Antara Keyakinan Pemerintah dan Penolakan Publik atas UU Cipta Kerja
Penolakan atas UU Cipta Kerja melalui petisi daring dan melalui unjuk rasa di sejumlah daerah menunjukkan ketidakpercayaan masyarakat. Namun, pemerintah kukuh meyakini, UU itu berdampak positif bagi ekonomi Indonesia.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
Sejak Undang-Undang ”Sapu Jagat” Cipta Kerja disetujui oleh DPR pada Senin (5/10/2020), gelombang penolakan terus terjadi. Demonstrasi besar-besaran terjadi di sejumlah daerah. Tokoh agama, akademisi, dan kalangan buruh lantang menyerukan penolakan. Namun, pemerintah tampaknya amat percaya diri bahwa regulasi itu bisa jadi solusi perbaikan ekonomi.
Sikap percaya diri itu ditunjukkan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dalam acara Satu Meja The Forum di Kompas TV yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo, Rabu (7/10) malam. Tema yang diangkat malam itu, ”Vaksin, Investasi, dan Omnibus Law”.
Beberapa kali Luhut mengatakan, para pengkritik UU Cipta Kerja seharusnya membaca terlebih dahulu draf final RUU sebelum disahkan. Menurut dia, banyak informasi yang berkembang, terutama di media sosial, salah karena didasarkan pada draf yang belum final.
Namun, kegamangan publik ini sebenarnya juga tidak berlebihan. Sebab, dalam rapat paripurna pengesahan UU Cipta Kerja, anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Hidayat Nur Wahid, mengatakan tidak mendapat salinan draf final UU Cipta Kerja. Padahal, sesuai Tata Tertib DPR Pasal 163 Huruf c dan e, dalam pengambilan keputusan tingkat pertama, naskah akhir RUU yang akan disahkan dibacakan dan ditandatangani. Jadwal Rapat Paripurna DPR dan pemerintah yang semula 8 Oktober juga dimajukan menjadi 5 Oktober (Kompas.tv, 8/10/2020).
RUU Cipta Kerja diserahkan pemerintah kepada DPR pada 12 Februari 2020. Pemerintah kemudian menargetkan pembahasan dapat selesai dalam 100 hari. Di tengah kondisi masyarakat yang sedang berperang melawan pandemi Covid-19, anggota DPR semula mempertanyakan urgensi pembahasan RUU tersebut. Meski demikian, belakangan, tujuh dari sembilan fraksi DPR menyetujui pengesahan UU Cipta Kerja.
Luhut mengatakan, jika kehadiran vaksin Covid-19 memberikan optimisme pada penanganan wabah, UU Cipta Kerja memberikan harapan pada pemulihan aspek ekonomi. Menurut dia, UU ini juga dibuat dengan semangat antisipasi dampak ekonomi pandemi Covid-19. UU Cipta Kerja dibuat semata-mata untuk menarik investor asing masuk ke Indonesia sehingga dapat tercipta 3 juta lapangan kerja baru bagi masyarakat.
Luhut menuturkan, sejumlah negara memberikan apresiasi pada terobosan deregulasi tersebut. Menteri Energi Uni Emirat Arab dan perwakilan Bank Dunia, misalnya, meneleponnya untuk mengapresiasi keluarnya regulasi itu. Ia juga mengklaim, kedua pihak mendukung langkah Pemerintah Indonesia untuk menciptakan iklim usaha yang lebih baik.
”Dengan omnibus law ini, kami mau membuat aturan yang sederhana sehingga iklim usaha di negara kita lebih kompetitif. Selama ini, UU ini, kan, banyak bertabrakan sehingga investor tidak mau datang ke Indonesia,” kata Luhut.
Di sisi lain, tokoh agama, organisasi massa Islam, akademisi, buruh, dan belakangan sejumlah kepala daerah menyuarakan penolakan terhadap RUU Cipta Kerja. Hingga Kamis sore, petisi daring di Change.org yang berisi penolakan terhadap UU Cipta Kerja ditandatangani lebih dari 1,3 juta pengguna internet.
Abaikan suara rakyat
Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, melalui media sosialnya, mengatakan, proses pembentukan legislasi di DPR kian mengabaikan suara rakyat. Pemerintah dan DPR seolah berjalan dalam keyakinan sendiri dalam proses pengesahan UU Cipta Kerja. Rakyat yang memiliki kekuasaan tertinggi dan diatur dalam UUD 1945 diabaikan.
Menurut dia, praktik pembuatan legislasi yang mengabaikan aspirasi masyarakat ini akan berefek buruk bagi demokrasi. Karena itu, UU Cipta Kerja harus ditolak dan masyarakat berhak melawan praktik buruk demokrasi itu.
Menanggapi hal itu, Luhut mengatakan, pro-kontra adalah wajar dalam berdemokrasi. Dia menilai, kebijakan pemerintah tentu tak bisa menyenangkan semua pihak. Karena itu, wajar jika setelah UU disahkan, penolakan terjadi di mana-mana.
Ia juga mengklaim bahwa dalam proses pembahasan UU Cipta Kerja, pemerintah sudah mendengarkan suara rakyat. Pihak pengusaha, buruh, dan asosiasi profesi yang terdampak sudah dimintai pendapat.
”Kalau mau semua setuju di surga aja. Kalau selama masih di bumi, pasti ada setuju dan tidak setuju itu,” katanya.
Luhut juga membenarkan janji Presiden Joko Widodo bahwa Indonesia dapat menarik investasi asing 20 miliar dollar AS. Target itu diklaim dapat segera direalisasikan dengan UU Cipta Kerja. Sebab, pembentukan badan usaha pengelola investasi negara (sovereign wealth fund/SWF) sudah diatur dalam UU itu.
Di sisi lain, Budiman Tanuredjo mengutip pendapat pengamat ekonomi bahwa UU ”Sapu Jagat” Cipta Kerja adalah resep yang keliru jika digunakan untuk mengobati persoalan investasi. Mengutip Faisal Basri, penghambat investasi di Indonesia adalah praktik korupsi dan birokrasi berbelit.
Luhut mengatakan, justru itulah mengapa UU Cipta Kerja dibuat, salah satunya untuk mencegah korupsi dan memangkas birokrasi berbelit.
Hak buruh
UU Cipta Kerja dinilai lebih banyak berpihak kepada kalangan pengusaha dan investor. Beberapa hak buruh yang semula diatur dalam UU Ketenagakerjaan justru dihapus.
Saat dikonfirmasi mengenai hal itu, ia menyebutkan, dalam UU Cipta Kerja, penentuan upah diformulasi dan disepakati bersama. Jadi, seharusnya hal itu tak merugikan salah satu pihak, terutama buruh. Dalam UU Cipta Kerja juga diatur tentang pesangon. Saat terjadi pemutusan hubungan kerja, buruh diberi pesangon 25 kali gaji. Jumlah itu turun dari pengaturan pesangon dalam UU Ketenagakerjaan, yakni 32 kali gaji.
Luhut menambahkan, besaran pesangon memang diturunkan, sesuai standar pesangon di negara-negara sekitar. Selain itu, pemerintah juga akan memberikan jaminan lain.
Terkait demonstrasi yang terjadi di sejumlah daerah, pemerintah menghargai hal itu sebagai hak demokrasi. Massa dipersilakan menyampaikan aspirasi, tetapi harus menaati protokol kesehatan. Apabila melanggar protokol kesehatan dan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), aparat dapat membubarkan kerumunan.
Pengunjuk rasa juga diingatkan bahwa potensi penularan dalam kerumunan sangat tinggi. Jangan sampai kegiatan demonstrasi itu justru berdampak buruk dan menciptakan kluster baru Covid-19.
”Silakan berdemo, tetapi jika sampai anarkistis, negara akan diminta menindak,” ujarnya.
Luhut juga menghargai upaya sejumlah pihak yang akan menempuh jalur konstitusional melalui gugatan di Mahkamah Konstitusi.