Polisi Tangkap Delapan Orang yang Disebut Penyebar Ujaran Kebencian Terkait RUU Cipta Kerja
Polri menangkap 8 orang. ”Patut diduga mereka memberikan informasi yang menyesatkan, berbau SARA, dan penghasutan. Itu memang direncanakan sedemikian rupa untuk melakukan perusakan,” ujar Brigjen (Pol) Awi Setiyono.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepolisian menangkap delapan orang di Sumatera Utara dan di DKI Jakarta yang diduga menyebarkan informasi yang memuat kebencian serta permusuhan terkait demonstrasi Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Hingga saat ini, lima orang di antaranya sudah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan.
”Tim siber Badan Reserse Kriminal Polri dan tim siber Kepolisian Daerah Sumatera Utara telah melakukan penangkapan-penangkapan terkait dengan demo omnibus law mulai 8 Oktober sampai hari ini tanggal 13 Oktober,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Awi Setiyono, Selasa (13/10/2020).
Penangkapan dilakukan di wilayah Sumatera Utara dan DKI Jakarta. Di Sumatera Utara, tim siber Polda Sumut menangkap seseorang berinisial KA pada 9 Oktober. Pada 10 Oktober, tim kembali menangkap seseorang berinisial JG.
Masih pada 10 Oktober, tim menangkap seseorang berinisial NZ. Kemudian pada 12 Oktober, tim siber Polda Sumut menangkap seseorang berinisial WRP. Mereka semua ditangkap karena terkait dengan demo menolak RUU Cipta Kerja yang berakhir dengan kericuhan di wilayah Sumut.
Di Jakarta, lanjut Awi, tim siber Bareskrim Polri pada 10 Oktober menangkap KA di Tangerang Selatan. Kemudian, pada 12 Oktober dini hari, tim kembali menangkap seseorang berinisial AP di Rawamangun, Jakarta Timur. Pada 13 Oktober pagi, tim menangkap SG di Depok dan JH di Cipete, Jakarta Selatan.
Keempat orang yang ditangkap di Sumut telah dibawa ke Bareskrim Polri di Jakarta untuk diperiksa. Hingga saat ini, sudah 5 orang yang dijadikan tersangka dan ditahan. Sementara 3 orang lainnya masih dalam masa pemeriksaan 1 x 24 jam.
Terhadap mereka, penyidik menyangkakan Pasal 45A Ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pasal itu mengatur setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan diancam dengan pidana penjara paling lama 6 tahun atau denda paling banyak Rp 1 miliar. Selain itu, polisi akan menyangkakan Pasal 160 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Penghasutan.
Menurut Awi, kepolisian tidak memandang orang-orang yang ditangkap tersebut sebagai tokoh dari suatu organisasi tertentu. Polisi menangkap mereka berdasarkan peristiwa pidana yang diduga terjadi.
”Ini terkait dengan demo omnibus law yang berakhir anarkistis. Patut diduga mereka memberikan informasi yang menyesatkan, berbau SARA, dan penghasutan. Itu memang direncanakan sedemikian rupa untuk melakukan perusakan,” ujar Awi.
Salah satu barang bukti yang telah dikantongi polisi adalah percakapan di media sosial ataupun di aplikasi grup percakapan. Kemudian diduga terdapat proposal terkait demonstrasi tersebut. Namun, Awi menolak menjelaskan lebih jauh karena hal itu telah masuk ke materi penyidikan. Awi menyatakan, setelah proses pemeriksaan selesai, kepolisian akan menyampaikan kepada publik tentang kronologi kejadian beserta motifnya kepada publik.
Sementara itu, melalui siaran pers, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyayangkan penangkapan tiga unsur pimpinan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) pada Selasa. Tiga orang itu ialah Jumhur Hidayat, Anton Permana, dan Syahganda Nainggolan dari KAMI. Menurut dia, penangkapan ini dilakukan untuk menyebar ketakutan di antara mereka yang mengkritik pengesahan Rancangan Undang-Undang Omnibus Cipta Kerja.
”Di sisi lain, penangkapan ini menunjukkan bahwa kebebasan berekspresi di negara ini sedang terancam dan bisa dilihat sebagai upaya untuk mengintimidasi oposisi dan mereka yang mengkritik rezim yang sedang berkuasa,” kata Usman Hamid.
Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Poengky Indarti, berpandangan, penangkapan yang dilakukan kepolisian tersebut semestinya sudah didasarkan pada bukti yang cukup. Maka, meskipun mereka yang ditangkap berasal dari kelompok yang dianggap kritis terhadap pemerintah, penyidik berwenang untuk melakukan penangkapan.
”Ini merupakan ujian bagi polisi untuk dapat dilihat sebagai aparat penegak hukum yang independen dalam menjunjung tinggi keadilan dan kepastian hukum,” kata Poengky.
Jika memang memiliki bukti yang cukup, menurut Poengky, polisi diharapkan tidak ragu lagi untuk menegakkan keadilan dan kepastian hukum terhadap orang-orang yang diduga melakukan tindak pidana, apa pun latar belakang mereka. Demikian pula pihak di luar kepolisian tidak boleh mengintervensi penyidik dalam menangani kasus tersebut.