Perppu Sanksi Pelanggar Protokol Kesehatan di Pilkada Dianggap Belum Dibutuhkan
Menko Polhukam Mahfud MD menilai perppu sanksi pelanggaran protokol kesehatan dalam kampanye Pilkada 2020 belum dibutuhkan. Aturan yang ada cukup bagi aparat penegak hukum dan pengawas pemilu menindak para pelanggar.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI/NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menilai peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau perppu belum dibutuhkan untuk mengatur sanksi pelanggaran protokol kesehatan dalam kampanye Pemilihan Kepala Daerah 2020. Penanganan terhadap pelanggar protokol kesehatan dianggap sudah cukup diatur di instrumen hukum yang ada saat ini.
Demikian disampaikan oleh Mahfud saat jumpa pers secara daring, Kamis (1/10/2020). Menurut dia, jumlah pelanggaran protokol kesehatan yang terjadi sejak hari pertama kampanye, Sabtu (26/9/2020), tidak banyak. Jika dibandingkan dengan 270 daerah yang menggelar kampanye, pelanggaran protokol kesehatan hanya ditemukan di 35 kabupaten/kota.
Sebagai komparasi, Mahfud menyebut, pelanggaran protokol kesehatan sebenarnya lebih marak di luar konteks pilkada, misalnya di pasar, mal, jalan, dan pusat kegiatan publik lainnya.
”Sudah ada satpol PP, dibantu TNI/Polri dimonitor juga oleh Kementerian Dalam Negeri bisa mengendalikan itu. Sampai sekarang belum terpikir ada perppu. Ada atau tidak ada perppu, instrumen hukum dan aparatnya sama,” kata Mahfud.
Sekalipun jumlah pelanggaran secara kumulatif masih kecil, Mahfud menuturkan, hal itu tentu tidak menjadi sebuah pemakluman. Karena itu, Bawaslu dan kepolisian diperintahkan agar terus berkoordinasi dalam menangani setiap pelanggaran sesuai tugas dan fungsinya.
Bawaslu memiliki instrumen hukum Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 13 Tahun 2020 tentang pelaksanaan tahapan pilkada di masa pandemi Covid-19. Sementara kepolisian memiliki instrumen Undang-Undang Wabah Penyakit, UU Kekarantinaan Kesehatan, atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana untuk menindak pelanggar protokol kesehatan.
Jika koordinasi dilakukan dengan baik, seharusnya itu dapat dioptimalkan untuk menindak para pelanggar protokol kesehatan. Dengan demikian, menurut Mahfud, pemerintah berpendapat belum melihat urgensi untuk menerbitkan perppu.
Sebelumnya, anggota Badan Pengawas Pemilu, M Afifuddin, berpendapat bahwa Bawaslu tidak bisa bertindak di luar kewenangan yang ditetapkan dalam PKPU. Sanksi saat ini masih sebatas peringatan. Untuk mengatur sanksi yang lebih tegas dan memberikan efek jera diperlukan perppu (Kompas, 1/10/2020).
Tidak bertanggung jawab
Dengan pemerintah tak ingin mengeluarkan perppu, anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menilai, hal itu menunjukkan sikap tidak bertanggung jawab pemerintah soal optimalisasi dan konsistensi pilkada dengan protokol kesehatan. Padahal, keputusan melanjutkan pilkada juga merupakan keinginan pemerintah.
”Di sinilah terlihat ambiguitas dan anomalinya sikap pemerintah. Pemerintah seolah tidak mau tangannya terkotori dengan terlalu sering mengeluarkan perppu. Padahal, dengan memaksakan pilkada di tengah situasi pandemi, sesungguhnya ini sudah membuat pemerintah berkubang dengan banyak persoalan baru akibat timbulnya kluster baru Covid-19 akibat penyelenggaraan pilkada,” ujar Titi.
Jika pemerintah menolak mengeluarkan perppu, menurut Titi, penundaan pilkada makin relevan disuarakan. Sebab, tanpa perppu, tahapan pilkada ke depan menyimpan potensi bahaya dan ancaman kesehatan yang lebih besar.
”Sebab, kampanye, pemungutan, dan penghitungan suara akan melibatkan massa dalam jumlah yang lebih besar dengan potensi pelanggaran yang makin beragam,” tuturnya.
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih Rakyat (JPPR), Alwan Ola Riantobi, sependapat dengan Titi. Pilkada tidak akan terselenggara dengan berkualitas dan sehat apabila instrumen hukum dalam penindakan di lapangan tidak dipertegas melalui perppu.
Alwan melihat, konstruksi PKPU No 13/2020 masih menimbulkan ambiguitas penanganan di penyelenggara Bawaslu di kecamatan, kabupaten, dan kota.
Mereka masih belum memiliki kesepahaman dengan kepolisian dalam menangani suatu tindakan pelanggaran di lapangan. Dalam praktiknya, Bawaslu hanya sekadar membuat surat teguran tertulis setelah itu kewenangan membubarkan di tangan kepolisian. Namun, di waktu bersamaan, kepolisian pun tidak bisa menangani pelanggaran tersebut karena bukan domain mereka dan tidak ada asas legalitasnya.
”Atas persoalan itu dan tren pelaksanaan kampanye yang juga masih belum mematuhi protokol kesehatan, kita membutuhkan perppu yang mengatur detail soal pelanggaran, otoritas, dan mekanisme teknis seperti apa,” kata Alwan.
Pemerintah, menurut Alwan, harus segera menerbitkan perppu sebelum kluster penularan Covid-19 di pilkada semakin banyak. Menurut dia, kualitas pilkada akan sangat jatuh apabila tetap diselenggarakan dengan PKPU yang masih standar.
”Pemerintah jangan memakai logika menunggu kejadian dulu baru keluarkan aturan. Ini kan jadi ambigu. Seharusnya ada rencana mitigasi yang efektif. Saya kira perppu sudah sangat mendesak. Jangan menunggu lonjakan kasus, terlambat nanti,” ujar Alwan.
Ia pun sependapat, jika pemerintah tidak mampu mengatasi persoalan itu, lebih baik pilkada ditunda. ”Kalau dalam indikator hukum tadi masih belum maksimal dalam pelaksanaannya, pilihannya hanya satu, menunda pilkada atau semakin besar korban jiwa yang berjatuhan,” ujar Alwan.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Akmal Malik berpendapat, Bawaslu harus bisa bergerak lebih progresif lagi untuk menindak pelanggar protokol kesehatan dengan aturan yang ada. Aturan yang dimaksud berarti di PKPU No 13/2020.
”Bersinergi dengan pihak-pihak terkait untuk menindak, bisa saja tokoh masyarakat, organisasi masyarakat, dan aparat penegak hukum,” ujar Akmal.