Ketidaknetralan ASN Merusak Tata Kelola Pemerintahan
Sepekan pertama masa kampanye Pilkada 2020, Bawaslu menerima sekitar 600 pelanggaran netralitas aparatur sipil negara. Problem klasik yang terus berulang setiap kali gelaran pemilu. Penegakan hukum perlu diperkuat.
Oleh
NINA SUSILO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam sepekan pertama masa kampanye Pemilihan Kepala Daerah 2020, Badan Pengawas Pemilu menerima sekitar 600 pengaduan terkait ketidaknetralan aparatur sipil negara. Peran serta seluruh komponen negara dan masyarakat untuk mengawal netralitas ASN diperlukan. Tanpa aparatur yang netral, tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih hanya menjadi mimpi.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin dalam acara Kampanye Virtual Gerakan Nasional Netralitas Aparatur Sipil Negara, Rabu (7/10/2020), berharap supaya pejabat negara dan pimpinan di setiap instansi pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, mengawal netralitas aparatur sipil negara (ASN). Media massa dan lembaga swadaya masyarakat juga perlu mendukung.
”Netralitas harus dilakukan oleh seluruh pegawai ASN untuk menjaga dan menangkal politisasi birokrasi. Apabila terjadi (ketidaknetralan ASN), maka akan menjauhkan kita dari tujuan membangun birokrasi yang profesional sebagai penentu terciptanya tata kelola pemerintahan yang bersih dan berwibawa,” tutur Wapres.
Kampanye dan deklarasi Gerakan Nasional Netralitas ASN ini menjadi acara keempat setelah tiga seri pertama yang telah dilangsungkan pada 30 Juni, 5 Agustus, dan 26 Agustus.
Netralitas ASN juga akan memastikan target kinerja pemerintahan tercapai karena ASN fokus pada kerja dan tidak terlibat aktivitas politik. Kualitas pelayanan publik juga akan terjaga. Sistem merit bisa diterapkan dan birokrasi menjadi independen, transparan, dan akuntabel.
Pengembangan karier juga akan lebih terbuka sesuai integritas, kompetensi, dan kinerja, bukan dipengaruhi kedekatan ASN dengan penguasa ataupun tokoh tertentu.
Sayangnya harapan ini belum sejalan dengan fakta di lapangan. Wapres menyebutkan, dalam seminggu pertama masa kampanye pilkada serentak 2020 di 270 daerah, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menerima sekitar 600 laporan pelanggaran netralitas ASN dari total 1.300 laporan pelanggaran selama pilkada.
Adapun Ketua Komisi ASN Agus Pramusinto mengatakan, sejak Januari hingga 30 September 2020, KASN menerima laporan pelanggaran netralitas terhadap 694 pegawai ASN. Dari jumlah ini, 492 orang sudah diberikan rekomendasi sanksi, tetapi baru 52 persen atau 492 rekomendasi yang ditindaklanjuti Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) yang umumnya kepala daerah.
Dari pelanggaran netralitas tersebut, KASN mencatat pelanggaran terbanyak terjadi di Kabupaten Purbalingga dengan total 56 ASN yang diberi sanksi. Namun, jika dilihat dari sisi provinsi, pelanggaran terbanyak terjadi di Provinsi Sulawesi Tenggara dengan total pelanggaran 90 ASN. Sebanyak 26,1 persen pelanggaran dilakukan pejabat pimpinan tinggi. Adapun pelanggaran terbanyak berupa kampanye di media sosial, yakni 23,1 persen.
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, netralitas ditegaskan menjadi satu dari 13 asas yang harus dipegang oleh penyelenggara negara. ”Faktanya masih banyak keterlibatan ASN (dalam pemilu) sehingga isu ini tidak henti-hentinya dibahas terutama di tingkat penyelenggara pemilu,” ujar Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia.
Dalam penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), ketidaknetralan ASN disebabkan sejumlah hal. Pertama, adanya tokoh yang terlalu kuat menanamkan pengaruh di birokrasi. Kedua, adanya keinginan ASN sendiri untuk terlibat dalam kontestasi politik. Ketiga, sosialisasi institusi terkait netralitas ASN masih lemah. Keempat, kultur hubungan patron-klien serta adanya birokrasi bayangan yang mengendalikan ASN.
Dari penelitian tersebut, menurut Doli, sudah jelas bahwa masalahnya terdapat pada penerapan aturan. Karena itu, dalam jangka pendek, penegakan hukum harus diperkuat. Dalam jangka menengah dan panjang pun, perlu dibangun dan dikembangkan budaya hukuman dan penghargaan terkait hal ini.
Tanpa komitmen untuk menerapkan ini, Doli sepakat bahwa tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih tak akan tercapai. Sebab, ASN akan sibuk berlomba untuk mendapatkan apresiasi secara personal dari tokoh yang dianggap berpengaruh. Pelayanan publik dan tugas pokok fungsi ASN akan terbengkalai.
KASN sebagai garda terdepan dalam mengawasi fungsi ASN juga meminta ASN menghentikan pelanggaran netralitas serta fokus pada kualitas kerja dan pelayanan publik. Pencegahan pelanggaran netralitas perlu dilakukan lintas institusi. Di sisi lain, KASN juga meminta Wakil Presiden sebagai Ketua Komite Percepatan Reformasi Birokrasi untuk mendukung penguatan kelembagaan ASN dan memastikan kinerja ASN berbasis merit.
Wapres dalam sambutannya menyampaikan dukungan tersebut kendati tak secara konkret menyebutkan bagaimana dukungan itu akan diberikan.
”Pemerintah akan mendukung penguatan kelembagaan dan kewenangan KASN menjadi pengawas terdepan dalam mengawal netralitas ASN dalam kerangka sistem merit di seluruh instansi pemerintah,” kata Wapres.
Doli juga menyampaikan hal serupa. Kehadiran KASN diakui sangat penting. ”Dalam pembicaraan terkait revisi UU ASN, walau belum menerima drafnya, semua anggota Komisi II DPR sepakat bahwa tugas dan fungsi KASN perlu diperkuat,” tutur Doli.
Wapres juga meminta KASN terus meningkatkan kinerjanya. Koordinasi dan kolaborasi dengan Bawaslu dan kementerian/lembaga serta pemerintah daerah perlu terus dikuatkan. Dengan demikian, bisa diwujudkan percepatan reformasi birokrasi Indonesia menuju ASN dan birokrasi kelas dunia.