Peretasan terhadap situs berita Tempo dinilai sebagai gangguan dan ancaman terhadap kebebasan pers. Kasus ini juga menegaskan perlunya perlindungan negara terhadap pers
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kasus peretasan terhadap situs berita Tempo.co merupakan pelanggaran terhadap hak kebebasan berpendapat. Peretasan ini bisa mengganggu demokrasi yang ada di Indonesia. Jika dibiarkan, peretasan ini akan dialami oleh perusahaan media massa lainnya.
Pada Jumat (21/8/2020) dini hari, situs berita Tempo.co mengalami peretasan. Pemimpin Redaksi Tempo.co Setri Yasa mengungkapkan, peristiwa tersebut terjadi pukul 00.00 dengan diawali situs tidak bisa diakses dan muncul layar putih.
Selanjutnya, muncul lagu Gugur Bunga dan tulisan “Stop Hoax, Jangan Bohongi Rakyat Indonesia, kembali ke etika jurnalistik yang benar patuhi dewan pers. Jangan berdasarkan orang yang bayar saja”. Pada pukul 01.24 situs berita Tempo.co dapat pulih, tetapi pukul 02.26 diserang kembali. Lima menit kemudian, tim dari Tempo.co sudah bisa mengambil alih dari aksi peretasan.
“Tindakan peretasan ke Tempo.co adalah pembungkaman kebebasan pers. Ini sinyal untuk semua. Mungkin sekarang Tempo, nanti yang lain bisa kena. Peretasan ini merupakan tindak pidana karena (pers) dilindungi undang-undang,” kata Setri dalam diskusi daring yang diselenggarakan oleh Populi Center dan Smart FM Network, Sabtu (22/8).
Selain Setri, pembicara dalam diskusi tersebut, yakni Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Nasihin Masha, Guru Besar Ilmu Komuniksasi UI Ibnu Hamad, dan Direktur Eksekutif Komunikonten Hariqo Wibawa Satria.
Setri menduga peretasan ini terjadi karena pemberitaan Tempo.co dan Koran Tempo terkait influencer yang mengkampanyekan omnibus law. Sejak memberitakan tema tersebut, mereka sering diserang melalui media sosial. Bahkan, kejadian peretasan yang dialami oleh Tempo.co juga dimunculkan di media sosial.
Menurut Setri, peretasan ini dilakukan sebagai pesan untuk menakuti-nakuti. Akan tetapi, Setri menegaskan, mereka tetap akan memberitakan apa yang ada di lapangan.
Serangan terhadap Tempo.co dilakukan secara sistematis dengan target agar terjadi pro dan kontra
Hariqo mengungkapkan, serangan terhadap Tempo.co dilakukan secara sistematis dengan target agar terjadi pro dan kontra. Sebab, dari kolom komentar yang muncul di pemberitaan terkait peretasan ini terlihat sejumlah pesan yang sama dari akun palsu.
Akun palsu tersebut menjadi sebuah organisasi yang bertujuan untuk menghancurkan pihak yang tidak disukai atau mendukung pihak yang disukai. Mereka pada umumnya menggunakan layanan robot untuk menuliskan pesan di kolom komentar yang tersedia di media daring dan media sosial.
Nasihin Masha menegaskan, kasus peretasan ini menjadi persoalan serius yang menyangkut kebebasan pers yang bisa mengancam demokrasi. Sebab, pers merupakan kelengkapan dari demokrasi. “Peretasan ini masuk dalam wilayah pidana. Aparat harus turun tangan,” ujarnya.
Ia menegaskan, pers berbeda dengan media sosial karena tujuan dari pers adalah mencapai kebenaran. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka harus ada pencarian fakta yang memerlukan etika. Pers berbeda dengan media sosial yang seringkali digunakan untuk propaganda.
Pers berbeda dengan media sosial karena tujuan dari pers adalah mencapai kebenaran. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka harus ada pencarian fakta yang memerlukan etika.
Di dalam media sosial, fakta bisa disembunyikan, sehingga menyebabkan keresahan. Propaganda memiliki tendensi ke arah kekuasaan yang bisa memecah persatuan dan kesatuan.
Ibnu Hamad mengatakan, Indonesia menganut demokrasi. Salah satu mekanisme dalam negara demokrasi adalah menerima kritikan yang ada.
Kritik yang ada di media biasanya merupakan pengungkapan fakta untuk menjelaskan duduk perkara. Pers memiliki kode etik jurnalistik yang tidak ada pada pendengung. Karena itu, perlu ada perlindungan dari negara terhadap pers.
Secara terpisah, Anggota Dewan Pers Agus Sudibyo menegaskan, peretasan ini merupakan gangguan dan ancaman terhadap kebebasan pers. Sebaiknya Tempo menempuh jalur hukum sebab pelakunya belum diketahui.
Ia menyarankan kepada Tempo untuk menempuh jalur hukum agar menjadi pelajaran. “Biar penegakan hukum berjalan untuk kasus-kasus dimana korbannya adalah non pemerintah,” kata Agus.
Kompas sudah berusaha meminta tanggapan Juru bicara Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Anton Setyawan dan Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Raden Prabowo Argo Yuwono terkait kasus peretasan ini, tetapi tidak ditanggapi.