Saat Calon Tunggal Jadi ”Jurus Sakti” Menangi Pilkada
Strategi ”borong partai” sehingga hanya ada satu pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah semakin menjadi-jadi dalam Pilkada 2020. Calon tunggal seolah menjadi jurus sakti memenangi pilkada.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO / PRAYOGI DWI SULISTYO
·5 menit baca
Hingga menjelang penutupan pendaftaran pasangan calon dalam Pilkada Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, Minggu (6/9/2020), Partai Nasdem tak kunjung menyatakan dukungan kepada pasangan bakal calon wali kota dan wakil wali kota Rahmad Mas’ud dan Tohari Aziz. Nasdem memilih ”ditinggalkan” ketimbang mengusung bakal calon petahana.
Nasdem harus menerima kenyataan kadernya, Ahmad Basir, tak bisa maju hanya mengandalkan kursi Nasdem di DPRD Balikpapan. Nasdem harus berkoalisi agar syarat pencalonan terpenuhi, yaitu minimal 20 persen dari total kursi DPRD atau 25 persen suara sah pemilu. Karena di DPRD Balikpapan ada 45 kursi, satu pasangan calon (paslon) butuh minimal sembilan kursi.
Delapan partai politik berkoalisi mengusung pasangan Rahmad-Tohari. ”Kami tidak bisa apa-apa karena kami hanya ada tiga kursi,” ujar Ketua Badan Pemenangan Pemilu Kalimantan DPP Partai Nasdem Syarif Abdullah Alkadrie.
Di Pematang Siantar, Sumatera Utara, paslon Asner Silalahi dan Susanti Dewayani didukung delapan parpol. ”Sejak awal saya berkomunikasi dan melakukan lobi ke semua partai politik. Pertarungan politik itu, kan, adu strategi. Ini strategi saya,” kata Asner.
Dia mengatakan sejak awal menyiapkan langkah memborong dukungan parpol guna mengalahkan petahana tanpa harus bertarung di akar rumput. Adapun Wali Kota Pematang Siantar Hefriansyah Noor tak mendapat dukungan parpol sehingga tidak bisa kembali mencalonkan diri.
Di Kabupaten Kediri, Jawa Timur, Hanindhito Himawan Pramono dan Dewi Mariya Ulfa juga dipastikan akan melawan kotak kosong dalam pilkada. Hanindhito, putra dari Sekretaris Kabinet Pramono Anung, memborong semua rekomendasi partai pemilik kursi di DPRD Kediri.
Hal serupa juga terjadi di Kota Semarang, Jawa Tengah. Semua partai pemilik kursi DPRD Semarang sepakat mengusung Hendrar Prihadi dan Hevearita Gunaryanti Rahayu, yang merupakan petahana dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto menjelaskan, pengusungan pasangan calon tunggal dari kader PDI-P dianggap resultan dari beberapa hal. Pertama, paslon diterima masyarakat karena kinerja dan rekam jejaknya. Kedua, paslon berasal dari daerah basis yang secara kultural selalu dimenangi partai.
Di Kediri, misalnya, kata Hasto, sejak Pemilu 1955, daerah itu dimenangi Partai Nasional Indonesia (PNI). Kediri diklaim menjadi basis kekuatan nasionalis Soekarnois.
”Selama ini, kepala daerahnya juga dari PDI-P. Dan, berdasarkan survei, kekuatan PDI-P sangat solid,” katanya.
Dalam setiap pilkada, katanya, PDI-P berusaha agar calon yang diusung berasal dari partai sendiri. Ia menyebut ini sebagai proses pendidikan politik dan kaderisasi kepemimpinan yang dilakukan partai secara sistemik dan berjenjang.
Meski mengusung kader sendiri, menurut Hasto, komunikasi politik antarpartai tetap harus dilakukan karena itu merupakan salah satu fungsi utama parpol.
”Ketika menerima dukungan dari partai lain, kami berterima kasih. Partai membangun kerja sama sebagai penjabaran semangat gotong royong,” ucap Hasto.
Kota Balikpapan, Pematang Siantar, Kabupaten Kediri, dan Kota Semarang hanya sebagian kecil dari fenomena paslon tunggal dalam Pilkada 2020. Hasil olah data KPU yang dilakukan Litbang Kompas hingga Minggu pukul 10.00, diperkirakan ada 28 pasangan calon tunggal, yaitu dari 23 kabupaten dan lima kota. Angka ini masih berpotensi bertambah.
Potensi calon tunggal dalam Pilkada 2020 melonjak dibandingkan pada tiga gelombang pilkada sebelumnya. Dalam Pilkada 2015 hanya ada tiga pasangan calon tunggal. Dalam Pilkada 2017 ada sembilan pasangan. Adapun dalam Pilkada 2018, jumlahnya menjadi 16 paslon tunggal.
Dengan kenaikan tajam paslon tunggal dalam Pilkada 2020, anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Titi Anggraini, melihat, calon tunggal hanya menjadi cara pengamanan kemenangan. Calon berupaya memastikan kemenangan dengan memborong dukungan.
Dalam Pilkada 2015-2018 ada 28 calon tunggal dan hanya satu yang kalah, yakni di Makassar, Sulawesi Selatan. Calon tunggal itu kalah karena ada kekuatan petahana yang berada di kolom kosong. Karena itu, alasan mengamankan kemenangan sejak awal dengan menghindari kompetisi melawan kontestan lain menjadi lebih dominan daripada alasan kinerja.
Di beberapa daerah, calon tunggal memiliki kinerja cukup baik, seperti di Semarang. Di kota itu, hampir semua pihak mengakui, kinerja petahana cukup baik. Meskipun demikian, jika partai politik bersandar pada pilkada sebagai salah satu medium menguji eksistensi partai, mereka seharusnya tetap berupaya mengedepankan calonnya.
Selain itu, kontribusi pencalonan ditentukan oleh pimpinan pusat parpol sehingga ada calon tunggal yang sebenarnya tak bisa menjadi calon tunggal jika aspirasi partai di daerah didengar.
Mencederai demokrasi
Titi mengatakan, calon tunggal bisa mencederai demokrasi karena mayoritas calon tunggal memborong dukungan. Hal tersebut menimbulkan kekhawatiran melemahkan fungsi kontrol DPRD terhadap kinerja eksekutif. Padahal, DPRD seharusnya berfungsi sebagai penyeimbang yang mewakili suara rakyat.
Calon tunggal juga memperlihatkan bahwa kaderisasi di partai tidak berjalan. Orientasi partai hanya menang. Jika partai melihat pilkada sebagai sarana kaderisasi dan promosi rekrutmen kader, mereka akan mengusung calon.
Praktik mahar politik diduga turut serta berpengaruh terhadap munculnya calon tunggal. Sebab, ada kecenderungan seorang calon kesulitan mendapatkan dukungan partai karena rumor adanya permintaan sejumlah dana dengan dalih untuk biaya menggerakkan mesin partai demi pemenangan calon.
Calon tunggal juga menyebabkan partai kecil tidak bisa mewarnai kompetisi karena suara yang mereka miliki tidak memadai untuk mengusung calon sendiri. Di beberapa daerah, partai-partai kecil yang tidak punya kemampuan mengusung calon karena tidak dapat memenuhi persyaratan mendorong gerakan untuk memilih kolom kosong.
Sementara itu, pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity, Hadar Nafis Gumay, menilai, peningkatan jumlah calon tunggal diakibatkan ambang batas pencalonan yang terlalu tinggi. Hal itu membuat parpol berkoalisi untuk mengusung satu calon yang sudah dipastikan kemenangannya.
”Sangat disayangkan, politisi dan parpol kadang mau ambil gampangnya saja. Mereka juga banyak yang enggak menyiapkan kadernya sehingga pada saat giliran pencalonan, mereka kebingungan sendiri. Jadi, daripada enggak berhasil, mereka bergabung,” ujar Hadar.
Menurut Hadar, salah satu jalan keluar yang bisa ditempuh adalah merevisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada atau mengajukan uji materi UU itu ke Mahkamah Konstitusi. Substansi yang direvisi, di antaranya menurunkan ambang batas pencalonan. Namun, penurunan ambang batas tidak cukup. Revisi UU juga harus mengatur paslon lebih dari satu.
”Seperti pemilihan presiden, enggak boleh sampai enggak ada calon lain,” katanya.
Lantas, bagaimana respons pemilih terhadap paslon tunggal kali ini? Apakah kotak kosong bisa menang lagi?