Gerakan Perempuan Sepanjang Jalan
Kiprah perempuan dalam perjuangan kemerdekaan tak bisa dipandang sebelah mata. Tak sedikit tokoh perempuan turut mewarnai jatuh bangunnya negeri. Kini, 75 tahun usai merdeka, kaum ini bergulat dengan isu konservatisme.
Tak diragukan lagi, peran perempuan dalam sejarah RI. Sejak era kolonialisme, pahlawan perempuan muncul di sejumlah daerah. Ada Cut Nyak Dien dari ujung barat Indonesia. Nyi Ageng Serang di Jawa Barat, RA Kartini di Jawa Tengah, hingga Martha Christina Tiahahu di timur Indonesia.
Di era kebangkitan nasional juga banyak lahir perkumpulan perempuan, seperti Aisyiyah, Wanita Katolik, dan Putri Merdeka. Hal ini membuktikan bahwa gerakan perempuan di Indonesia tumbuh seiring dengan munculnya gerakan pemuda Budi Utomo, 1908.
Pada era sebelum kemerdekaan, gerakan perempuan lebih banyak mengusung semangat nasionalisme.
Dalam jurnal ”Rekam Jejak Perempuan Indonesia” terbitan Arsip Nasional RI tahun 2012 disebutkan, pada era sebelum kemerdekaan, gerakan perempuan lebih banyak mengusung semangat nasionalisme. Kongres Wanita Indonesia yang digelar pada 22-25 Desember 1928, misalnya, menyatukan perempuan Indonesia dalam satu perhimpunan. Kongres Wanita Indonesia disebut-sebut sebagai tonggak sejarah pergerakan perempuan Indonesia.
Di balik keberhasilan kongres itu, ada beberapa sosok inti, yakni Nyonya Soekonto, Nyi Hadjar Dewantara, dan Nona Soejatin. Nyonya Soekonto, istri dr Soekonto, aktif dalam pergerakan ”wanito utomo”. Adapun Nyi Hadjar Dewantara adalah istri Soewardi Surjaningrat atau Ki Hadjar Dewantara, yang lebih dulu aktif di Taman Siswa.
Baca juga : Perempuan-perempuan Kreatif Penakluk Kebosanan Saat Pembatasan Sosial
Aktivis dan ahli kajian jender Lies Marcoes Natsir mengatakan, sebelum penjajah datang ke Indonesia, masyarakat agraris Nusantara sebenarnya sudah memiliki konsep kesetaraan jender. Masyarakat agraris memiliki pembagian kerja yang cair dan egaliter. Tidak ada subordinasi atau domestifikasi peran perempuan. Namun, kondisi berbeda ada di lingkungan kerajaan di Jawa, yang kemudian bertemu dengan budaya aristokrat Victorian yang dibawa penjajah dari Eropa.
”Setelah masuk era kolonial, perempuan makin terkungkung atas nama budaya oleh laki-laki. Pandangan yang menyubordinasi perempuan seperti itu bertemu dengan budaya kolonialisme yang datang dengan budaya Kristen dan aristokrat era Victorian yang mengglorifikasi peran perempuan sebagai ibu rumah tangga,” kata Lies, Kamis (13/8/2020).
Sebelum penjajah datang ke Indonesia, masyarakat agraris Nusantara sebenarnya sudah memiliki konsep kesetaraan jender.
Pada awal abad ke-19, gerakan buruh dan feminisme muncul di Eropa, tepatnya di Inggris. Gerakan itu meluas, termasuk ke Belanda. Golongan feminis dari partai sosialis atau kelompok buruh ini sangat keras melawan penjajahan. Di antara mereka, ada yang berkomunikasi dengan RA Kartini dan membicarakan ide-ide emansipasi.
”Terjadilah perjumpaan perempuan terdidik feminis sosialis dengan Kartini. Mulai terpikir tentang pentingnya pendidikan perempuan di Indonesia,” kata Lies.
Baca juga : Kartini Masa Kini di Tengah Pandemi
Sejak era itu, upaya pemajuan perempuan dimulai. Salah satunya melalui pendidikan sebagai parameter penting keberhasilan perjuangan perempuan. Di era kolonial, gagasan feminisme dihadirkan melalui pendidikan. Hal-hal spesifik juga mulai dibahas, yaitu perkawinan paksa, perkawinan anak, dan perdagangan manusia. Praktik perdagangan manusia paling banyak terjadi di perkebunan.
Di awal kemerdekaan, menurut Lies, situasinya sebenarnya sudah maju. Perempuan dilibatkan untuk menghentikan kolonialisme. ”Sejak awal kemerdekaan, perempuan tak mengalami diskriminasi politik karena sudah masuk jajaran kabinet pemerintahan, yaitu Maria Ulfah Santoso,” ujar Lies.
Di awal kemerdekaan, situasinya sebenarnya sudah maju. Perempuan dilibatkan untuk menghentikan kolonialisme.
Di awal kemerdekaan, isu partisipasi perempuan dalam politik tidak menjadi agenda utama. Sebab, perempuan sudah terlibat aktif. Bung Karno dan Bung Hatta memberi ruang dan menjadi kolega baik dalam mendukung partisipasi perempuan.
Baca juga : Peran Perempuan Menguat
Domestifikasi
Situasi jadi lebih sulit pada masa transisi rezim 1965-1969. Perempuan menjadi korban pertentangan kutub politik sosialis, nasionalis, dan Islam. Saat rezim Soekarno jatuh, RI mengalami tragedi luar biasa, dan gerakan perempuan memasuki fase peralihan.
”Di masa peralihan rezim itu, RI kehilangan lapisan menengah aktivis perempuan yang seharusnya menjadi fondasi negeri ini, itu habis. Akhirnya, aktivis perempuan dari faksi lainnya kehilangan partner dan tunduk pada rezim Orde Baru,” kata Lies.
Pemerintahan Orba kemudian membatasi ruang gerak perempuan dengan ideologi militer yang bertemu dengan aristokrat Jawa. Kedua ideologi itu tidak memberikan ruang ekspresi bebas kepada perempuan. Akhirnya, yang muncul PKK dan Dharma Wanita. Gerakan itu mengampanyekan bahwa perempuan baik adalah ibu rumah tangga pendamping suami.
Gerakan perempuan kemudian bangkit lagi di masa reformasi 1998. Saat itu muncul aktivis Karlina Supelli dan Gadis Arivia yang memelopori gerakan Suara Ibu Peduli. Gerakan yang berkamuflase dalam gerakan susu dan ibu-ibu itu paling awal menyuarakan tuntutan perubahan.
Gerakan perempuan kemudian bangkit lagi di masa reformasi 1998. Gerakan yang berkamuflase dalam gerakan susu dan ibu-ibu itu paling awal menyuarakan tuntutan perubahan.
Pendiri Yayasan Jurnal Perempuan, Gadis Arivia, dalam jurnal ”Sejarah Suara Ibu Peduli (SIP) adalah Sejarah Pergerakan Feminis” menyebutkan, secara diam-diam SIP mendiskusikan wacana kekerasan terhadap perempuan serta implikasinya terhadap demokrasi dan HAM.
Melalui kamuflase agenda aerobik, SIP juga merancang demonstrasi untuk menghadapi pemerintahan Orba. Ide susu dipakai karena pada masa itu terjadi kelangkaan dan kenaikan harga susu bayi. Susu lalu dipakai sebagai ”tanda” untuk kamuflase pergerakan.
Setelah beberapa kali menggelar kegiatan penjualan susu murah, SIP turun ke lapangan berdemo di Bundaran Hotel Indonesia. Aksi itu tergolong berani karena rezim menerapkan siaga satu atau tembak di tempat bagi demonstran.
”Tanpa kami sadari, saat itu SIP memainkan politik representasi. Meskipun kami tidak suka dengan interpretasi ”ibu-ibu”, yang terpenting adalah substansinya bahwa kami memperjuangkan pentingnya demokrasi, hak asasi manusia, dan kebebasan menyatakan pendapat,” tulis Gadis Arivia.
Baca juga : Menembus Budaya Melalui Organisasi
Konservatisme
Setelah lebih dari 20 tahun reformasi, Kepala Pusat Riset Gender Sekolah Kajian Strategik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia Iklilah Muzayyanah mengatakan, RI maju pesat dalam gerakan perempuan. Aktivis dan gerakan perempuan sudah bisa berkolaborasi dengan pemerintah. Pemerintah tidak lagi dicap sebagai lawan.
”Pemenuhan hak-hak perempuan sekarang memiliki peluang yang sangat luas. Saya melihat ada banyak pihak yang turut berkontribusi menguatkan gerakan perempuan melalui ruang pengambilan keputusan yang sangat signifikan,” kata Iklilah.
Namun, menurut Iklilah, gerakan perempuan pascareformasi ini juga menghadapi tantangan berat. Tantangan itu adalah menguatnya ideologi konservatisme di masyarakat. Gerakan perempuan seolah akan dibawa mundur ke belakang. Ada banyak pihak yang ingin mengembalikan domestifikasi perempuan dengan isu agama.
Lies juga menyoroti masalah ini. ”Konservatisme berbahaya jika diintroduksi negara,” ujarnya.
Gerakan perempuan pascareformasi ini juga menghadapi tantangan berat. Tantangan itu adalah menguatnya ideologi konservatisme di masyarakat.
Oleh karena itu, Lies berpendapat, seharusnya organisasi massa dan aktivis perempuan progresif lebih tampil. Mereka adalah agen pembawa pandangan moderat. Agen-agen ini seharusnya diberi ruang yang cukup untuk bekerja melawan isu-isu konservatisme di masyarakat.
Anggota Komisi VIII DPR dari Partai Nasdem, Lisda Hendra Joni, juga mengakui hal itu. Di parlemen, ada sejumlah parpol yang masih berpandangan konservatif sehingga mempersulit proses regulasi yang memperjuangkan hak perempuan, seperti Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. RUU ini ditunggu karena menjadi regulasi komprehensif guna melindungi korban kekerasan seksual.
Sejarah membuktikan, peran perempuan RI begitu besar bagi peradaban. Alarm yang mengancam ruang partisipasi perempuan telah menyala. Jangan sampai peran perempuan di ruang publik meredup agar gerakan perempuan terus mengalir sepanjang jalan, seperti kasih abadi seorang ibu.
Baca juga : Perempuan Memberi Kontribusi Nyata