Potensi Tinggi Korupsi Calon Kepala Daerah, KPK Tetap Gelar Penyelidikan Saat Pilkada
Di tengah pilkada serentak 2020, KPK saat ini melakukan penyelidikan terhadap beberapa orang yang terdaftar sebagai calon kepala daerah. Proses penyelidikan tidak akan dihentikan selama pilkada berlangsung.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi mengantisipasi potensi korupsi akibat pengeluaran pilkada yang melebihi harta pasangan calon kepala daerah. Akibat gap pengeluaran yang jauh dari kas tersebut, paslon banyak menerima sponsor dana dari pihak lain. Pihak pemberi sponsor dana pilkada pun meminta imbalan yang berpotensi menimbulkan korupsi politik di daerah.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nawawi Pomolango dalam acara ”Pembekalan Pilkada Berintegritas 2020”, Rabu (18/11/2020), mengatakan, pilkada adalah kontestasi berbiaya tinggi. Dalam kajian Litbang Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), kata dia, biaya yang dikeluarkan untuk menjadi bupati atau wali kota mencapai Rp 20 miliar-Rp 30 miliar. Adapun biaya untuk menjadi gubernur mencapai Rp 20 miliar-Rp 100 miliar.
Biaya tersebut terpaut jauh dari rata-rata modal yang dimiliki calon kepala daerah. Dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), rata-rata calon kepala daerah hanya memiliki modal Rp 18 miliar. Bahkan, ada calon yang memiliki harta minus.
”KPK melihat ada potensi benturan kepentingan dalam pendanaan pilkada itu. Salah satu tugas dan wewenang KPK tidak hanya penindakan, tetapi juga pencegahan korupsi,” kata Nawawi.
Narasumber lain yang hadir dalam webinar itu adalah anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Ilham Saputra; anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Fritz Edward Siregar; Pelaksana Tugas Gubernur Kalimantan Selatan Rudy Roesnawan; serta Kepala Biro Organisasi dan Tata Laksana Kemendagri Sugeng Haryono.
Sejumlah hal yang berpotensi menimbulkan benturan kepentingan dalam pendanaan pilkada di antaranya adalah pengeluaran dana pilkada melebihi harta paslon serta pengeluaran biaya kampanye aktual lebih tinggi daripada yang dilaporkan di Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK).
Selain itu juga ada persoalan pengeluaran dana kampanye melebihi batasan dana yang ditentukan KPU dan donatur mengharapkan imbalan saat calon kepada daerah menjabat. Sebaliknya, calon kepala daerah akan membalas donatur saat menjabat hingga menerima sumbangan, tetapi tidak dilaporkan dalam Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK).
”Hasil penelitian KPK, tidak kurang dari 82,3 persen calon kepala daerah menyatakan didukung pendanaan dari pihak lain atau sponsor untuk biaya pilkada tahun 2015 dan 2017,” kata Nawawi.
Setelah mendukung pembiayaan pilkada para pasangan calon, terang Nawawi, para donatur ini juga mengharapkan imbalan. Para paslon yang diwawancarai KPK secara terang-terangan mengatakan itu. Mereka mengatakan harapan sejumlah donatur adalah kemudahan perizinan terhadap bisnis yang dilakukan, kemudahan ikut serta dalam tender proyek pemerintah.
Mereka juga berharap mendapat keamanan dalam menjalankan bisnis yang sudah ada, kemudahan akses donatur atau kolega untuk menjabat di pemda atau badan usaha milik daerah (BUMD). Selain itu juga mengharap kemudahan akses dalam menentukan kebijakan atau peraturan daerah, mendapatkan prioritas bantuan langsung dan bansos atau hibah APBD.
Jumlah cakada yang mengakui adanya fenomena itu juga meningkat dari tahun 2015, 2017, hingga 2018. Tahun 2015 ada 75,80 persen responden yang mengakui hal tersebut. Tahun 2017, sebanyak 82,20 persen yang mengakuinya. Berikut tahun 2018, sebanyak 83,80 persen cakada mengakui ada fenomena imbal balik dengan para donatur.
Nawawi juga mengatakan, meskipun pilkada sedang dilaksanakan di 270 daerah, KPK terus melakukan penindakan kasus korupsi. Menurut dia, KPK saat ini telah melakukan penyelidikan terhadap beberapa orang yang terdaftar sebagai calon kepala daerah. Sebentar lagi, kata Nawawi, penyelidikan mungkin sudah bisa dinaikkan ke tahap penyidikan. Menurut dia, kontestasi pilkada tidak akan menangguhkan penindakan kasus korupsi yang melibatkan calon kepala daerah.
”Sikap KPK ini berbeda dengan aparat penegak hukum lain yang sementara waktu menangguhkan perkara para cakada. KPK tetap melakukan penindakan karena ingin pemimpin yang dihasilkan adalah yang berintegritas, jujur, adil dan bisa menyejahterakan rakyat dan daerah,” ujar Nawawi.
Politik uang dan rekrutmen calon
Anggota Bawaslu, Fritz Siregar, menegaskan, baik calon kepala daerah maupun masyarakat diminta untuk tidak menerima politik uang selama pilkada. Sebab, politik uang masuk dalam ranah tindak pidana pemilu. Tidak hanya pemberi, si penerima pun, menurut Fritz, juga berpotensi diproses hukum dengan dugaan tindak pidana pemilu.
Fritz berpesan agar masyarakat semakin cerdas berpolitik dan tidak menerima uang dari kandidat. Dengan aturan yang tegas ini, diharapkan para calon dapat menjaga integritasnya selama pilkada.
”Sudah ada yang diproses oleh Sentra Gakkumdu Bawaslu, baik pemberi maupun penerima politik uang. Saya tegaskan kepada masyarakat jangan mau menerima uang dari calon kepala daerah,” kata Fritz.
Sementara itu, anggota KPU, Ilham Saputra, mengatakan, untuk bisa melahirkan calon kepala daerah berintegritas, maka seluruh pemangku kepentingan, baik parpol maupun penyelenggara pemilu ikut berperan. Parpol sebagai aktor penting pilkada juga diharapkan menyempurnakan aspek pemilihan calon kepala daerah. Proses kaderisasi dan rekrutmen perlu disempurnakan. Salah satunya adalah dengan membenahi UU Parpol.
”Memang untuk menciptakan calon kepala daerah yang berintegritas ada banyak aspek yang harus diperbaiki, termasuk sejak proses kaderisasi dan rekrutmen. Jika KPU diminta memberikan pendapat, kami siap berdasarkan pengalaman penyelenggaran pilkada,” kata Ilham.
Pemimpin berintegritas, kata Sugeng Haryono, ibarat benih baik yang akan tumbuh subur jika lingkungan memberikan dukungan. Lingkungan yang dimaksud ialah penyelenggara, peserta, dan juga masyarakat. Menurut dia, untuk mewujudkan kepala daerah berintegritas, semua pihak harus berperan. Termasuk bagaimana memastikan bahwa sejak proses rekrutmen, kepala daerah tersebut telah memenuhi kriteria calon pemimpin berintegritas.
”Kalau dari Kemendagri, kami komitmen tegakkan integritas pilkada ini. Kami selalu tegaskan kepada jajaran pemda dan aparatur sipil negara (ASN) agar menjaga netralitasnya supaya pilkada melahirkan sosok berintegritas,” katanya.
Sugeng menambahkan, selama pilkada serentak 2020, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian sudah memberikan peringatan kepada kepala daerah yang tidak menindaklanjuti rekomendasi Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).
Rekomendasi KASN diberikan kepada daerah yang dilaporkan Bawaslu melanggar prinsip netralitas ASN. Kepala daerah selaku pejabat pembina kepegawaian (PPK) berwenang menindaklanjuti rekomendasi tersebut.