KPK menangkap pejabat Kementerian Sosial atas dugaan penerimaan suap terkait pengadaan barang dan jasa untuk program bansos. Penangkapan ini yang keempat dalam 11 hari terakhir.
Oleh
Nikolaus Harbowo
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Di tengah krisis ekonomi dan kesehatan akibat pandemi Covid-19, perilaku korup sejumlah pejabat tak berhenti. Dalam 11 hari terakhir, Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap empat pejabat mulai dari menteri, kepala daerah, hingga pejabat pembuat komitmen.
Kasus terakhir, KPK menangkap pejabat eselon 3 di Kementerian Sosial. Penangkapan dilakukan terkait dugaan suap dalam pengadaan barang dan jasa pada program bantuan sosial (bansos) guna mengatasi dampak pandemi Covid-19.
Sebelumnya, KPK menangkap Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo atas dugaan suap terkait dengan izin ekspor bibit lobster pada Rabu (25/11/2020). KPK juga menangkap Wali Kota Cimahi Ajay Muhammad Priatna terkait dengan dugaan suap pembangunan rumah sakit pada Jumat (27/11) dan Bupati Banggai Laut Wenny Bukamo pada Kamis (3/12).
Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan, penangkapan terduga korupsi di Kemensos dilakukan sejak Jumat (4/12) pukul 23.00 hingga Sabtu pukul 02.00. Salah satu yang ditangkap ialah pejabat pembuat komitmen (PPK) pada program bansos di Kemensos.
Ia diduga menerima hadiah dari vendor pengadaan barang dan jasa bansos dalam penanganan pandemi Covid-19. Hingga berita diturunkan pukul 24.00, belum ada penjelasan detail dari KPK.
Menteri Sosial Juliari P Batubara saat dikonfirmasi membenarkan penangkapan pegawainya. Namun, ia enggan berkomentar banyak.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengapresiasi serta mendukung langkah KPK dalam upaya memberantas korupsi di tingkat pusat dan daerah. ”Sejak awal, Presiden meminta agar KPK, Kejaksaan Agung, dan Polri tidak rikuh untuk memerangi korupsi asalkan benar dan profesional,” ujarnya.
Pidana maksimal
Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Oce Madril, saat dihubungi dari Jakarta, mengatakan, melihat regulasi yang ada, hukuman terhadap pelaku korupsi saat bencana sangat mungkin diperberat. Apalagi, korupsi itu dilakukan terkait dengan anggaran bencana.
”Kalau unsur ini terpenuhi, hukuman maksimal yang diperberat itu harus diterapkan. Tentu nanti majelis hakim akan melihat bagaimana kadar korupsinya. Yang paling penting harus diperberat,” ujar Oce.
Hukuman mati bisa dijatuhkan untuk korupsi jenis ini. Namun, menurut Oce, hal itu tak mudah diterapkan karena KPK harus membuktikan seberapa besar korupsi yang terjadi beserta dampak lanjutannya. Ia lebih sepakat pelaku dituntut hukuman seumur hidup.
”Untuk kasus yang dampaknya dirasakan secara nasional, dan dilakukan aktor-aktor pengambil kebijakan di tingkat elite, tuntutan seumur hidup bisa diterima. Seperti di Kemensos, itu berdampak nasional,” ucap Oce.
Pidana mati dapat dijatuhkan untuk korupsi dalam keadaan tertentu. Keadaan tertentu yang dimaksud antara lain terjadi bencana nasional
Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango menyatakan, dalam situasi wabah Covid-19, seharusnya tak ada perilaku korupsi. Mengutip Pasal 2 Ayat (2) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pidana mati dapat dijatuhkan untuk korupsi dalam keadaan tertentu. Keadaan tertentu yang dimaksud antara lain terjadi bencana nasional.
”Kondisi negeri sedang menghadapi musibah wabah Covid-19. Tentu sangat diharapkan tidak ada perilaku korupsi di dalam kondisi serba susah seperti ini,” ujarnya.
Karena itu, menurut Nawawi, tiap kasus korupsi yang terjadi di tengah pandemi menjadi alasan bagi KPK untuk memberikan tuntutan paling maksimal. ”Bisa kami jadikan alasan untuk memperberat tuntutan yang kami ajukan,” ujarnya.
Laporan masyarakat
Sementara itu, penyaluran bansos selama pandemi Covid-19 memang menjadi persoalan tersendiri. Jaga Bansos KPK mencatat, total ada 1.708 laporan mengenai bansos yang masuk sejak Mei hingga 20 November 2020. Dari seluruh laporan yang masuk, baru 588 laporan yang ditindaklanjuti instansi terkait.
Jaga Bansos KPK mencatat, total ada 1.708 laporan mengenai bansos yang masuk sejak Mei hingga 20 November 2020
Pengaduan paling banyak ditujukan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Untuk pemerintah kabupaten dan kota, laporan paling banyak ditujukan pada Kota Surabaya, Kabupaten Bogor, serta Kabupaten Tangerang.
”Dari pengalaman kami, masih banyak pemda yang kurang responsif menindaklanjuti laporan yang masuk ke Jaga Bansos sehingga wajar jika dari laporan itu, banyak yang tak diselesaikan,” kata anggota tim Jaga Bansos KPK, Soraya Sri Anggarawati, dalam diskusi yang diadakan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, 26 November.
Menurut dia, untuk bansos Covid-19, permasalahan yang muncul terkait data dan sistem informasi yang belum terintegrasi dengan baik. Data dari Kemensos dengan data riil di lapangan tidak sinkron sehingga banyak orang yang tidak tercatat. Akses publik untuk melihat data penerima bansos juga belum satu pintu sehingga warga sulit mengecek.
Senada dengan Soraya, peneliti Indonesia Corruption Watch, Dewi Anggraeni, mengungkapkan, titik krusial di Kemensos yang berpotensi menjadi pintu masuk penyelewengan ialah data. Sampai saat ini tidak ada data tunggal antara pemerintah pusat dan daerah.
Data dari Kemensos dengan data riil di lapangan tidak sinkron sehingga banyak orang yang tidak tercatat. Akses publik untuk melihat data penerima bansos juga belum satu pintu sehingga warga sulit mengecek
Di satu sisi, berkenaan dengan pandemi Covid-19, mekanisme pengadaan di masa darurat ini disederhanakan dengan tetap tidak mengesampingkan prinsip akuntabilitas dan transparansi.
Ketua Umum Relawan Jokowi Mania (Joman) Immanuel Ebenezer mengaku tidak kaget terhadap penangkapan pejabat di Kemensos. Ia mengaku sudah mengingatkannya sejak lama. Ia meminta KPK mengusutnya secara tuntas.