Naik Helikopter untuk Perjalanan Pribadi, Dewan Pengawas Nilai Ketua KPK Langgar Etik
Ketua KPK Firli Bahuri dijatuhi sanksi ringan oleh Dewan Pengawas KPK. Tindakan Firli yang menggunakan helikopter untuk perjalanan pribadinya di Sumatera Selatan dinilai Dewan Pengawas KPK melanggar kode etik.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi menjatuhkan sanksi ringan berupa teguran tertulis II kepada Ketua KPK Firli Bahuri setelah terbukti menggunakan helikopter untuk perjalanan pribadi pada Juni 2020. Dewan Pengawas menyatakan, Firli bersalah melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku KPK.
Dalam sidang putusan, Kamis (24/9/2020), di Gedung Anti-Corruption Learning Center KPK, Jakarta. Ketua Dewan Pengawas KPK sekaligus Ketua Majelis Tumpak H Panggabean mengatakan, Firli bersalah karena melanggar kode etik dan pedoman perilaku sebagai insan komisi. Firli terbukti melanggar Pasal 4 Ayat (1) Huruf n dan Pasal 8 Ayat (1) Huruf f Peraturan Dewan Pengawas Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK.
”Menghukum terperiksa dengan sanksi ringan berupa teguran tertulis II, yaitu agar terperiksa tidak mengulangi lagi perbuatannya dan agar terperiksa sebagai Ketua KPK senantiasa menjaga sikap dan perilaku dengan menaati larangan dan kewajiban yang diatur dalam kode etik dan pedoman perilaku KPK,” kata Tumpak.
Dalam persidangan tersebut, hadir sebagai anggota majelis Albertina Ho dan Artidjo Alkostar yang menggantikan Syamsuddin Haris setelah dinyatakan positif Covid-19, serta Firli sebagai terperiksa. Selain itu, hadir juga pelapor kasus dugaan pelanggaran etik tersebut, yakni Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman.
Albertina mengatakan, hal yang memberatkan Firli dalam penjatuhan sanksi tersebut karena ia tidak menyadari pelanggaran yang telah dilakukan. Sebagai Ketua KPK, Firli seharusnya menjadi teladan, tetapi justru melakukan sebaliknya.
Hal yang meringankan, yaitu Firli belum pernah dihukum akibat pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku. Selain itu, ia juga kooperatif sehingga memperlancar jalannya persidangan.
Adapun pertimbangan Dewan Pengawas, yaitu menurut majelis, alasan Firli menggunakan helikopter dari Palembang ke Baturaja, Sumatera Selatan, dan sebaliknya, serta dari Palembang ke Jakarta pada 20 dan 21 Juni 2020 tak beralasan. Firli beralasan, menggunakan helikopter tersebut untuk efisiensi waktu.
Alasan tersebut tidak dapat diterima oleh majelis sebab Firli mengetahui bahwa ia akan pulang ke Jakarta pada Minggu (21 Juni) sejak Jumat (19 Juni) karena akan ada rapat. Menurut majelis, seharusnya Firli dapat mengantisipasi rencana kepulangannya. Namun, Firli justru memberi tahu ajudannya ada penyewaan helikopter dan menyuruh ajudannya untuk mencari informasi harga sewa helikopter tersebut pada hari Sabtu (20 Juni).
Alasan Firli akan membuat paparan pada Minggu juga tidak dapat diterima majelis sebab membuat konsep paparan bisa dilakukan di mana saja. Selain itu, rapat dapat diwakili oleh pimpinan KPK lainnya.
Menurut majelis, sebagai insan KPK, Firli seharusnya menyadari sepenuhnya bahwa semua sikap dan tindakannya selalu melekat dalam kapasitasnya sebagai insan komisi dan pimpinan KPK, terlebih lagi sebagai Ketua KPK. Firli wajib menunjukkan keteladanan dalam watak dan perilaku sehari-hari.
Penggunaan pesawat sewaan yang dilakukan Firli untuk melakukan perjalanan pribadi telah menimbulkan tanggapan negatif dari berbagai kalangan masyarakat melalui pemberitaan di media massa.
Selain itu, perbuatan Firli berpotensi menimbulkan runtuhnya kepercayaan dari masyarakat terhadap Firli dalam kedudukannya sebagai Ketua KPK dan setidaknya berpengaruh juga pada pimpinan KPK. Karena itu, Firli dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman.
Seusai dibacakan putusan, Firli memohon maaf kepada seluruh masyarakat Indonesia yang mungkin tidak nyaman dengan perbuatannya. ”Saya nyatakan putusan saya terima. Saya pastikan, saya tak akan mengulangi. Terima kasih,” kata Firli.
Seusai sidang, Firli menghindari wartawan yang ingin meminta tanggapannya terkait dengan putusan tersebut. Firli keluar dari pintu belakang.
Pendalaman
Saat keluar dari ruang sidang, Boyamin menghormati keputusan dari Dewan Pengawas KPK. Namun, ia akan mendalami adanya dugaan gratifikasi pada kasus ini. Sebab, pada November 2019, harga sewa helikopter yang digunakan Firli mencapai ratusan juta untuk dua hari.
Adapun Firli hanya dikenai biaya sewa Rp 7 juta per jam sehingga dia hanya perlu membayar Rp 14 juta karena menyewa selama dua jam untuk perjalanan dari Palembang ke Baturaja dan sebaliknya. Total, Firli dikenai biaya sewa Rp 28 juta, belum termasuk pajak karena juga menggunakan helikopter tersebut untuk perjalanan dari Palembang ke Jakarta.
Boyamin akan mencoba mendalami kemungkinan ada diskon yang diberikan oleh pihak penyedia jasa penerbangan. Sejauh ini, laporannya kepada Dewan Pengawas KPK terkait dengan dugaan hidup mewah yang dilakukan Firli. Sebab, ia belum bisa mencari barang bukti terkait diskon tersebut.
Sejak awal ia berharap Dewan Pengawas mendalaminya. Apalagi, diduga ada konflik kepentingan karena pemilik helikopter yang disewa Firli diduga berhubungan dengan orang yang berperkara di KPK.
Dalam konferensi pers seusai sidang, Tumpak menegaskan, Dewan Pengawas sudah melakukan klarifikasi dan tidak terbukti ada diskon yang diberikan pihak penyedia jasa penerbangan. Dewan Pengawas tak memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan hanya mengadili yang berhubungan dengan kode etik.
Secara terpisah, peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, mempertanyakan kredibilitas putusan pelanggaran kode etik yang dijatuhkan Dewan Pengawas kepada Firli. Menurut Kurnia, tindakan Firli menggunakan moda transportasi mewah semestinya masuk pada unsur untuk diberikan sanksi berat berupa rekomendasi agar mengundurkan diri sebagai pimpinan KPK.
”Putusan Dewas (Dewan Pengawas) terhadap Firli sulit untuk mengangkat reputasi KPK yang kian terpuruk. Sebab, sanksi ringan itu bukan tidak mungkin akan jadi preseden bagi pegawai atau pimpinan KPK lainnya atas pelanggaran sejenis,” kata Kurnia.
Ia menjelaskan, berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam Peraturan Dewan Pengawas Nomor 2 Tahun 2020, praktis tidak ada konsekuensi apa pun atas sanksi ringan. Mereka yang mendapatkan sanksi tersebut hanya tidak dapat mengikuti program promosi, mutasi, rotasi, tugas belajar atau pelatihan, baik yang diselenggarakan di dalam maupun di luar negeri. Sanksi ringan berupa teguran tertulis II memiliki masa berlaku hukuman selama enam bulan.