Momentum Pulihkan Kepercayaan Publik pada Penegakan Hukum
Tertangkapnya buronan kasus pengalihan hak tagih utang Bank Bali, Joko Tjandra, tak hanya momentum pemulihan kepercayaan publik terhadap upaya penegakan hukum, tetapi juga pengejaran buronan lain yang kabur.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO DAN NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tertangkapnya buronan kasus pengalihan hak tagih utang atau cessie Bank Bali, Joko Soegiarto Tjandra, menjadi momentum untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap upaya penegakan hukum di Indonesia. Selain itu, peristiwa ini juga menjadi momentum bagi aparatur penegak hukum untuk mengejar dan menangkap buronan yang lain.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly menyatakan, penangkapan Joko menjadi penegasan bahwa negara tak bisa dipermainkan oleh siapa pun. Penangkapan tersebut setidaknya telah mengakhiri rumor atau teka-teki tentang keberadaan Joko. Hal ini juga menjadi pernyataan sikap yang tegas bahwa negara tidak bisa dipermainkan oleh siapa pun yang mencoba-coba bersiasat mengangkangi hukum di negara ini.
”Penangkapan Joko juga harus menjadi momentum untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum dan aparat penegak hukum di Indonesia. Karenanya, keberhasilan penangkapan ini harus diikuti dengan proses peradilan yang transparan hingga bisa menguak kasus tersebut secara terang benderang,” kata Yasonna dalam keterangan pers, Jumat (31/7/2020), di Jakarta.
Penangkapan Joko juga harus menjadi momentum untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum dan aparat penegak hukum di Indonesia.
Ia mengapresiasi Bareskrim Polri yang berhasil menangkap buronan yang kabur sejak 2009 tersebut melalui kerja sama dengan Kepolisian Diraja Malaysia. Meskipun demikian, kasus Joko ini juga harus menjadi pelajaran bagi setiap lembaga penegak hukum di Indonesia.
”Polri telah menerbitkan laporan dugaan pidana atas oknum di lembaganya yang menerbitkan surat jalan bagi Joko. Tentu ini harus diapresiasi dan bisa menjadi contoh bagi lembaga penegak hukum lain untuk melakukan hal serupa terhadap anggotanya yang diduga terlibat dalam surat jalan Joko. Pencopotan semata tentu tidak cukup, harus diikuti dengan proses pidana,” tutur Yasonna lagi.
Kepala Polri Jenderal (Pol) Idham Azis, melalui keterangan tertulis, mengatakan, upaya penangkapan Joko Tjandra tak terlepas dari perintah Presiden Joko Widodo. Presiden memerintahkan Idham agar mencari sekaligus menangkap buronan sejak 2009 itu.
Perintah tersebut langsung ditanggapi dengan cepat oleh Idham lewat pembentukan tim kecil yang dipimpim oleh Kepala Bareskrim Polri Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
”Kami bentuk tim kecil karena infonya yang bersangkutan berada di Malaysia,” ujar Idham.
Setelah tim terbentuk, Kapolri langsung mengirimkan surat kepada Kepolisian Diraja Malaysia. Surat tersebut berisi permintaan kerja sama antara police to police untuk menangkap Joko Tjandra.
Proses kerja sama tersebut pun membuahkan hasil. Pada Kamis, 30 Juli, Listyo berangkat ke Malaysia untuk memimpin proses penangkapan. Saat itu, Listyo didampingi Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri.
”Joko Tjandra ini memang licik dan sangat pandai. Dia kerap berpindah-pindah tempat. Tetapi, berkat kesabaran dan kerja keras tim, Joko Tjandra berhasil diamankan,” ucap Idham.
Menurut Idham, penangkapan Joko merupakan komitmen Polri untuk menjawab keraguan publik bahwa Polri bisa menangkap buronan tersebut.
Idham juga mengatakan, proses hukum terhadap Joko akan terus dikawal dan diusut tuntas. Ia berjanji, prosesnya akan terbuka dan transparan.
”Artinya, siapa pun yang terlibat dalam pelarian Joko akan disikat dan proses hukum. Ini juga sebagai upaya bersih-bersih Polri terhadap oknum nakal,” ujarnya.
Selanjutnya, kata Idham, pihaknya akan berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung terkait proses hukum Joko Tjandra. Tak berhenti di sana, Polri juga akan berkoordinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Artinya, siapa pun yang terlibat dalam pelarian Joko akan disikat dan proses hukum. Ini juga sebagai upaya bersih-bersih Polri terhadap oknum nakal.
Pidana lain
Ketua Komisi III DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Herman Herry mengapresiasi gerak cepat Bareskrim Polri dalam menangkap Joko Tjandra. Hal ini membuktikan negara tak kalah dengan penjahat kerah putih.
Herman menyebut, penangkapan Joko Tjandra telah menjawab keraguan publik atas kasus buronan negara yang menjerat tiga petinggi Polri itu. Komisi III DPR, lanjutnya, bakal mengawal pengusutan kasus ini hingga tuntas.
”Kami akan memastikan kasus ini bisa diusut hingga tuntas,” ucap Herman.
Sementara itu, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, menyampaikan, upaya penangkapan buronan tidak boleh berhenti pada Joko Tjandra. Keberhasilan ini harus menjadi batu pijakan dan momentum bagi aparatur penegak hukum untuk mengejar dan menangkap buronan yang lain.
Arsul berharap, Joko Tjandra tak hanya sekadar diproses untuk menjalankan putusan peninjauan kembali Mahkamah Agung dengan pidana penjara 2 tahun. Namun, terdapat proses pidana-pidana baru yang juga bisa dikenakan pada buronan itu ketika melarikan diri dari Indonesia. Misalnya, penggunaan surat palsu dan pemberian keterangan palsu.
”Tentu kita sudah mengetahui bahwa ada kasus-kasus pidana lain yang juga sudah menunggu, paling tidak yang terkait proses yang sekarang dijalankan Bareskrim Polri. Tindak pidana lain ini tentu menjadi kewajiban jajaran Polri untuk lakukan penyelidikan lebih lanjut,” tutur Arsul.
Di luar itu, Kementerian Hukum dan HAM juga harus mampu memastikan status kewarganegaraan Joko Tjandra. Sebab, jika ia terbukti warga negara asing, hak-hak konsulernya harus dipenuhi.
”Ini hal yang tentu harus dituntaskan karena ada sedikit perbedaan proses hukum terhadap WNI dan WNA,” ucap Arsul.
Tentu kita sudah mengetahui bahwa ada kasus-kasus pidana lain yang juga sudah menunggu, paling tidak yang terkait proses yang sekarang dijalankan Bareskrim Polri.
Hal serupa diungkapkan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana. Ia mengatakan, Polri harus mengembangkan terkait adanya kemungkinan petinggi Korps Bhayangkara lain yang terlibat membantu pelarian Joko.
Selain itu, Polri juga harus segera menetapkan Joko sebagai tersangka baru atas dugaan menggunakan surat palsu untuk kepentingan tertentu sebagaimana tertuang dalam Pasal 263 Ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Hal itu merujuk pada tindakan Joko saat menggunakan surat jalan dari Polri agar bisa melarikan diri.
Kurnia juga mengingatkan, Joko merupakan satu dari sekian banyak buronan yang masih tersebar di beberapa negara. Berdasarkan catatan ICW, masih tersisa 39 buronan korupsi lagi yang belum ditangkap oleh penegak hukum. ”Tentu ini harus menjadi fokus bagi pemerintah, terlebih lagi jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh para buronan tersebut terbilang fantastis, mencapai Rp 53 triliun,” kata Kurnia.