Dengan kesepakatan untuk penentuan program legislasi nasional yang baru, Badan Legislasi DPR berpotensi seperti keranjang sampah yang menampung berbagai RUU yang tak tuntas dibahas komisi atau alat kelengkapan Dewan.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dengan kesepakatan untuk penentuan program legislasi nasional yang baru, Badan Legislasi DPR berpotensi menjadi penampung dari berbagai rancangan undang-undang yang tidak tuntas dibahas komisi atau alat kelengkapan Dewan lainnya. Sebab, ada ketentuan untuk mengevaluasi atau membahas kemungkinan penyelesaian RUU yang tidak bisa dituntaskan oleh alat kelengkapan Dewan tertentu agar dilimpahkan kepada alat kelengkapan Dewan lainnya.
Dalam Rapat Paripurna, Kamis (16/7/2020), di Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas menyebutkan ada sejumlah kesepakatan antara pimpinan Baleg DPR dan pimpinan DPR dalam rapat Badan Musyawarah DPR, Rabu (15/7/2020). Dalam rapat itu, DPR menyepakati agar penentuan target legislasi tidak terlalu banyak sehingga setiap komisi diberi batasan untuk merealisasikan satu RUU setiap tahunnya. Komisi baru dapat mengajukan RUU baru ketika satu RUU target itu bisa dituntaskan pada tahun yang ditetapkan.
Kemudian, ditegaskan kembali mengenai masa penyusunan RUU selama dua kali masa sidang. Jika dalam dua kali masa sidang penyusunan draf RUU tidak dapat dituntaskan, RUU itu akan dikeluarkan dari prolegnas tahunan. Adapun waktu pembahasan RUU dibatasi tiga kali masa sidang. Apabila tiga kali masa sidang tidak dapat dituntaskan, pembahasan RUU itu akan dievaluasi oleh Bamus DPR untuk dialihkan penugasannya kepada alat kelengkapan Dewan (AKD) yang lain.
DPR menyepakati agar penentuan target legislasi tidak terlalu banyak sehingga setiap komisi diberi batasan untuk merealisasikan satu RUU setiap tahunnya. Komisi baru dapat mengajukan RUU baru ketika satu RUU target itu bisa dituntaskan pada tahun yang ditetapkan.
Berikan beban
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, saat dihubungi Minggu (19/7/2020) mengatakan, kesepakatan melimpahkan pembahasan RUU yang tidak tuntas kepada AKD lain secara implisit memberikan beban kepada Baleg karena Baleg adalah koordinator dalam fungsi legislasi di DPR. Sekalipun belum tentu beban itu dilimpahkan kepada Baleg jika pembahasan RUU tidak tuntas, ada kecenderungan Baleg kini berperan sebagai pembentuk UU yang aktif sejak ada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3).
”UU MD3 dengan kewenangan tambahannya, yakni untuk membahas RUU sendiri, Baleg berpotensi menjadi seperti ’keranjang sampah’ karena untuk RUU yang tidak mampu diselesaikan oleh komisi, diarahkan ke Baleg. Ada tendensi ke arah sana dan ini tidak baik bagi fungsi legislasi DPR,” katanya.
Dengan pelimpahan tugas membahas RUU kepada Baleg, mengakibatkan Baleg kewalahan dan tidak bisa fokus pada tugas mereka yang lain, yakni melakukan evaluasi terhadap tugas legislasi DPR secara umum serta melakukan harmonisasi dan sinkronisasi setiap RUU yang menjadi usulan DPR. Tugas harmonisasi dan sinkronisasi oleh Baleg DPR menjadi peran yang sangat penting karena melalui saringan di Baleg itu dapat diketahui apakah rumusan suatu RUU itu sesuai dengan peraturan lain dan memenuhi syarat pembentukan UU yang diatur di dalam UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Kecenderungan itu, lanjut Lucius, antara lain, terlihat dengan ditariknya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dari Prolegnas 2020. Permintaan untuk menarik RUU itu diajukan oleh Komisi V DPR. Pimpinan DPR pun telah bersurat kepada Baleg DPR agar RUU PKS itu ditangani oleh Baleg. Namun, karena Baleg telah kewalahan dengan RUU yang mereka usulkan sendiri, termasuk dengan pembahasan RUU Cipta Kerja yang diusulkan pemerintah, RUU PKS tidak dapat diteruskan pembahasannya oleh Baleg.
Pelimpahan RUU PKS kepada Baleg itu pun sebelumnya dibenarkan oleh Supratman. “Sekalipun pimpinan telah melimpahkan pembahasan RUU PKS itu kepada Baleg, kami tidak bisa melakukan pembahasan, karena kami yang paling mengetahui kemampuan Baleg saat ini yang juga harus membahas RUU Cipta Kerja,” katanya.
Lucius mengatakan, sekalipun kini ada batasan satu RUU utuk setiap komisi, potensi bagi Baleg untuk menjadi ” keranjang sampah” itu tetap besar mengingat prolegnas tidak hanya disusun oleh DPR, tetapi juga ada peran pemerintah. Sekalipun usulan dari komisi dibatasi, ketika usulan pemerintah banyak, akan ada beban penugasan kepada Baleg atau komisi di luar yang mereka usulkan sendiri.
Dengan kewenangan tambahan bagi Baleg untuk membahas RUU usulan mereka, Baleg menjadi tidak fokus sebagai koordinator dalam pembuatan RUU di DPR. Artinya, Baleg tidak memiliki cukup kapasitas dan tenaga untuk mengawal pembahasan RUU di setiap komisi.
”Hal ini bisa terjadi karena beban mereka sudah berat. Ada RUU Cipta Kerja, lalu RUU PKS, dan kelanjutan RUU HIP atau BPIP juga ada di mereka. Jadi, untuk RUU yang tingkat kesulitannya tinggi dan tidak mudah diatasi oleh komisi, bisa dengan mudah dilempar ke Baleg. Sebab, Baleg ini dianggap sebagai tempat orang-orang yang memang ahli dalam penyusunan UU,” katanya.
Baleg sendiri mau tidak mau harus menerima tugas itu karena sebagai koordinator fungsi legislasi memang itu perannya. Lucius mengatakan, posisi semacam itu justru tidak menguntungkan bagi pelaksanaan fungsi legislasi DPR karena sebenarnya yang paling mengerti kebutuhan masyarakat dan pemerintah sebagai mitra kerja adalah komisi. Selain berpengaruh pada kualitas legislasi, tugas yang menumpuk di Baleg juga menjadikan AKD itu pusat dari berbagai kepentingan yang terkait dengan pembentukan legislasi.
”Perlu juga diingat, ketika ada pemusatan kewenangan atau kekuasaan, rentan terjadi korupsi dan penyalahgunaan,” ujar Lucius.
Tak mudah
Kalau hanya diputuskan dengan surat pimpinan DPR, tentu itu secara aturan tidak kuat daya ikatnya karena penugasan AKD dalam membahas RUU itu disampaikan dalam Bamus dan diputuskan melalui Rapat Paripurna. Kalau Baleg di dalam Bamus keberatan, tentu itu harus menjadi pertimbangan pula nantinya.
Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi Nasdem Willy Aditya mengatakan, tidak semua RUU yang tidak tuntas dibahas akan dilimpahkan kepada Baleg. ”Kalau semua dilimpahkan kepada kami tentu tidak bisa, kami akan muntah karena kelebihan beban. Tidak semudah itu juga setiap RUU yang tidak tuntas langsung dibahas di Baleg karena itu harus diputuskan melalui rapat Bamus dan Paripurna,” ujarnya.
Ia mencontohkan RUU PKS, yang sekalipun telah ditugaskan kepada Baleg untuk meneruskan pembahasannya, karena tugas itu hanya disampaikan melalui surat pimpinan, Baleg menilainya tidak memiliki kekuatan hukum. Sebab, penugasan kepada AKD ditentukan melalui rapat Bamus DPR yang kemudian disampaikan di dalam Rapat Paripurna.
”Kalau hanya diputuskan dengan surat pimpinan DPR, tentu itu secara aturan tidak kuat daya ikatnya karena penugasan AKD dalam membahas RUU itu disampaikan dalam Bamus dan diputuskan melalui Rapat Paripurna. Kalau Baleg di dalam Bamus keberatan, tentu itu harus menjadi pertimbangan pula nantinya,” kata Willy.