Ancaman Polisi pada Pelajar Dinilai Melanggar Konstitusi
Ancaman dimaksud berupa catatan khusus dari kepolisian kepada pelajar yang ditahan karena terkait unjuk rasa menolak pengesahan RUU Cipta Kerja. Catatan khusus ini akan memengaruhi saat mereka ingin memperoleh SKCK.
Oleh
Edna C Pattisina
·3 menit baca
JAKARTA,KOMPAS – Langkah Kepolisian Resor Metro Tangerang Kota dan Kepolisian Resor Tangerang yang memberikan catatan khusus untuk para pelajar yang ditahan karena berunjuk rasa menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, dikecam Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Hal itu dinilai pelanggaran terhadap hak konstitusional warga.
Demikian disampaikan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Arif Maulana dalam siaran pers, Kamis (15/10/2020).
Sebelumnya, Kepala Polres Metro Tangerang Kota Komisaris Besar Sugeng Hariyanto dan Kapolres Tangerang Komisaris Besar Ade Ary Syam Indradi mengatakan, pihaknya memberikan catatan khusus kepada pelajar yang ditahan terkait unjuk rasa menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja di Tangerang, Banten. Catatan itu akan memengaruhi saat mereka ingin memperoleh Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) kelak.
LBH Jakarta juga mengecam rencana Pejabat Sementara (Pjs) Walikota Depok yang akan mengeluarkan pelajar yang berunjuk rasa.
“Jika benar hal tersebut dilakukan, tindakan tersebut jelas bentuk kesewenang-wenangan aparat dan pejabat publik serta merupakan pelanggaran hak warga, bentuk penghalangan hak konstitusional warga negara,” kata Arif Maulana.
Arif menilai, pernyataan Kapolres tersebut, semakin menguatkan dugaan kepolisian tidak independen dalam merespons unjuk rasa masyarakat terhadap pengesahan RUU Cipta Kerja pasca-terbitnya telegram Polri bernomor STR/645/X/PAM.3.2./2020.
LBH Jakarta mengingatkan Polri untuk tidak jadi alat represi pemerintah untuk menghalang-halangi unjuk rasa warga yang menolak RUU Cipta Kerja.
“Jika hukum dan aparat penegak hukum bekerja bukan berdasarkan aturan hukum tetapi berdasarkan kemauan penguasa, maka hukum hanya akan menjadi alat menindas rakyat bukan untuk melindungi rakyat,” kata Arif.
Catatan kepolisian adalah catatan tertulis yang diselenggarakan oleh Polri terhadap seseorang yang pernah melakukan perbuatan melawan hukum atau melanggar hukum atau sedang dalam proses peradilan atas perbuatan yang dia lakukan. Catatan ini nantinya yang akan dituangkan dalam SKCK.
“Artinya, seseorang harus melakukan tindak pidana terlebih dahulu, diproses oleh Kepolisian, Kejaksaan, disidang oleh Pengadilan dan mendapatkan putusan yang bersifat final baru dapat dinyatakan melanggar hukum dan dicatat dalam Catatan Kepolisian tersebut,” kata Rasyid Ridha yang merupakan Pengacara Publik LBH Jakarta Muhammad Rasyid Ridha Saragih.
Dengan demikian, Rasyid menggarisbawahi, pelajar yang ditangkap karena baru akan mengikuti unjuk rasa tidak dapat dinyatakan melanggar hukum. Unjuk rasa atau demonstrasi merupakan kegiatan mengemukakan pendapat dan ekspresi di muka umum yang harus dilindungi dan dijamin oleh negara berdasarkan undang-undang.
Segala bentuk penghalang-halangan unjuk rasa yang dilakukan oleh aparat negara dan pemerintah, termasuk kepolisian dan kepala daerah, baik dengan cara penangkapan sewenang-wenang, penyisiran, razia tak berdasar, screening, blacklist SKCK, hingga mengeluarkan siswa (drop out) dari sekolah pada dasarnya merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum, bersifat malaadministrasi dan diskriminatif, serta melanggar hak asasi manusia dan hak anak.
Sebelumnya, Kepala Polres Metro Tangerang Kota Komisaris Besar Sugeng Hariyanto, mengatakan prosedur memberikan catatan khusus tersebut, sudah semestinya dilakukan polisi.
”Saya pikir ini tidaklah (berlebihan). Ini proses yang memang harus dilakukan kepolisian. Itu menjadi prosedur kami,” kata Sugeng.