Dalam waktu dua hari, KPK menangkap Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo serta Wali Kota Cimahi, Jawa Barat, Ajay Muhammad Priatna dengan dugaan korupsi. Fenomena itu sangat ironis di tengah pandemi Covid-19.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi dalam pekan ini menangkap Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo serta Wali Kota Cimahi, Jawa Barat, Ajay Muhammad Priatna dalam kasus dugaan suap dan korupsi. Rentetan kasus korupsi di tengah pandemi Covid-19 ini merefleksikan matinya rasa empati pejabat publik terhadap rakyat.
Jarak waktu penangkapan antara Ajay dan Edhy sebenarnya tidak terlampau jauh. Edhy ditangkap oleh KPK pada Rabu (25/11/2020) terkait kasus dugaan suap izin ekspor benih lobster. Sementara Ajay ditangkap pada Jumat (27/11/2020) terkait kasus dugaan korupsi proyek pembangunan rumah sakit di Cimahi.
Peneliti senior politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, saat dihubungi, Jumat, di Jakarta, mengatakan, fenomena korupsi tersebut sangat ironis di tengah berbagai dampak sosial dan ekonomi yang diakibatkan pandemi Covid-19.
Masyarakat kini masih berjuang untuk hidup di tengah kondisi krisis, tetapi pejabat publik malah asyik melakukan tindak pidana korupsi. Semakin parahnya lagi, korupsi dilakukan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, yang seharusnya memahami kondisi kemiskinan dari nelayan atau pelaut di pesisir.
”Jadi, empati sebagai pemimpin itu yang tak jalan. Ini rakyat lagi susah, terkena dampak Covid-19, jumlah kemiskinan di negara kita bertambah, pengangguran bertambah, ekonomi kayak begini, kita sedang krisis, lha kok malah korupsi. Jadi, itu yang enggak masuk di sanubari dia,” ujar Siti.
Jadi, empati sebagai pemimpin itu yang tak jalan. Ini rakyat lagi susah, terkena dampak Covid-19, jumlah kemiskinan di negara kita bertambah, pengangguran bertambah, ekonomi kayak begini, kita sedang krisis, lha kok malah korupsi. Jadi, itu yang enggak masuk di sanubari dia.
Seharusnya, menurut Siti, saat ini semua pihak bergotong royong menangani pandemi, bukan malah memperkaya diri sendiri atau kelompoknya. Jika terus-menerus seperti ini, Indonesia tidak akan maju. Visi reformasi birokrasi atau sumber daya manusia yang unggul hanya menjadi jargon. Sebab, pucuk pemimpin birokrasi di suatu kementerian dan pemerintahan daerah juga tidak bisa memberikan teladan yang baik bagi bawahnya.
”Apa yang salah pada negara ini? Mengapa di pusat dan di daerah kok berlomba-lomba melakukan korupsi? Pucuk pimpinannya lagi. Apakah seburuk itu birokrasi kita sehingga sangat mudah untuk disimpangkan? Akhirnya, birokrasi tak pernah ditempatkan pada letaknya yang proporsional dan profesional. Yang muncul pun bukan abdi negara atau abdi masyarakat, melainkan abdi penguasa atau abdi partai,” tutur Siti.
Bukan tidak mungkin, kata Siti, rakyat semakin bersikap apatis dan skeptis pada pemerintahan dan partai politik. Ia pun meyakini, animo masyarakat di Pemilihan Kepala Daerah 2020, yang jatuh pada 9 Desember mendatang, bisa anjlok jika pejabat publik terus menampilkan budaya koruptif daripada memahami kebutuhan rakyat.
”Rakyat tentu merasa sangat dikhianati dengan (fenomena korupsi di tengah pandemi) ini. Tentu rakyat kecewa, sangat sakit hati. Ini bisa meninggalkan legasi apatisme, kekecewaan yang luar biasa terhadap pemerintah pusat, daerah, dan parpol. Jadi, jangan berharap antusiasme pemilih meningkat di pilkada nanti,” kata Siti.
Hilang moral
Jadi, kalau mentalnya buruk, di mana pun posisi, dia akan gunakan untuk korupsi. Mau pandemi, tidak pandemi, di mana pun. Karena kalau sudah mental korup, itu, kan, selalu akan korup, lebih-lebih kalau ada peluang.
Sementara itu, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Komaruddin Hidayat berpandangan, korupsi di tengah pandemi ini marak akibat hilangnya komitmen moral dan sense of crisis di dalam diri pejabat publik. Karena itu, mereka akan menghalalkan segala cara agar meraih uang. Uang itu bisa digunakan untuk membayar utang politik atau memperbesar pundi-pundi untuk target politik ke depan atau untuk memberikan kemewahan kepada keluarga.
”Jadi, kalau mentalnya buruk, di mana pun posisi, dia akan gunakan untuk korupsi. Mau pandemi, tidak pandemi, di mana pun. Karena kalau sudah mental korup, itu, kan, selalu akan korup, lebih-lebih kalau ada peluang,” ujarnya.
Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia ini juga sependapat dengan Siti bahwa fenomena korupsi di tengah pandemi ini akan memperluas sikap apatisme publik terhadap pemerintahan.
”Itu menyakitkan sekali, sangat menyakitkan. Lama-lama ya nanti akan dihukum oleh masyarakat. Yang kena getahnya, ya nanti partainya, di samping pejabat korupnya. Itu akan dihukum. Rusak, kehilangan trust dari publik,” ujar Komaruddin.