Kewenangan penyadapan kejaksaan hanya dalam koridor hukum pidana. Penyadapan dalam ranah ketertiban umum bukan tugas kejaksaan.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Kewenangan penyadapan dalam Rancangan Undang-Undang Kejaksaan didorong dilakukan hanya dalam koridor hukum pidana. Jika di luar koridor itu, penyadapan rentan disalahgunakan demi kepentingan tertentu di luar penegakan hukum, termasuk kepentingan politik.
Aturan tentang penyadapan di luar koridor hukum pidana tertera pada Pasal 30 Ayat (5) Huruf (g) Rancangan Undang- Undang (RUU) Kejaksaan. Pasal itu berbunyi, ”Di bidang ketertiban dan ketenteraman umum, Kejaksaan melakukan penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan guna mendukung kegiatan dan kebijakan penegakan hukum yang meliputi penyadapan dan menyelenggarakan pusat monitoring”. RUU Kejaksaan merupakan inisiatif DPR.
Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, Agustinus Pohan, mengatakan, penyadapan pada dasarnya merupakan upaya paksa dalam sistem peradilan pidana. Karena itu, tidak tepat jika penyadapan diatur untuk konteks lain di luar pidana. Penyadapan untuk menjamin ketertiban umum sebagaimana diatur di dalam RUU Kejaksaan, misalnya, sangat berbahaya karena tidak jelas tujuannya apa.
”Itu jelas melanggar hak asasi manusia. Untuk apa penyadapan dilakukan untuk ketertiban umum? Penyadapan itu kan perbuatan yang melanggar hukum dan HAM (hak asasi manusia), dan karenanya harus ada koridor yang jelas, yakni untuk tujuan penegakan hukum. Misalnya di dalam penyidikan, penyadapan untuk mencari bukti,” kata Pohan.
Bahkan, menurut dia, tidak tepat kejaksaan memiliki kewenangan penyadapan, termasuk dalam kasus korupsi. Sebab, fungsi jaksa sebagai penuntut umum adalah penegak hukum yang membawa perkara ke pengadilan. Selain itu, karena kemampuan polisi dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang juga memiliki kewenangan penyadapan dinilai sudah baik dalam menyidik kasus korupsi.
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan, secara historis dan universal, kejaksaan bagian dari sistem peradilan pidana. Di mana-mana di dunia, perannya adalah dalam penegakan hukum. Kewenangan penyadapan dalam ranah ketertiban umum pun menjadi janggal karena semestinya itu bukan tugas kejaksaan.
”Ada lembaga yang melakukan tugas ketertiban umum, seperti kepolisian. Tidak mungkin juga kejaksaan menertibkan PKL atau keramaian dan lalu menyadap para pedagang. Itu aneh sekali. Untuk keperluan apa penyadapan dilakukan. Kalau alasannya untuk intelijen, sudah ada Badan Intelijen Negara (BIN),” kata Fickar.
Penyadapan oleh kejaksaan pun, ditekankannya, harus tetap atas izin dari pengadilan. Izin dari pengadilan itu penting untuk menegaskan penyadapan atau perbuatan melanggar hukum itu dilakukan untuk kepentingan penegakan hukum, bukan kepentingan lain.
”Menyadap bagian dari upaya paksa, sama dengan penangkapan, penahanan, dan penggeledahan, itu upaya paksa. Mestinya dia harus mendapatkan izin pengadilan karena ini kewenangan yang tidak bisa diberikan sewenang-wenang. Oleh sebab itu harus mendapatkan izin dari kekuasaan kehakiman,” ujarnya.
Pengawasan kejaksaan
Di samping isu penyadapan yang banyak mendapatkan sorotan, isu tentang pengawasan kejaksaan juga menjadi perhatian Badan Legislasi (Baleg) DPR dalam rapat harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU Kejaksaan.
Anggota Baleg DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Zainuddin Maliki, mengatakan, penguatan kewenangan kejaksaan menjadi harapan fraksinya.
Namun, di samping penguatan itu mesti pula diimbangi dengan pengawasan yang ketat. Tanpa adanya pengawasan, kewenangan yang kuat itu rentan disalahgunakan.
”Pengawasan itu juga untuk memastikan kejaksaan dapat menjalankan fungsi sebaik-baiknya dan profesional. Jangan sampai kejaksaan diintervensi atau dimanfaatkan kekuatan oligarki, pemodal. Bahkan digunakan rezim berkuasa untuk kepentingan pemerintah,” katanya.
Bisa diubah
Ketua Komisi III DPR Herman Herry mengatakan, draf RUU Kejaksaan yang ada saat ini masih dapat diubah atau diperbaiki sesuai dengan masukan dari fraksi-fraksi ataupun Baleg DPR.
Berdasarkan tata tertib DPR, setelah hasil laporan Panitia Kerja (Panja) Baleg DPR yang melakukan harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU Kejaksaan, Komisi III DPR akan rapat internal untuk membahas hasil laporan tersebut.
”Setiap fraksi akan diberikan ruang untuk memberikan masukan sekaligus penyempurnaan terhadap substansi-substansi draf RUU Kejaksaan ini. Jika diperlukan, Komisi III juga akan meminta masukan dari ahli/pakar untuk menyempurnakan draf ini sebelum dikirim ke presiden,” ujarnya.
Herman mengatakan, ia berharap pembahasan RUU Kejaksaan ini dapat dilakukan secara profesional dan akuntabel. Sebab, perubahan pada RUU Kejaksaan akan berpengaruh pada sistem peradilan pidana secara luas. ”Komisi III sebagai mitra kerja aparat penegak hukum pastinya akan berhati-hati dalam membahas RUU Kejaksaan ini,” ujarnya.
Secara terpisah, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Hari Setiyono ataupun Kepala Biro Hukum Kejagung Asep Nana M, ketika dihubungi, tidak bersedia berkomentar mengenai kewenangan penyadapan tersebut.