Potensi Penyalahgunaan Kewenangan Selalu Ada di MK
Potensi penyalahgunaan kewenangan, baik dengan cara memperdagangkan perkara maupun pengaruh, selalu ada di Mahkamah Konstitusi. Penguatan kelembagaan dan Dewan Etik MK diperlukan untuk mengantisipasi hal tersebut.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Genap berusia 17 tahun, potensi penyalahgunaan kewenangan tak bisa dimungkiri selalu membayangi Mahkamah Konstitusi. Penguatan kelembagaan pengawal konstitusi ini masih menjadi kebutuhan, meliputi standardisasi mekanisme seleksi hakim konstitusi dan pengaturan Dewan Etik Mahkamah Konstitusi.
Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani melalui keterangan tertulis yang diterima Kompas, Selasa (18/8/2020), mengatakan, pembelajaran dari 17 tahun MK menunjukkan bahwa kelembagaan pengawal konstitusi ini bukanlah institusi yang memiliki imunitas tinggi untuk terjangkit penyakit korupsi atau pelanggaran etik.
Kelembagaan pengawal konstitusi ini bukanlah institusi yang memiliki imunitas tinggi untuk terjangkit penyakit korupsi atau pelanggaran etik.
Praktik penyalahgunaan kewenangan pernah dilakukan Akil Mochtar (2013) dan Patrialis Akbar (2017). Pelanggaran etik juga dialami oleh Arief Hidayat sesuai putusan Dewan Etik pada 11 Januari 2018.
”Selalu ada potensi penyalahgunaan kewenangan, baik dalam bentuk memperdagangkan perkara maupun dugaan memperdagangkan pengaruh,” ujar Ismail.
Oleh karena itu, menurut Ismail, penguatan kelembagaan MK masih menjadi kebutuhan, baik melalui perubahan Undang-Undang MK oleh DPR dan Presiden maupun oleh MK sendiri. Hal ini bertujuan untuk membangun disiplin berpikir yang berorientasi pada penguatan kualitas putusan dan penguatan dukungan bagi hakim-hakim MK.
”MK adalah justice office. Justice office mengandaikan bahwa setiap hakim konstitusi memiliki supporting system yang terdiri dari sosok-sosok yang ahli di bidang hukum ketatanegaraan dan ahli multidispilin ilmu,” kata Ismail yang juga pengajar Hukum Tata Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Ismail menjelaskan, ada dua hal penguatan MK melalui perubahan UU MK. Pertama, standardisasi mekanisme seleksi hakim konstitusi untuk memastikan akuntabilitas dan transparansi dalam pemilihan hakim konstitusi oleh setiap lembaga.
Kedua, penguatan pengaturan Dewan Etik MK. Secara khusus, ini bisa mengadopsi aspirasi tentang pentingnya external oversight committee (komite pengawas eksternal) sebagaimana pernah diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua UU MK. Usulan tersebut merespons penangkapan Akil Mochtar pada 2013, tetapi kemudian dibatalkan sendiri oleh MK.
Selama 17 tahun menjalankan kewenangan pengujian konstitusionalitas UU, Ismail melanjutkan, MK dan hakim-hakim konstitusi belum memiliki paradigma dan mazhab pemikiran yang bisa dikenali dan dipelajari melalui putusan-putusannya. Sebaliknya, lembaga negara pengawal konstitusi ini justru melakukan inkonsistensi dalam sejumlah putusan.
”Dalam praktiknya, MK mengamputasi norma yang telah dibuatnya sendiri pada putusan sebelumnya. Namun, beberapa tahun kemudian, MK justru memutuskan untuk kembali menghidupkan norma yang pernah diamputasi sendiri. Dalam kasus lain, MK justru enggan menyentuh hal-hal yang bersifat politis. Padahal, di situlah ujian sesungguhnya integritas hakim MK,” tutur Ismail.
Selama 17 tahun menjalankan kewenangan pengujian konstitusionalitas UU, MK dan hakim-hakim konstitusi belum memiliki paradigma dan mazhab pemikiran yang bisa dikenali dan dipelajari melalui putusan-putusannya.
Berdasarkan catatan Kompas pada 21 Februari 2014, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Padang Saldi Isra mengatakan, Perppu No 1/2013 yang ditetapkan dengan UU No 4/2014 substansinya jelas bertujuan menjaga MK sebagai sebuah institusi. Upaya menjaga ini didesain begitu rupa, mulai dari pembenahan persyaratan menjadi hakim konstitusi, melakukan proses seleksi yang transparan dan akuntabel, sampai menjaga perilaku hakim konstitusi dengan membentuk Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) bersifat permanen.
”Yang paling menyedihkan, upaya membentuk MKHK yang permanen juga kandas dalam Putusan MK No 1-2/PUU-XII/2014. Padahal, MKHK amat diperlukan untuk menjaga integritas dan kepribadian yang tak tercela hakim konstitusi,” ujar Saldi Isra yang saat itu belum menjadi hakim konstitusi. Saldi dilantik Presiden Joko Widodo menjadi hakim konstitusi dari unsur pemerintah pada 11 April 2017.
Ia mengungkapkan, bagaimanapun, dengan luas wewenang yang dimiliki MK, lembaga penjaga kode etik, menjadi kebutuhan yang mendesak. Jika tidak, pengalaman Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi dan Akil Mochtar sangat mungkin terulang kembali.
”Dengan pembatalan UU No 4/2014, upaya menjaga MK secara sistematis dari hulu sampai hilir sulit diwujudkan. Karena itu, ketika desain perbaikan tertolak palu hakim, kita tetap harus berpikir keras menjaga dan merawat MK sebagai institusi. Apabila harus memilih, penyelamatan MK jauh lebih lebih penting daripada penyelamatan hakim konstitusi,” katanya.
Kualitas putusan
Dari kajian Setara Institute, sepanjang periode 10 Agustus 2019 hingga 18 Agustus 2020, MK mengeluarkan 75 putusan pengujian UU. Sebanyak 4 putusan di antaranya adalah putusan kabul, 27 putusan tolak, 32 putusan tidak dapat diterima, 10 produk hukum yang berbentuk ketetapan, dan 2 putusan gugur.
Dari 75 putusan pengujian UU tersebut, secara garis besar dikategorikan pada kluster isu hak sipil dan politik terdapat 23 putusan, isu hak ekonomi, sosial dan budaya sebanyak 13 putusan, serta 39 putusan dikategorikan sebagai isu rule of law.
Setara Institute memberikan tone positif pada 5 putusan (3 putusan kabul dan 2 putusan tolak), tone negatif tidak ada, dan selebihnya sebanyak 70 putusan lainnya diberikan tone netral (1 putusan kabul, 25 putusan tolak, 32 putusan tidak dapat diterima, 10 ketetapan, dan 2 putusan gugur).
Putusan-putusan dengan tone positif pada periode riset ini, di antaranya, mempersoalkan isu yang sama, yakni terkait potensi krisis legitimasi pemilihan presiden-wakil presiden, pemaknaan kembali frasa ”kekuatan eksekutorial” dan ”cedera janji” dalam UU Jaminan Fidusia, menolak upaya dekriminalisasi koruptor di Badan Usaha Milik Negara (BUMN), menyelematkan potensi krisis legitimasi pemilihan presiden 2019, serta mengembalikan syarat calon kepala daerah berintegritas.