Rentetan Kasus Korupsi di Cimahi Harus Jadi Pelajaran Daerah Lain
Ajay Muhammad Priatna menjadi wali kota Cimahi ketiga yang terjerat KPK dalam kasus dugaan korupsi. Kondisi ini perlu menjadi bahan evaluasi bagi daerah lain.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi menyayangkan rentetan kasus korupsi yang menjerat tiga kepala daerah Kota Cimahi, Jawa Barat, sejak wilayah tersebut menjadi daerah otonom pada 2001. Perkara-perkara tersebut harus menjadi pelajaran bagi daerah lain, terutama yang akan menggelar Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2020.
Dalam jumpa pers di kantor KPK, Sabtu (28/11/2020), KPK menetapkan dua tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek pembangunan Rumah Sakit Umum Kasih Bunda (RSU KB) pada Tahun Anggaran 2018-2020. Wali Kota Cimahi Ajay Muhammad Priatna disangkakan sebagai penerima suap. Sementara Komisaris RSU KB Hutama Yonathan disangkakan sebagai pemberi suap.
Ajay menjadi wali kota Cimahi ketiga yang terjerat KPK. Sebelumnya, KPK menangkap Atty Suharti, Wali Kota Cimahi periode 2012-2017, terkait suap dalam proyek pembangunan Pasar Atas Baru Cimahi. Kasus ini melibatkan suami Atty, Itoch Tohija, Wali Kota Cimahi periode 2002-2012.
Ketua KPK Firli Bahuri menyampaikan rasa prihatin atas kasus korupsi yang berulang di Kota Cimahi. Hingga saat ini, tiga kepala daerah terjaring operasi tangkap tangan oleh KPK sejak Cimahi ditetapkan sebagai daerah otonom pada 21 Juni 2001.
”Tentu ini merupakan keprihatinan kita bersama. Apalagi sekarang sedang berproses 270 daerah yang ikut pilkada, dengan 736 pasangan peserta pilkada. KPK berharap, apa yang dilakukan kepala daerah ini, menjadi pelajaran bagi semua kepala daerah untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi,” ujar Firli.
Berdasarkan fakta empiris KPK, lanjut Firli, selama ini pilkada membutuhkan dukungan biaya sangat besar. Adapun harta kekayaan calon kepala daerah tak sebanding dengan kebutuhan anggaran yang digunakan untuk proses pilkada itu. Alhasil, dari survei KPK pada 2018, setidaknya 82,3 persen calon kepala daerah didukung oleh tim sukses atau donatur, bukan harta kekayaan pribadi.
”Akan tetapi, untuk membuktikan, apakah (di dalam) kasus Cimahi, uangnya digunakan untuk pilkada, kami tentu perlu melakukan pendalaman. Karena sesungguhnya uangnya juga sudah kami sita,” ucap Firli.
Adapun Cimahi tidak termasuk dalam 270 daerah yang menyelenggarakan pilkada pada tahun 2020.
Konstruksi perkara
Kasus dugaan korupsi proyek pembangunan RSU KB Kota Cimahi ini bermula pada 2019. Gedung rumah sakit berencana ditambah. Kemudian, pihak rumah sakit mengajukan permohonan revisi izin mendirikan bangunan (IMB) kepada Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kota Cimahi.
Untuk mengurus perizinan pembangunan itu, Hutama selaku pemilik RSU KB menemui Ajay di salah satu restoran di Bandung. Pada pertemuan itu, Ajay diduga meminta uang sebesar Rp 3,2 miliar atau 10 persen dari nilai rencana anggaran biaya (RAB) yang dikerjakan oleh subkontraktor pembangunan RSU KB. Nilai RAB dari pembangunan tersebut adalah Rp 32 miliar.
Penyerahan uang yang disepakati pun diserahkan secara bertahap oleh anggota staf keuangan RSU KB melalui Yanti Rahmayanti sebagai orang kepercayaan Ajay. Untuk menyamarkan pemberian uang kepada Ajay, pihak RSU KB membuat rincian pembayaran dan kuitansi fiktif seolah-olah sebagai pembayaran pekerjaan fisik pembangunan.
Pemberian uang kepada Ajay telah dilakukan lima kali di beberapa tempat hingga berjumlah sekitar Rp 1,661 miliar dari kesepakatan Rp 3,2 miliar. Pemberian uang tersebut telah dilakukan sejak 6 Mei 2020, sedangkan pemberian terakhir pada 27 November 2020 sebesar Rp 425 juta.
Namun, rencana pemberian uang terakhir itu terendus KPK. Pada pukul 10.00 di salah satu rumah makan di Bandung, Cynthia Gunawan sebagai staf RSU KB menemui Yanti dengan membawa tas plastik putih yang diduga berisi uang. Lalu, pukul 10.40, tim KPK mengamankan Cynthia dan Yanti.
Tim juga mengamankan pihak-pihak lain di beberapa tempat di Kota Cimahi. Dari hasil tangkap tangan, KPK menemukan uang sejumlah Rp 425 juta dan dokumen keuangan dari pihak RSU KB.
Firli menyebut, sejauh ini, dari bukti yang ada, baru menunjukkan keterlibatan langsung dari Ajay dan Hutama. ”Tetapi, kalau nanti ada perkembangan, yakinlah bahwa KPK akan selalu menyampaikan setiap perkembangannya kepada publik,” kata Firli.