Usulan Kewenangan Audit Investigasi Bawaslu Dibahas Saat Revisi UU Pemilu
Usulan kewenangan investigasi dana kampanye oleh Bawaslu akan dibahas saat revisi UU Pemilu. Pengaturan soal dana kampanye akan sekaligus dievaluasi. Ini berangkat dari seringnya laporan yang tidak sesuai kondisi riil.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO / RINI KUSTIASIH
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Usulan pemberian kewenangan investigasi laporan dana kampanye kepada Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu akan dibahas dalam revisi Undang-Undang Pemilu. Adapun Bawaslu mengusulkan agar kewenangan audit laporan dana kampanye oleh kantor akuntan publik diperluas. Tak sebatas audit secara formal, tetapi sekaligus mengecek kebenaran laporan tersebut.
Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung, saat dihubungi di Jakarta, Jumat (13/11/2020), mengatakan, usulan pemberian kewenangan kepada Bawaslu agar dapat menginvestigasi kebenaran laporan dana kampanye pasangan calon akan dibahas secara mendalam di revisi UU Pemilu.
Sebab, revisi UU Pemilu akan mengevaluasi tugas, pokok, dan fungsi dari semua penyelenggara pemilu, baik Bawaslu, Komisi Pemilihan Umum (KPU), maupun Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
”Nanti, semuanya akan kami evaluasi tugas pokok dan fungsinya. Itu nanti (fungsi investigasi) akan ada di mana terkait dengan pelaporan dana kampanye, apakah ada di KPU, Bawaslu, atau lembaga lain, itu akan dibahas lebih jauh. Sebab, kami juga mendorong adanya pengadilan khusus pemilu dalam revisi UU Pemilu. Nah, keberadaan pengadilan khusus itu tentu akan mengubah semua tugas pokok dan fungsi semua lembaga penyelenggara pemilu,” tutur Doli.
Sebelumnya, Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) mendorong revisi UU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) agar Bawaslu diberi kewenangan investigasi laporan dana kampanye pasangan calon. Selama tak ada audit investigasi, pelaporan dana kampanye hanya akan dianggap formalitas (Kompas, 13/11/2020).
Kritik tersebut didasari atas pelaporan dana kampanye yang tidak sesuai kondisi riil seperti terlihat di Pilkada 2015, 2017, dan 2018. Pada pertengahan masa kampanye Pilkada 2020, persoalan yang sama kembali muncul terkait akurasi laporan awal dana kampanye (LADK) dan laporan penerimaan sumbangan dana kampanye (LPSDK).
Doli mengungkapkan bahwa pengaturan mengenai laporan dana kampanye akan ikut dievaluasi sehingga ke depan kandidat dalam pilkada, pemilu legislatif, ataupun pemilu presiden jujur melaporkan dana kampanyenya dan dapat dipertanggungjawabkan.
”Kami ingin melahirkan UU Pemilu yang betul-betul sesempurna mungkin, termasuk kalau ada laporan tentang dana kampanye yang banyak tidak dilakukan dengan jujur, itu harus dikoreksi. Itu (dana kampanye) penting karena kita, kan, ingin memilih atau produk-produk dari pemilu ini sebagai yang paling ideal, yakni presiden terbaik dan kepala daerah yang bisa dan mampu membangun daerah itu,” ucap Doli.
Draf revisi UU Pemilu saat ini masih dalam tahap harmonisasi di Badan Legislasi (Baleg) DPR. Senin depan, Komisi II menurut rencana akan dimintai penjelasan resmi oleh Baleg DPR tentang draf tersebut.
”Kami berharap, Baleg sudah melakukan harmonisasi dan sinkronisasi sehingga saat kami dipanggil tinggal mengonfirmasi beberapa hal, dan draf itu dikembalikan kepada Komisi II. Setelahnya, draf itu diajukan ke pimpinan untuk dibahas di dalam agenda rapat paripurna dan diputuskan menjadi RUU inisiatif DPR,” katanya.
Kurang tepat
Menurut Wakil Ketua Komisi II dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arwani Thomafi, isu mengenai dana kampanye selama ini kerap tidak mendapatkan perhatian. Padahal, idealnya, sejumlah aturan perlu dipertegas agar transparansi dan akuntabilitas terwujud dalam pelaporan dana kampanye.
”Di dalam aturan yang ada sekarang, kan, titik beratnya pada pembatasan jumlah dana kampanye, artinya sekian rupiah yang dibolehkan, serta sumber dana kampanye dari siapa saja yang dibolehkan dan dilarang. Sementara mestinya yang ditekankan ialah tentang transparansi dan akuntabilitas sumber dana itu. Siapa penyumbangnya, perusahaan mana dan bergerak di bidang apa, berapa banyak sumbangannya. Dengan demikian, sumber dana juga transparan,” tutur Arwani.
Selain itu, lanjut Arwani, pengaturan pelaporan dana kampanye juga harus lebih menitikberatkan pada transparansi dan akuntabilitas ketimbang sekadar pembatasan. Dengan begitu, proses pelaporan dana kampanye lebih jujur dan menciptakan ruang transparansi di tengah-tengah publik.
”Jadi, orang akan tahu calon kepala daerah ini atau calon legislatif ini ternyata dibantu seseorang berapa miliar, perusahaan ini sekian miliar. Tidak apa-apa juga itu dibuka, yang penting laporannya jelas sehingga nanti akuntabilitas penyumbang dana juga dapat diketahui, tidak hanya dari sisi penerima. Selama ini, orang, kan, bertanya-tanya dari mana uang kampanye itu, dan sumber dana menjadi gelap karena tidak ada transparansi,” ujar Arwani.
Penguatan kapasitas
Mengenai kemungkinan penguatan kewenangan Bawaslu untuk menginvestigasi laporan dana kampanye, menurut Arwani, gagasan tersebut kurang tepat. Sebab, proses investigasi tersebut membutuhkan keahlian sumber daya manusia (SDM) yang juga khusus.
”Sebaiknya itu diberikan kepada penegak hukum yang memang memiliki kompetensi dalam penanganan transaksi keuangan,” ucapnya.
Ketua Bawaslu Abhan mengatakan, jika kelak Bawaslu diberi kewenangan oleh undang-undang untuk menyelidiki kebenaran dari laporan dana kampanye, penguatan kapasitas SDM di Bawaslu menjadi keharusan.
Namun, ia mengusulkan agar kewenangan kantor akuntan publik (KAP) untuk mengaudit laporan dana kampanye pun diperluas. Tidak sebatas audit secara formil, tetapi juga materiil.
Dengan arti kata lain, KAP tidak hanya melihat laporan dana kampanye dari sisi sejauh mana peserta pemilu mematuhi aturan yang ada, tetapi juga mengecek kebenaran dari laporan tersebut.
Tren pendanaan
Secara terpisah, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae menyampaikan, sesuai perundang-undangan, PPATK hanya bertindak sebagai lembaga intelijen keuangan, bukan aparat penegak hukum.
Dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap dana kampanye, PPATK pun bekerja sama dengan Bawaslu. Kerja sama difokuskan pada peningkatan penerimaan dana di rekening pribadi pasangan calon.
Penerimaan di rekening pribadi itu akan dibandingkan dengan penerimaan di rekening khusus dana kampanye. Jika jumlah penerimaan di rekening pribadi berbeda jauh dengan yang ada dalam rekening khusus dana kampanye, patut diduga ada manipulasi dana kampanye.
Selanjutnya, jika ditemukan pidana pemilu, akan diproses oleh Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu). Sementara apabila PPATK menemukan tindak pidana lain, seperti korupsi atau kejahatan ekonomi, akan diproses lebih lanjut oleh aparat penegak hukum.
”PPATK ingin memastikan kualitas pilkada dengan mencegah dan menindak kalau ada uang hasil kejahatan digunakan untuk pilkada, dan digunakannya uang untuk memengaruhi pilihan pejabat daerah atau money politics,” ujar Dian.
Untuk sementara di Pilkada 2020 ini, lanjut Dian, PPATK belum mendapatkan data transaksi yang mencurigakan dari rekening calon.
”Kami masih terus melakukan pengamatan dan analisis. Nanti hasilnya akan kami berikan kepada Bawaslu atau ke aparat penegak hukum, tergantung jenis kejahatan,” ucapnya.
Jika merujuk pada temuan PPATK di pilkada sebelumnya, Dian mengungkapkan, rekening khusus dana kampanye (RKDK) tidak mencerminkan jumlah kekuatan dana setiap calon. Sebab, PPATK justru menemukan banyak pembiayaan bersumber dari sumber lain di luar RKDK.
”Itu terjadi, misalnya, sumbangan dari simpatisan langsung dipergunakan untuk pembiayaan kampanye ataupun sumbangan secara langsung berupa logistik pemilu terkait sarana dan prasarana yang tidak berupa uang,” kata Dian.