PBNU membersamai pihak-pihak yang berupaya mencari keadilan dengan mengajukan uji materi UU Cipta Kerja ke MK. Dalam suasana pandemi dan ikhtiar bersama untuk memotong rantai penularan, upaya hukum ialah jalur terbaik.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengurus Besar Nahdlatul Ulama mendorong agar upaya hukum dilakukan dalam menyikapi disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Upaya hukum dipandang sebagai jalur terbaik dan terhormat dalam mencari keadilan dibandingkan dengan mobilisasi massa.
Dalam keterangan persnya, PBNU menyatakan, pihaknya menghargai setiap upaya yang dilakukan negara untuk memenuhi hak dasar warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Penyusunan UU Cipta Kerja disadari sebagai upaya menarik investasi dengan menciptakan iklim usaha yang kondusif. Salah satunya dengan kemudahan izin dan simplisitas birokrasi.
Namun, NU menyesalkan proses legislasi UU Cipta Kerja yang terburu-buru, tertutup, dan enggan membuka diri terhadap aspirasi publik. PBNU menilai, untuk mengatur bidang hidup yang sangat luas, bahkan melibatkan sekitar 76 UU, dibutuhkan kesabaran, ketelitian, kehati-hatian, dan partisipasi luas para pemangku kepentingan.
”Di tengah suasana pandemi, memaksakan pengesahan undang-undang yang menimbulkan resistensi publik adalah bentuk praktik kenegaraan yang buruk,” ungkap Sekretaris Jenderal PBNU Helmy Faishal Zaini dalam keterangan persnya, Jumat (9/10/2020) di Jakarta.
PBNU menilai niat baik membuka lapangan kerja tidak boleh dicederai dengan membuka semua hal menjadi lapangan komersial yang terbuka bagi perizinan berusaha. Sektor pendidikan termasuk bidang yang semestinya tidak boleh dikelola dengan motif komersial murni karena termasuk hak dasar yang harus disediakan negara.
Di sisi lain, upaya menarik investasi juga harus disertai perlindungan terhadap hak-hak pekerja. Pemberlakuan pasar tenaga kerja fleksibel (labor market flexibility) yang diwujudkan dengan perluasan sistem pekerja kontrak waktu tertentu dan alih daya akan merugikan mayoritas tenaga kerja RI yang masih didominasi oleh pekerja dengan keterampilan terbatas.
”NU bisa memahami kerisauan para buruh dan pekerja terhadap Pasal 81 UU Cipta Kerja yang mengubah beberapa ketentuan di UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Penghapusan jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun bagi pekerja PKWT (Pasal 59) meningkatkan risiko pekerja menjadi pekerja tidak tetap sepanjang berlangsungnya industri,” kata Helmy.
Selain itu, upaya menarik investasi juga harus disertai perlindungan lingkungan hidup dan konservasi sumber daya alam, serta tidak boleh mengorbankan ketahanan pangan berbasis kemandirian petani. Pasal 64 UU Cipta Kerja yang mengubah beberapa pasal di UU 18 Tahun 2012 tentang Pangan, menurut PBNU, berpotensi menjadikan impor sebagai soko goro penyediaan pangan nasional.
PBNU juga menyikapi secara kritis Pasal 48 UU Cipta Kerja yang mengubah beberapa ketentuan dalam UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Aturan itu mengokohkan pemusatan dan monopoli fatwa kepada satu lembaga.
”NU membersamai pihak-pihak yang berupaya mencari keadilan dengan menempuh jalur konstitusional dengan mengajukan uji materi ke MK. Dalam suasana pandemi dan ikhtiar bersama untuk memotong rantai penularan, upaya hukum adalah jalur terbaik dan terhormat dalam mencari keadilan dibandingkan mobilisasi massa,” ujar Helmy.
Sebelumnya, Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menyatakan belum akan mengajukan uji materi kepada MK. ”Muhammadiyah masih akan mempelajari UU Cipta Kerja setelah secara resmi diundangkan oleh pemerintah. Judicial review dilakukan apabila terdapat pasal-pasal yang bertentangan dengan UUD 1945 dan ada kerugian konstitusional akibat pelaksanaan suatu undang-undang. Muhammadiyah masih wait and see,” kata Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti.
Menyikapi maraknya aksi unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja, PP Muhammadiyah juga mendorong agar pemerintah membuka pintu dialog dengan elemen masyarakat, terutama dengan yang berkeberatan. ”Pemerintah hendaknya tidak menggunakan pendekatan kekuasaan semata-mata,” ujarnya.
Sementara itu, anggota Presidium Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Din Syamsuddin, dalam keterangannya mengatakan, masalah UU Cipta Kerja bukan hanya pada isi yang merugikan rakyat, melainkan cara pembahasannya yang menunjukkan DPR dan pemerintah abai terhadap aspirasi rakyat.
”Unjuk rasa adalah hak rakyat yang dijamin konstitusi, tidak ada yang boleh menghalangi,” ujarnya.
Secara terpisah, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Willy Aditya mengatakan, beberapa substansi UU Cipta Kerja yang sempat menjadi kontroversi di publik pada prinsipnya sudah diperjuangkan maksimal di dalam pembahasan di DPR. Namun, DPR juga tidak dapat sepenuhnya memaksakan kehendaknya dalam proses-proses politik yang terjadi.
”Silakan saja jika kelompok-kelompok yang merasa UU Cipta Kerja ini belum memenuhi harapannya, dapat mengajukan constitutional review atas pengaturan hal tersebut,” ujarnya.