Pemerintah akan segera membentuk Tim Pemburu Koruptor baik untuk mengejar buron maupun aset hasil tindak pidana. Pembentukan tim tersebut tinggal menunggu payung hukum. Kemenko Polhukam telah menyiapkan draf Inpres TPK.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah segera membentuk tim pemburu koruptor yang akan mengejar pelaku korupsi beserta aset hasil tindak pidana korupsi. Pembentukan tim tersebut saat ini masih menunggu payung hukum berupa instruksi presiden.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengungkapkan, rancangan instruksi presiden (Inpres) tim pemburu koruptor (TPK) saat ini sudah ada di Kemenko Polhukam. Setelah inpres ditandatangani, pembentukan tim segera dilakukan.
”Secepatnya dibentuk tim itu. Tentu dengan menampung semua masukan dari masyarakat. Ini perlu kerja bareng, tidak boleh berebutan dan saling sabot,” kata Mahfud melalui keterangan resminya, Selasa (14/7/2020).
Secepatnya dibentuk tim itu. Tentu dengan menampung semua masukan dari masyarakat. Ini perlu kerja bareng, tidak boleh berebutan dan saling sabot.
Menurut Mahfud, desain TPK tersebut hampir sama seperti yang dibentuk pemerintah pada 2004. Institusi yang dilibatkan di dalam tim tersebut antara lain Kejaksaan Agung, Kepolisian Negara RI, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Dalam Negeri, dan beberapa departemen teknis lainnya. Pelibatan institusi tersebut sesuai dengan amanat undang-undang untuk melakukan tugas, pokok, dan fungsi mengejar serta menangkap buron kasus pidana.
Dalam Inpres Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, pihak-pihak yang dilibatkan adalah menteri dalam kabinet pemerintahan, jaksa agung, panglima TNI, kapolri, para kepala lembaga pemerintah non-departemen, gubernur, bupati, dan wali kota.
Anggota Komisi III DPR dari Partai Nasdem, Taufik Basari, mengatakan, tidak masalah TPK diaktifkan kembali. Namun, di dalam TPK baru itu, harus ada penguataan koordinasi antarinstansi yang selama ini dinilai belum berjalan optimal.
Tidak masalah TPK diaktifkan kembali. Namun, di dalam TPK baru itu, harus ada penguataan koordinasi antarinstansi yang selama ini dinilai belum berjalan optimal.
Dalam kasus buron terpidana korupsi hak tagih utang atau cessie Bank Bali, Joko S Tjandra, misalnya, koordinasi antarinstansi benar-benar lemah. Akibatnya, Joko dapat keluar-masuk Indonesia dengan leluasa, bahkan membuat KTP hingga mendaftarkan peninjauan kembali (PK) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Berkaca pada kasus itu, Taufik menegaskan bahwa TPK dapat dihidupkan kembali dengan modifikasi, yaitu penguatan koordinasi dalam sistem peradilan tindak pidana terpadu.
”Belajar dari pengalaman kasus Joko S Tjandra kemarin, memang ada masalah lemahnya koordinasi, dan sharing data yang tidak berjalan di lembaga hukum. Ke depan, harus ada pembagian data yang saling kait mengait antarlembaga tersebut,” kata Taufik.
Taufik juga mengatakan, sebelum menghidupkan tim lama, sebaiknya ada evaluasi kekurangan dari tim terdahulu. Evaluasi meliputi apa saja yang menjadi kelemahan dari TPK di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sehingga dianggap kurang optimal dalam mengejar para pelaku tindak pidana yang melarikan diri.
”Jangan sampai, tim baru ini terjerumus dalam kesalahan yang sama,” kata Taufik.
Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) dari 16 buron yang dikejar oleh TPK, hanya empat yang berhasil ditangkap. Empat orang buron itu ditangkap dalam kurun waktu delapan tahun tim bekerja.
Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) dari 16 buron yang dikejar oleh TPK, hanya empat yang berhasil ditangkap. Empat orang buron itu ditangkap dalam kurun waktu delapan tahun tim bekerja. Salah satu kendala yang mengemuka adalah para buron tersebut berada di negara yang tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan RI, Kompas (13/7/2020).
Sementara itu, Sekretaris Badan Pengurus Nasional Pusat Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Julius Ibrani mengatakan, apabila problem utama adalah masalah koordinasi, seharusnya tidak perlu membentuk TPK. Pembentukan TPK tersebut justru menjadi upaya terang-terangan mendelegitimasi Komisi Pemberantasan Korupsi. Dengan adanya tim tersebut, KPK otomatis dinyatakan tidak ada tajinya atau hanya menjadi macan ompong.
Terkait dengan kekhawatiran bahwa tugas TPK akan mengambil alih peran KPK, Mahfud mengatakan bahwa KPK adalah lembaga khusus yang dinilai sudah memiliki langkah khusus dalam pemberantasan korupsi. Apabila pengejaran tersebut nantinya berkaitan dengan KPK, TPK akan berkoordinasi langsung dengan KPK.