Penangkapan Joko Tjandra dapat menjadi awal untuk menguak semua pihak yang telah membantu pelariannya. Setelah Joko, diharapkan buron lainnya juga dapat ditangkap.
Oleh
TIM KOMPAS
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Keberhasilan Kepolisian Negara RI, yang bekerja sama dengan Polis Diraja Malaysia, menangkap terpidana perkara pengalihan hak tagih utang atau cessie Bank Bali yang buron sejak 2009, Joko Soegiarto Tjandra, patut diapresiasi. Namun, pekerjaan belum selesai karena masih ada sejumlah buron yang mesti ditangkap. Penangkapan Joko juga diharapkan dapat mengungkap semua pihak yang membantu pelariannya selama ini.
Setelah ditangkap di Malaysia dan dibawa kembali ke Tanah Air, Joko lalu diserahkan oleh Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri ke kejaksaan pada Jumat (31/7/2020) malam. Ia dieksekusi kejaksaan untuk menjalani vonis yang telah dijatuhkan Mahkamah Agung (MA), yaitu 2 tahun penjara.
Namun, untuk sementara Joko ditahan di Rutan Salemba Cabang Mabes Polri. Menurut Kepala Bareskrim Polri Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo, hal ini dilakukan untuk memudahkan penyelidikan terkait kasus-kasus yang terjadi, seperti keluar-masuknya Joko ke Indonesia, kasus surat jalan, dan kemungkinan penyelidikan aliran dana ke sejumlah pihak.
Sebelumnya, Polri juga menahan Brigjen (Pol) Prasetijo Utomo di Rumah Tahanan Bareskrim Polri. Ia ditahan setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan pembuatan surat jalan untuk Joko.
Apresiasi atas kerja Polri, khususnya tim khusus Bareskrim Polri, dalam menangkap Joko di sebuah apartemen mewah di Kuala Lumpur Malaysia, Kamis (30/7), muncul dari berbagai kalangan.
Salah satunya, Presiden Joko Widodo. Presiden, seperti disampaikan Menteri Sekretaris Negara Pratikno, mengapresiasi kerja Polri setelah menerima laporan ditangkapnya Joko dari Kepala Polri Jenderal (Pol) Idham Azis.
Namun, di tengah apresiasi itu, tak sedikit kalangan yang mengingatkan masih ada pekerjaan rumah yang harus dituntaskan oleh otoritas hukum dan pemerintah.
Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra mengatakan, dari Joko, diharapkan dapat diungkap semua orang yang membantu pelariannya sejak 2009. Hal ini sekaligus menjadi momentum ”bersih-bersih” instansi penegak hukum dan pemerintah dari oknum-oknum yang menyalahgunakan kewenangan mereka.
Joko divonis 2 tahun penjara dalam perkara cessie oleh MA pada 11 Juni 2009. Namun, sehari sebelum putusan, ia kabur ke Papua Niugini (Kompas, 19/7/2009). Sejak itu, namanya masuk dalam daftar pencarian orang (DPO). Joko juga sempat masuk dalam DPO Interpol.
Akan tetapi, awal Juni lalu, Joko kembali ke Indonesia tanpa diketahui otoritas Indonesia. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly sempat menyatakan, nama Joko tak lagi tertera di dalam DPO Interpol sejak 2014.
Terkait kasus kembalinya Joko ke Indonesia, Kapolri telah mencopot tiga perwira tinggi Polri dari jabatan mereka. Adapun Kejaksaan Agung (Kejagung) mencopot Jaksa Pinangki Sirna Malasari, yang diduga berfoto bersama Joko, dari jabatannya.
Selain menguak dan menghukum oknum lain yang membantu pelarian Joko, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Hinca Panjaitan, berharap, aparat bisa menjawab berbagai pertanyaan publik saat Joko melenggang masuk ke Indonesia bulan lalu. Pertanyaan itu, antara lain, terkait cara dia bebas masuk dan keluar Indonesia serta hilangnya nama Joko dari DPO Interpol.
”Hal itu penting agar bangsa ini bisa belajar dan tak terulang kasus serupa,” katanya.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Adang Daradjatun, bahkan berharap Polri mengusut kejadian masa lalu yang melibatkan Joko. "Misalnya, mengapa ia tahu putusan MA dan kabur sebelum putusan,” tambahnya.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD juga mendorong semua yang terlibat dihukum. Tak hanya itu, ia mengajak publik untuk turut mengawasi proses hukum selanjutnya. Salah satunya, kemungkinan Joko mengajukan peninjauan kembali (PK) perkaranya.
Menurut Kapolri Jenderal (Pol) Idham Azis, upaya penangkapan Joko tak terlepas dari perintah Presiden Jokowi. Penangkapan Joko sekaligus wujud komitmen Polri untuk menangkap buron itu.
Ia berjanji, proses hukum terkait kasus Joko akan terus berlanjut dan transparan. ”Siapa pun yang terlibat dalam pelarian Joko akan disikat dan diproses hukum. Hal ini juga sebagai upaya bersih-bersih Polri terhadap oknum nakal,” janjinya.
Buron lain
Belajar dari kasus penangkapan Joko ini, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Indriyanto Seno Adji melihat, kerja sama timbal balik lembaga penegak hukum di kedua negara lebih efektif dalam menangkap dan memulangkan buron di luar negeri.
Pola serupa dilihatnya diterapkan saat buron kasus pembobolan kas Bank BNI Cabang Kebayoran Baru, Maria Pauline Lumowa, dipulangkan dari Serbia. Mekanisme itu pula yang, menurut dia, perlu diterapkan dalam menangkap buron lain di luar negeri.
Kunci lainnya, menurut Azyumardi Azra, keseriusan para petinggi negara ini. ”Penangkapan Joko ini memberi pelajaran, jika petinggi negara serius menyelesaikannya, berbagai kasus korupsi dan kriminal lain dapat diatasi,” katanya.
Menurut catatan Indonesia Corruption Watch, masih ada setidaknya 40 buron yang jadi pekerjaan rumah aparat penegak hukum dan pemerintah. (BOW/DIV/PDS/DEA/ILO/NIA/IRE)