tenaga. DIM dibahas sejak 20 April hingga 3 Oktober 2020. DPR memerlukan waktu enam bulan untuk menuntaskan RUU yang dibentuk dengan mekanisme omnibus law tersebut. Dalam pembahasan RUU ini, DPR menggelar 63 kali rapat, yang terdiri dari 56 rapat panitia kerja (panja), 6 kali rapat tim perumus/sinkronisasi, dan 1 kali rapat kerja dengan pemerintah. RUU Cipta Kerja mencakup sejumlah tema, antara lain peningkatan ekosistem investasi, kemudahan perizinan, perlindungan dan pemberdayaan UMKM dan koperasi, ketenagakerjaan, riset dan inovasi, kemudahan berusaha, pengadaan lahan, kawasan ekonomi, investasi pemerintah pusat dan proyek strategis nasional, serta administrasi pemerintahan.
RUU Cipta Kerja tetap dibahas bahkan pada hari libur dan masa reses DPR yang seharusnya menjadi masa bagi anggota DPR untuk turun ke daerah pemilihan (dapil). Pembahasan cepat terhadap RUU Cipta Kerja bertentangan dengan harapan sejumlah elemen masyarakat yang meminta agar pembahasan RUU Cipta Kerja ditunda, terutama karena pertimbangan pandemi tidak memungkinkan dilakukannya pembahasan yang aspiratif dan akomodatif. Sejak dalam penyusunan draf, sejumlah pihak mengaku tidak diikutsertakan dalam pembahasan, terutama kalangan buruh. RUU itu juga dipandang tidak mendesak dibahas karena kecil kemungkinan investasi mengalir di masa pandemi.
Sejak persetujuan terhadap RUU Cipta Kerja diberikan DPR, 5 Oktober 2020, aksi unjuk rasa dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat. Kontroversi pun terus mengiringi proses pengesahan RUU itu, mulai dari klaim kesalahan tulis hingga ketertutupan akses publik atas draf RUU. Bahkan, hingga RUU itu disahkan menjadi UU, 2 November, kesalahan rujukan pasal masih ditemui.
Di satu sisi, kehadiran UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja ini disambut baik oleh pelaku usaha. Sejumlah ketentuan di dalam UU ini dianggap memudahkan perizinan, memangkas birokrasi yang berbelit-belit, dan menghemat waktu. Pemerintah pun optimistis kehadiran UU Cipta Kerja ini dapat mengakselerasi perbaikan ekonomi nasional pascapandemi.
Kontroversi seputar legislasi tidak hanya pada UU Cipta Kerja. Revisi UU Mahkamah Konstitusi (MK) juga dibahas supercepat. Seperti halnya UU Cipta Kerja, pembahasan revisi UU MK juga mendapatkan kritisi dari pengamat hukum. Substansi revisi UU MK hanya fokus soal usia pensiun hakim konstitusi dan perpanjangan masa jabatan hakim. Pembahasannya pun hanya 7 hari. Ini rekor pembahasan RUU tercepat di DPR. Sebelumnya, UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) disetujui dalam 12 hari pada 2009.
Pada 2020, DPR juga menyelesaikan RUU Mineral dan Batubara (Minerba) yang disambut baik oleh pengusaha batubara, tetapi dikritik oleh publik karena dianggap tidak memberikan hak-hak masyarakat dalam kegiatan pertambangan. RUU carry over itu dituntaskan di masa pandemi, Mei 2020.
Problem representasi
Sayangnya, demokrasi Indonesia cenderung masih merupakan demokrasi prosedural. Demokrasi prosedural, lanjut Massa, hanya menghasilkan politisi yang sangat bergantung pada kekuatan modal, baik yang menjadi anggota partai maupun legislatif. Dalam nuansa pragmatisme politik yang demikian itu, politisi tunduk pada kekuatan modal sehingga tidak dapat kritis ketika ada kerusakan lingkungan, kesenjangan ekonomi, dan potensi kemiskinan dari suatu usulan legislasi.
Gap antara kebutuhan publik dan kerja legislasi DPR menunjukkan ada problem representasi. Sebab, kerap kali DPR dengan rakyat tidak satu frekuensi. Lebih dari itu, masukan dan aspirasi elemen masyarakat seolah diabaikan dan terkesan mengambil momentum pandemi untuk memuluskan legislasi.
Baca juga: DPR Turunkan Target Prolegnas karena Pandemi Covid-19
Ketua Program Doktor Ilmu Politik Universitas Nasional (Unas) Tb Massa Djafar mengingatkan, representasi DPR sebagai cerminan kedaulatan rakyat mesti dipertanyakan ulang, termasuk dalam pembuatan keputusan untuk merumuskan legislasi. ”Apakah legislasi itu mencerminkan aspirasi rakyat, itu pertanyaan penting. Kalau legislasi itu tidak menjawab kebutuhan publik, lalu dia mewakili siapa? Apakah pemilik modal?” katanya.
Legislasi yang tidak sejalan dengan kebutuhan publik tidak hanya berbahaya bagi peran representasi DPR, tetapi lebih jauh lagi mengancam demokrasi. Sebab, menurut Massa, kuasa oligarki mencengkeram demokrasi Indonesia saat ini. Ketika hal itu terjadi, ada sejarah yang terputus karena ketika pendiri bangsa mendirikan Indonesia dan memberikan fondasi demokrasi, salah satu tujuannya ialah memberikan kemanfaatan sebesar-besarnya bagi amanat penderitaan rakyat. ”Jadi, kalau ini bergeser, kehidupan konstitusi kita itu secara langsung diperlemah,” ujarnya.
Sayangnya, demokrasi Indonesia cenderung masih merupakan demokrasi prosedural. Demokrasi prosedural, lanjut Massa, hanya menghasilkan politisi yang sangat bergantung pada kekuatan modal, baik yang menjadi anggota partai maupun legislatif. Dalam nuansa pragmatisme politik yang demikian itu, politisi tunduk pada kekuatan modal sehingga tidak dapat kritis ketika ada kerusakan lingkungan, kesenjangan ekonomi, dan potensi kemiskinan dari suatu usulan legislasi.
Tentu dengan berkaca pada legislasi 2020, kita berharap penyusunan legislasi ke depan semakin baik dan lebih memperhatikan kebutuhan publik….