Pandemi Tambah Potensi Kerawanan dalam Pilkada 2020
Pandemi Covid-19 diperkirakan membuat penyelenggaraan Pilkada 2020 kian rawan. Selain menurunnya partisipasi pemilih, penyelenggaraan pilkada di tengah pandemi berpotensi menyuburkan praktik jual beli suara.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kompleksitas masalah yang biasa terjadi pada ajang pemilihan kepala daerah akan semakin bertambah dengan penyelenggaraan di tengah pandemi Covid-19. Untuk mengurangi dampak negatif, akuntabilitas dan integritas mulai dari peserta pemilu hingga penyelenggara pemilu diperlukan.
Hal itu terungkap dalam diskusi bertajuk ”Potensi dan Jalan Keluar dari Kerawanan Pilkada Serentak 2020” yang diselenggarakan Divisi Humas Kepolisian Negara RI, Selasa (17/11/2020). Narasumber dalam diskusi tersebut adalah Wakil Ketua DPR Aziz Syamsuddin, Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Muhammad Alhamid, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia Djayadi Hanan, dan Direktur Politeknik STIA LAN Jakarta Nurliah Nurdin.
Djayadi mengatakan, pandemi Covid-19 berpotensi menurunkan tingkat partisipasi masyarakat. Dari survei yang dilakukan LSI pada Oktober 2020, sekitar 50 persen masyarakat yang di daerahnya menyelenggarakan pilkada mengatakan agar lebih baik pilkada ditunda. Sementara sekitar 40 persen menyatakan, kemungkinan mereka tidak akan datang ke tempat pemungutan suara (TPS).
”Di masa bukan pandemi saja angka partisipasi masyarakat kita sekitar 70 persen. Jika temuan itu digabung dengan angka partisipasi selama ini, berarti ada kemungkinan penurunan partisipasi masyarakat yang sangat besar,” kata Djayadi.
Potensi masalah lainnya adalah temuan survei yang menyatakan bahwa sekitar 70 persen rumah tangga mengatakan pendapatannya turun, bahkan hingga 70 persen. Dalam kondisi masyarakat yang susah, dapat mendorong potensi semakin tolerannya masyarakat terhadap praktik jual beli suara.
Terkait dengan kesehatan, sebagian besar masyarakat lebih menyukai model kampanye terbuka. Di sisi lain, anjuran Komisi Pemilihan Umum (KPU) bagi kandidat untuk melakukan kampanye secara daring terhambat dengan masih minimnya penetrasi internet di banyak wilayah perdesaan.
Dalam kondisi masyarakat yang susah, dapat mendorong potensi semakin tolerannya masyarakat terhadap praktik jual beli suara.
Menurut Nurliah, Indeks Kerawanan Pilkada 2020 yang masih di posisi 51,65 persen menunjukkan potensi kerawanan masih sangat tinggi. Data per September, pelanggaran didominasi oleh pelanggaran netralitas aparatur sipil negara (ASN).
”ASN cenderung menjadi faktor yang menentukan kemenangan pasangan calon. Semacam jadi mesin politik karena punya jaringan sampai ke tingkat RT (rukun tetangga) dan RW (rukun warga). Maka, kandidat akan memanfaatkannya, terutama petahana yang memiliki kekuatan untuk menggerakkan ASN di bawahnya,” kata Nurliah.
Pelanggaran lainnya adalah pelanggaran administrasi, pelanggaran pidana, dan pelanggaran kode etik. Bentuk pelanggaran berikutnya, adanya pemilih siluman, praktik politik uang, petugas yang tidak netral, hingga kecurangan logistik.
Bangun akuntabilitas
Untuk mengurangi berbagai potensi pelanggaran itu, menurut Nurliah, penyelenggara pemilu mesti membangun akuntabilitas dan komunikasi kepada publik secara transparan. Hal itu akan mendorong peningkatan kepercayaan publik kepada penyelenggara pilkada dan pilkada itu sendiri.
Penyelenggara pemilu mesti membangun akuntabilitas dan komunikasi kepada publik secara transparan.
Alhamid mengatakan, kode etik bukan mengenai benar salah, melainkan patut dan tidak patut. Sebagai contoh, tidak patut penyelenggara pilkada bertemu kandidat.
”Mungkin tidak ada hal negatif yang diperbincangkan, tetapi yang dilihat adalah soal kepercayaan publik,” kata Alhamid.
Alhamid berharap penyelenggara pemilu bersikap dan bertindak profesional. Caranya dengan menguasai aturan terkait dengan pilkada. Jika tidak, penyelenggara pilkada justru akan menjadi sasaran bagi tim peserta pilkada dan pilkada pun akan kacau.
Selain profesional, penyelenggara pilkada juga harus berintegritas. Sebab, KPU maupun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) memiliki regulasi sekaligus sanksi. Jika terjadi kecurangan oleh penyelenggara pilkada, dampaknya sangat besar terhadap kepercayaan publik.
Pemilih juga harus cerdas. Terlebih di tengah situasi ekonomi yang sulit, berbagai tawaran akan menjadi semakin menggiurkan.
Tidak cukup itu, lanjut Alhamid, pemilih juga harus cerdas. Terlebih di tengah situasi ekonomi yang sulit, berbagai tawaran akan menjadi semakin menggiurkan. Terkait hal ini, Alhamid menilai kondisi pemahaman politik masyarakat masih memprihatinkan.
”Lima menit di TPS itu akan menentukan kualitas lima tahun ke depan. Katakan tidak untuk politik uang,” ujar Alhamid.
Menurut Aziz, ukuran kualitas pilkada serentak pada 9 Desember mendatang tidak hanya berupa terpilihnya figur kepala daerah. Dengan adanya figur pemimpin, secara jangka panjang masyarakat diharapkan memperoleh manfaat berupa peningkatan kesejahteraan.
”Jadi, bagaimana kualitas pilkada ini dapat meningkatkan kualitas pilkada itu sendiri dan kualitas masyarakat,” kata Aziz.