Kebijakan Publik Layak Dipersoalkan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menjadi contoh kebijakan publik yang menuai beragam pendapat di masyarakat. Kebijakan publik menjadi bagian yang dapat dikritisi media massa
Ayahnya berkata: “Anakku, Kau sudah pernah menjadi anak kecil, Janganlah kau nanti menjadi orang kecil!”... “Orang kecil kecil peranannya, Kecil perolehannya,” tambah si ibu…. Ayah dan ibu berganti-ganti menasehati: “Ingat, jangan sampai jadi orang kecil. Orang kecil jika ikhlas diperas. Jika diam ditikam. Jika protes dikentes. Jika usil dibedil.”… “Lebih baik jadilah orang besar. Bagiannya selalu besar. Orang besar jujur-tak jujur makmur. Benar-tak benar dibenarkan. Lalim-tak lalim dibiarkan. Orang besar boleh bicara semaunya. Orang kecil paling jauh dibicarakan saja.”(sepenggal puisi “Orang Kecil Orang Besar” karya KH Mustofa Bisri, 2017)
Sejak tahun lalu hingga hari ini, warga masih mempersoalkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. UU yang disusun secara ”omnibus”, sapu jagat karena mengubah berbagai UU dengan sebuah perundang-undangan, itu memang sudah dipersoalkan masyarakat sejak masih dalam tahap perencanaan.
Saat masih direncanakan serta dibahas pemerintah dan DPR, prosedur serta materi UU dipersoalkan. Saat diundangkan, selain materinya belum memuaskan rakyat, UU itu kembali dipersoalkan karena ada kesalahan penulisan dan pengutipan.
Perjalanan mempersoalkan UU Cipta Kerja tampaknya masih panjang.
Perjalanan mempersoalkan UU Cipta Kerja tampaknya masih panjang. Parlemen dan pemerintah tak dapat memperbaiki begitu saja kesalahan yang terkesan sepele. Untuk memperbaiki kesalahan itu, ada mekanismenya, yaitu Presiden Joko Widodo mengajukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Namun, adakah kegentingan yang memaksa sehingga pemerintah perlu membuat perppu?
Bisa juga pemerintah atau Dewan mengajukan Rancangan UU untuk memperbaiki kesalahan dalam UU No 11/2020, tetapi langkah ini berpotensi membuka ”kotak pandora” ketidakpuasan terhadap UU itu. Masyarakat, khususnya buruh dan aktivis, kembali bisa berunjuk rasa. Pembahasan revisi UU baru itu pun dapat melebar tak terkendali.
Bisa juga pemerintah dan DPR berharap Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memperbaikinya saat ada permohonan uji materi terhadap UU Cipta Kerja dari masyarakat. Kelompok buruh akan mengajukan uji konstitusionalitas UU itu ke MK (Kompas, 4/11/2020). Namun, MK belum tentu sekalian merevisi UU itu dalam putusan. Bahkan, MK dapat saja membatalkan UU Cipta Kerja, sebagian atau keseluruhan, sesuai kewenangannya.
UU Cipta Kerja menjadi contoh buruknya kebijakan publik yang dibuat pemerintah dan wakil rakyat.
UU Cipta Kerja menjadi contoh buruknya kebijakan publik yang dibuat pemerintah dan wakil rakyat. Saiful Mujani, R William Liddle, dan Kuskridho Ambardi dalam buku Kuasa Rakyat: Analisis tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca-Orde Baru (Mizan Publika, Jakarta, 2012) menuliskan, ”Kebijakan-kebijakan publik yang menyangkut kepentingan rakyat secara nasional dibuat oleh presiden dan anggota DPR.” Oleh karena itu, memahami pola-pola sikap dan perilaku politik rakyat bukan saja penting secara akademik, melainkan juga secara praktis, bagi kehidupan kolektif bangsa ini.
Munculnya kebijakan publik tidak bisa dipisahkan dari teori kehadiran negara di dunia, yang merupakan organisasi tertinggi dalam kelompok masyarakat yang memiliki cita-cita untuk bersatu, hidup dalam suatu kawasan, dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat. Karena itu, dalam suatu negara yang berdaulat, selalu ada rakyat, wilayah, dan pemerintahan yang berdaulat serta didukung dengan adanya pengakuan internasional dan konstitusi.
Meskipun terlibat dalam pembentukan negara, rakyat merupakan pihak yang paling lemah karena menyerahkan kedaulatan pada pemerintah untuk mengaturnya.
Seperti dipuisikan mustasyar (penasihat) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Mustofa Bisri, rakyat menjadi orang kecil yang cukuplah dibicarakan, tetapi belum tentu didengarkan oleh orang besar, pemerintah, dan ”perangkat” pemerintahannya, termasuk saat membuat kebijakan publik. Unjuk rasa acap kali menjadi media yang paling bisa dilakukan orang kecil, termasuk buruh, agar mendapatkan perhatian dari orang besar itu.
Leo Agustino dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa dalam tulisannya di Jurnal Borneo Administrator, Vol 16 No 2, 253-270, Agustus 2020, mengenai analisis kebijakan publik terkait penanganan pandemi Covid-19 menyatakan, analisis kebijakan adalah ”... an applied social science discipline which uses multiple methods of inquiry and arguments to produce and transform policy-relevant information that may be utilized in political setting to resolve policy problem.” Hal ini seperti ditulis analis kebijakan publik dari Amerika Serikat, William N Dunn, dalam bukunya, Public Policy Analysis: An Introductions Second Edition (New Jersey: Prentice Hall, 1994).
kompleksitas masalah publik mendorong para pembuat kebijakan mendapatkan informasi seluas-luasnya dengan menggabungkan pengetahuan dengan realitas politik yang ada.
Dalam arti lain, kompleksitas masalah publik mendorong para pembuat kebijakan mendapatkan informasi seluas-luasnya dengan menggabungkan pengetahuan dengan realitas politik yang ada. Tujuannya, para perumus dapat menyusun kebijakan yang bisa diimplementasikan sesuai latar belakang masalah, kultur, dan kepentingan politik yang tak tampak.
Dalam kajiannya terhadap kebijakan publik dalam penanganan pandemi Covid-19, Leo juga menemukan, lemahnya koordinasi antarinstansi pemerintah, lemahnya komunikasi pemerintah, dan lemahnya koordinasi antarpemangku kepentingan dalam masyarakat. Hal itu mengakibatkan, khalayak kurang peduli dengan kebijakan pemerintah terkait penanganan pandemi, apalagi ditambah dengan kurangnya sarana-prasarana penanganan penyebaran virus korona dan kurang tegasnya penegakan hukum.
Secara sederhana, dapat dikatakan masyarakat masih melihat pemerintah belum mampu menjadi teladan dalam penanggulangan pandemi Covid-19. Pemerintah pun belum dapat menarik kepercayaan publik, seperti tergambar dalam hasil survei Reuters Institute di enam negara, tak termasuk Indonesia, yang dirilis April lalu. Kepercayaan masyarakat pada media massa sebagai sumber rujukan informasi terkait Covid-19 masih lebih tinggi dibandingkan dengan lembaga pemerintah, kecuali institusi kesehatan pemerintah.
Posisi media massa
Dalam hubungan dengan penyelenggara negara sebagai pembuat kebijakan publik, media massa di Indonesia terikat dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal 1 UU Pers, antara lain, menyatakan, pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi, baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lain dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
pers berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial, selain lembaga ekonomi.
Pada bagian lain disebutkan, pers berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial, selain lembaga ekonomi. Oleh karena itu, tidak ada penyensoran, pelarangan penyiaran, dan pembredelan terhadap pers nasional.
Kenyataan di lapangan, kita acap kali menemukan pelarangan, penyensoran, atau intimidasi terhadap media massa. Memang tak selalu berasal dari penyelenggara negara atau aparat, tetapi bisa dari kelompok masyarakat.
Nabok nyilih tangan, demikian pepatah Jawa, dapat menjadi pengingat pengelola media, yang berarti memukul dengan meminjam tangan orang lain. Kondisi ini memengaruhi kemerdekaan pers di Indonesia, yang ujungnya membuat tak banyak media berani menyuarakan suara orang kecil secara lugas. Padahal, kebijakan publik banyak yang layak dipersoalkan, dikritisi, atau setidak-tidaknya diberikan masukan.
Kode Etik itu menegaskan: wartawan Indonesia bersikap independen serta menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Selain UU Pers, wartawan di Indonesia juga terikat dengan Kode Etik Jurnalistik tahun 2006. Kode Etik itu menegaskan: wartawan Indonesia bersikap independen serta menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Selain itu, wartawan Indonesia juga menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik serta wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah. Wartawan seharusnya menyuarakan kepentingan publik, terutama yang lemah. Pemahaman itu di Kompas dirumuskan dengan kalimat ”membela yang papa, mengingatkan yang mapan”. Praktiknya tak mudah.
Secara global, pengelola dan pekerja media mengikatkan diri dengan ”kode etik jurnalistik” universal dan panduan umum semestinya jurnalisme itu bekerja. Salah satu panduan yang paling banyak dianut pelaku jurnalistik di dunia ialah ”Sepuluh Elemen Jurnalisme”, yang dikenalkan wartawan dan akademisi komunikasi, Bill Kovack dan Tom Rosenstiel.
Selain mengingatkan jurnalisme itu bekerja atas nama kebenaran, disiplin dalam verifikasi, dan menjaga jarak yang sama dengan narasumbernya, hal mendasar yang seharusnya selalu diingat wartawan ialah jurnalisme bertanggung jawab kepada publik. Jurnalisme tidak bertanggung jawab pada pemilik media, partai politik, atau penguasa.
Namun, dalam webinar seri Manajemen Narasi Kebijakan Publik, KG Media, di Jakarta, Jumat (6/11/2020), terungkap, hal ini pun tak mudah dilaksanakan, bukan hanya di Indonesia, melainkan juga di banyak negara. Padahal, sejumlah ahli menyatakan media merupakan cermin masyarakatnya.
Jika masyarakatnya terbelah, tentu saja medianya juga terbelah. Jika warga menerima saja apa yang menjadi kebijakan dari penyelenggara negara, dalam banyak kasus, media pun menerima begitu saja, tanpa berusaha menampilkan sikap kritisnya. Bahkan, ada saja media yang mengambil keuntungan dari kebijakan publik yang dibuat pemerintah atau menjadi bagian dari pembuat kebijakan publik, yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi mayoritas masyarakat.
Dalam tulisan yang dimuat di harian Kompas lebih dari 16 tahun yang lalu, pendiri Kompas Gramedia (KG), Jakob Oetama, menarik garis yang jelas kaitan antara kebijakan, kekuasaan, dan kepemimpinan. Memang kepemimpinan, seperti yang sering kita dengar, adalah kepemimpinan dalam kerangka referensi kekuasaan yang mengabdi dan melayani rakyat banyak. Perbaikan perikehidupan sehari-hari bagi rakyat banyak, bagi warga dan masyarakat yang miskin dan tertinggal secara nyata agar dilaksanakan. Sekaligus disertai sikap, langkah, dan isyarat kepemimpinan yang peduli (Kompas, 31/5/2004).
Jakob Oetama melanjutkan, ”Kenyataan dan kesan dewasa ini, perbaikan perikehidupan secara konkret tersendat, sementara warga dan masyarakat yang menderita serta tertimpa percobaan seperti dibiarkan sepi sendiri. Kita tandus kepedulian dan kebersamaan. Pemerintah dan pemerintahan, government dan governance.”
”Pemerintah yang baik dilaksanakan lewat pemerintahan yang baik. Pemerintahan alias governance mengacu kepada proses dan pelaksanaan. Kebersamaan merupakan salah satu isi, semangat, dan realisasi dari pemerintahan yang baik. Untuk Indonesia yang bermasyarakat majemuk serta suatu negara kepulauan yang amat luas, panjang, dan bervariasi, kebersamaan merupakan kunci keberhasilan. Kebersamaan dalam makna equity, persamaan kesempatan dan tingkat perikehidupan yang tidak menganga, apalagi semakin menganga kesenjangannya,” tulisnya.
Ada beberapa lagi kriteria atau kualifikasi bagi pemerintah dan pemerintahan yang baik, seperti bersih tidak bersalah guna, terbuka atau transparan, dipertanggungjawabkan, partisipatif, efektif, dan efisien. Pemerintah dan pemerintahan yang cerdas serta bijak menyusun kebijakan publik, public policy, tetapi juga pemerintah yang jalan pemerintahannya, yang diimplementasikan rencana, program, dan kebijakannya. Yang melakukan pekerjaan rumah, yang menindaklanjuti, yang check and recheck, kontrol, dan koreksi.
Kenyataan bahwa kita tandus dalam kepedulian dan kebersamaan sampai sekarang masih terjadi. Rakyat dibiarkan sendiri dalam sepi.
Pemerintah yang seharusnya terbuka pada warganya, dalam beberapa kasus, malahan terkesan menutup diri. Kesalahan, paling tidak kekurangtelitian, pun belum diakui. Bahkan, ada kesan tak peduli pada aspirasi dari rakyatnya sendiri. Pada gilirannya, media massa yang harus menemani, tentu saja dengan tetap berhati-hati.
Ngono yo ngono, ning ojo ngono. Ngono yo ngono, nek iso ngene. Ajaran dalam bahasa Jawa itu menjadi ”pegangan” jajaran Kompas dalam menyikapi kebijakan publik dan keberpihakan pada rakyat. Boleh begitu, tetapi jangan begitu. Boleh begitu, jika bisa begini.
negeri yang selaras, harmonis antara kebaikan alam dan perilaku penduduknya.
Kemanusiaan yang dimuliakan, seperti filosofi humanisme transendental, sepantasnya menjadi pegangan untuk membuat negeri ini makmur bersama, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, negeri yang selaras, harmonis antara kebaikan alam dan perilaku penduduknya.
Negeri yang rakyatnya makmur sejahtera, tetapi tidak lupa bersyukur. Syukur tiada akhir….