JAKARTA, KOMPAS — Di tengah kultur patriarki yang masih sangat kuat serta berbagai ancaman dan kekerasan, perempuan-perempuan terutama di akar rumput terus bangkit dan berdaya. Selain mendedikasikan diri di bidang kesehatan dan pendidikan di tingkat paling bawah, mereka aktif menyuarakan berbagai aspirasi, yang berhasil mendorong lahirnya berbagai peraturan dan kebijakan yang lebih sensitif dan responsif jender, serta berpihak pada perempuan.
Paska reformasi, gerakan perempuan di tingkat akar rumput menguat di berbagai bidang. Meski secara kuantitas masih sangat jauh dibandingkan laki-laki, saat ini semakin banyak perempuan di akar rumput yang menjadi pelopor, pemimpin dari tingkat desa hingga daerah dan nasional.
“Gerakan perempuan tidak terlepas dari sejarah perjalanan bangsa Indonesia sejak masa kolonial. Sosok perempuan yang bergerak di akar rumput sekarang merupakan produk dari sebuah proses pendidikan kritis yang dilakukan oleh gerakan perempuan pada akhir masa orba dan awal reformasi,” ujar Mia Siscawati, pengajar Program Studi Kajian Gender Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia, Minggu (21/4/2019), di Bogor.
Sosok perempuan yang bergerak di akar rumput sekarang merupakan produk dari sebuah proses pendidikan kritis yang dilakukan oleh gerakan perempuan pada akhir masa orba dan awal reformasi.
Saat ini perempuan aktif mendorong perubahan kebijakan agar berpihak pada perempuan dan anak. Bahkan saat uji materi Undang-Undang Perkawinan terkait batas usia anak perempuan untuk menikah, perempuan akar rumput tampil langsung sebagai pemohon uji materi, didampingi Koalisi Perempuan Indonesia.
“Pemberdayaan perempuan di jaman orde baru bergeser. Dulu paradigmanya perempuan dilihat sebagai liyan (the other), sosok yang lemah, tidak berdaya. Tapi sekarang, perempuan tidak hanya mengadopsi kesetaraan jender tetapi juga bangkit,” kata Mia.
Dirasakan langsung
Kehadiran perempuan bisa dilihat dan dirasakan secara nyata di dalam kehidupan bermasyarakat. Di layanan pendidikan dasar. Dari Statistik Pendidikan Anak Usia Dini, pada 2016 disebutkan perempuan yang menjadi guru di tingkat pendidikan anak usia dini (PAUD) mencapai 299.195 orang di 105.005 lembaga. Data Himpunan Pendidik Dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini Indonesia (Himpaudi) ada 306.897 guru PAUD non formal yang tersebar di 240.000 PAUD.
Meskipun kontribusi perempuan di akar rumput sangat penting, kehadiran mereka tidak banyak mendapat apresiasi bahkan dianggap hal yang biasa. Misalnya guru PAUD non formal, dianggap masyarakat sebagai pendidikan bersifat rumahan karena bentuknya kelompok belajar, tempat penitipan anak, sekolah minggu, dan satuan PAUD sejenis. "Umumnya, guru-guru PAUD ini belum diperlakukan setara dengan guru sekolah formal," kata Ketua Umum Himpaudi Netti Herawati.
Di bidang kesehatan, ratusan ribu perempuan menjadi ujung tombak layanan kesehatan dasar, yakni kesehatan ibu dan anak, peningkatan gizi, imunisasi, layanan keluarga berencana, dan penanggulangan diare dengan menjadi kader Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu). Berdasarkan Profil Data Kesehatan Indonesia 2017 terdapat 294.428 posyandu.
Di luar itu, ada banyak perempuan di pedesaan/kelurahan yang aktif dalam bidang pertanian, lingkungan, budaya/hukum, pertanahan/kehutanan, kelautan, pertambangan, perburuhan, pekerja migran, disabilitas, masyarakat adat, serta menjadi perempuan penggerak perdamaian..
Paska reformasi kehadiran pemimpin perempuan di akar rumput meningkat, mencapai 4.855 orang pada tahun 2018. Itu belum termasuk, kepemimpinan perempuan di tingkat paling bawah seperti kepala dusun, ketua RT/RW dan pemimpin adat.
Paska reformasi kehadiran pemimpin perempuan di akar rumput meningkat, mencapai 4.855 orang pada tahun 2018.
Di Lombok Utara, NTB, misalnya, Saraiyah (47) dan ratusan ibu di Desa Sukadana, melalui Sekolah Perempuan tampil membela anak-anak perempuan di desanya, menembus benteng-benteng adat. Saraiyah menjadi perempuan pertama anggota Majelis Krama Desa (MKD) Sukadana.
Di Pulau Sabangko, Kabupaten Kepulauan Pangkeje, Sulawesi Selatan, Nurlina (28), perempuan nelayan bersama sekolah perempuan, akhir 2017 berhasil mendorong pemerintah untuk menghadirkan pembangkit listrik tenaga surya dan pos kesehatan desa.
"Bangkitnya kekuatan politik perempuan di akar rumput mungkin tidak masuk dalam angka statistik, seperti jabatan perempuan sebagai RT atau sekretaris desa, atau pemimpin komunitas dan lain-lain yang selama ini tidak diperhitungkan," ujar Nursyahbani Katjasungkana, Koordinator Nasional, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Indonesia. (Brigitta Iswora Laksmi/ Laraswati Ariadne Anwar/Haris Firdaus)