Keterlibatan oknum aparat penegak hukum dalam pelarian terpidana kasus dugaan korupsi pengalihan hak tagih Bank Bali Joko Tjandra jadi bukti masih kuatnya mafia hukum. Perlu tim independen bentukan Presiden mengatasi.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Terlibatnya sejumlah aparat penegak hukum dalam pelarian terpidana kasus dugaan korupsi pengalihan hak tagih atau cessie Bank Bali Joko Tjandra menjadi bukti masih kuatnya mafia hukum di Indonesia. Karena itu, dibutuhkan tim independen dari Presiden untuk memberantas mafia hukum tersebut.
Dalam kasus pelarian Joko Tjandra, saat ini Kejaksaan Agung telah menahan oknum jaksa Pinangki Sirna Malasari yang menjadi tokoh kunci. Sementara itu, di kepolisian ada tiga perwira yang terlibat.
Mereka adalah Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri Brigadir Jenderal (Pol) Prasetijo Utomo, Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte, dan Sekretaris NCB Interpol Indonesia Brigjen Nugroho Slamet Wibowo.
"Korupsi yang paling berat adalah korupsi politik. Sebab, korupsi politik dilakukan oleh oknum tertentu dengan menyalahgunakan kewenangannya sebagai politisi yang ada di parlemen. Biasanya mereka terlibat dalam kasus pemilihan pejabat, anggaran, pengawasan, dan lain-lain"
Pakar Hukum dan Mantan anggota Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, Mas Achmad Santosa, mengatakan, korupsi yang paling berat adalah korupsi politik. Sebab, korupsi politik dilakukan oleh oknum tertentu dengan menyalahgunakan kewenangannya sebagai politisi yang ada di parlemen. Biasanya mereka terlibat dalam kasus pemilihan pejabat, anggaran, pengawasan, dan lain-lain.
Korupsi terbesar kedua, yakni menyangkut mafia hukum. “Kasus Joko Tjandra ini adalah wujud dari kasus mafia hukum,” kata Achmad dalam webinar bertajuk “Grand Corruption dan Masa Depan Pemberantasan Korupsi di Indonesia”, yang diselenggarakan oleh Gerakan Anti Korupsi Lintas Perguruan Tinggi, Kamis (13/8/2020).
Hadir dalam diskusi ini, di antaranya Mantan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Erry Riyana Hardjapamekas; Ketua Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada Rimawan Pradiptyo; Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati; peneliti Indonesia Corruption Watch Kurnia Ramadhana; dan Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Danang Widoyoko.
Ia menjelaskan, dalam sejarah politik hukum di Indonesia, istilah mafia hukum pernah diangkat menjadi isu politik tingkat tinggi. Hal tersebut berangkat dari kasus "Cicak dan Buaya" jilid 1.
Adapun istilah mafia hukum memiliki definisi sebagai praktik menjual belikan atau menyalahgunakan kewenangan sebagai penegak hukum yang sifatnya terorganisasi maupun tidak. Mereka tidak menegakkan hukum, tetapi justru hukum dibengkokkan.
Saat itu, Mahfud MD yang menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi mendorong mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk membentuk Satgas Pemberantasan Mafia Hukum pada 2009.
Satgas tersebut akhirnya dibentuk dan dipimpin oleh Kuntoro Mangkusubroto yang posisinya setingkat dengan menteri. SBY pun berpesan kepada Kuntoro untuk membenahi institusi penegak hukum agar pemberantasan mafia hukum dapat dilakukan.
Pelemahan KPK
Menurut Achmad, revisi Undang-Undang KPK adalah bagian dari mafia hukum yang menjamur. Akibatnya, usaha untuk memberantas korupsi semakin melemah.
Saat ini harapan terhadap pemberantasan korupsi ada pada kemandirian komisioner di setiap aparat penegak hukum. Mereka harus diperkuat dan jangan dibubarkan. Selain itu, harus ada desakan dari masyarakat untuk memperbaiki penegakan hukum di Indonesia.
Danang Widoyoko mengungkapkan, pelemahan terhadap KPK terjadi ketika KPK menjadi lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif dan pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara. Situasi ini tidak lepas dari merosotnya demokrasi di Indonesia.
"Harapan terhadap pemberantasan korupsi ada pada kemandirian komisioner di setiap aparat penegak hukum. Mereka harus diperkuat dan jangan dibubarkan. Selain itu, harus ada desakan dari masyarakat untuk memperbaiki penegakan hukum di Indonesia"
Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo mengungkapkan, apa yang terjadi dalam usaha pemberantasan korupsi pada saat ini merupakan hasil dari apa yang terjadi pada Agustus-September tahun lalu. Saat itu, pegawai KPK menolak pimpinan yang bermasalah.
Yudi mengakui, KPK sedang mengalami penurunan kepercayaan dari masyarakat. Namun, pegawai KPK terus berjuang dengan menjaga solidaritas dan tidak mau diintervensi. Hal tersebut ditunjukkan dengan menangkap bekas Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi yang menjadi buronan dan melakukan operasi tangkap tangan terhadap bekas anggota Komisi Pemilihan Umum RI, Wahyu Setiawan.
Ia berharap, KPK terus mendapatkan dukungan dari masyarakat. Mereka juga masih mengkaji Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara. “Tidak ada lembaga yang independen ketika pegawainya tidak independen,” kata Yudi.