DPR Mendesak RKUHP dan RUU Pemasyarakatan Segera Dibahas
Sekalipun substansinya masih problematik dan menuai penolakan luas dari publik, Komisi III DPR mendesak pemerintah untuk segera membahas kembali Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan RUU Pemasyarakatan.
Oleh
RINI KUSTIASIH/NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sekalipun substansinya masih problematik dan menuai penolakan luas dari publik, Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat mendesak pemerintah segera membahas kembali Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan.
Untuk diketahui, kedua rancangan undang-undang (RUU) tersebut termasuk di antara sejumlah RUU bermasalah yang memantik unjuk rasa besar-besaran di sejumlah kota, September 2019. Melihat hal itu, Presiden Joko Widodo memutuskan menunda pembahasan kedua RUU tersebut.
Namun, kini dorongan untuk meneruskan pembahasan kembali dimunculkan Komisi III DPR saat rapat dengar pendapat dengan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly di Jakarta, Senin (22/6/2020). Hal itu pun tertuang dalam salah satu kesimpulan rapat.
”Pertama sepakat untuk membahas UU operan, yakni RUU tentang KUHP dan RUU tentang Pemasyarakatan,” kata Ketua Komisi III DPR dari Fraksi PDI-P Herman Herry saat membacakan kesimpulan rapat.
Atas desakan tersebut, Yasonna meminta kepada Komisi III DPR agar melayangkan surat kepada Kemenkumham dan selanjutnya surat tersebut akan dilaporkan kepada Presiden Joko Widodo untuk dimintakan persetujuan.
Dengan adanya persetujuan dari presiden, ada kepastian bagi pemerintah kembali membahas dua RUU itu dengan DPR.
”Tentu sebelum tindak lanjut, kami akan meminta persetujuan dari Presiden untuk membahas ini,” kata Yasonna.
Di dalam rapat, dorongan untuk membahas RKUHP dan RUU Pemasyarakatan ini antara lain diutarakan oleh Benny K Harman, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat. Ia membandingkan kedua RUU tersebut dengan RUU Mineral dan Batu Bara (Minerba) yang bulan lalu telah disahkan pemerintah dan DPR.
Menurut dia, RUU Minerba telah disetujui menjadi UU dan pembahasannya tanpa meminta surat presiden (surpres) lagi. Sebab, RUU itu termasuk yang disepakati dilimpahkan oleh pemerintah dan DPR periode sebelumnya ke DPR dan pemerintah periode saat ini.
”Kalau soal tambang saja sudah bisa dilaksanakan, yakni UU Minerba, yang langsung dibahas dengan mengacu UU MD3. Mungkin dengan mengikuti konvensi politik tadi, konvensi di parlemen, maka tidak salah kalau kita langsung melaksanakan itu. Saya takut, soal administrasi itu tadi hanya soal alasan saja. Jadi yang sesungguhnya tidak ada niat baik untuk melaksanakan ini,” katanya.
Yasonna menjelaskan, pembahasan RUU Minerba juga mendapatkan persetujuan presiden. Pembahasan RUU yang kini telah menjadi UU Minerba itu juga tidak dilakukan tiba-tiba.
”RUU minerba juga diteruskan setelah mendapatkan persetujuan dari presiden. Dalam satu rapat bahkan ada pembahasan tentang tim-tim yang sudah dibahas sebelumnya untuk diberikan arahan. Jadi, tidak ujug-ujug, tidak mungkin seorang menteri berani tanpa meminta konsul dan pendapat presiden untuk lanjut atau tidak. Itu impossible,” katanya.
Sebagai solusi dari perbedaan pendapat dalam mekanisme pembahasan RUU limpahan dari DPR dan pemerintah periode sebelumnya atau disebut RUU carry over tersebut,Komisi III DPR lantas memutuskan untuk berkirim surat kepada Menkumham. Surat intinya mengundang pemerintah mendiskusikan kelanjutan pembahasan RKUHP dan RUU Pemasyarakatan. Surat itu kelak akan disampaikan menteri kepada presiden.
”Saya kira itu kita sepakati. Bahwa nanti pemerintah belum mau atau menunda, silakan, itu kewenangan pemerintah. Namun, untuk kita ada kejelasan. Saya kira itu,” kata Herman Herry.
Catatan Kompas, RKUHP menuai penolakan luas dari publik karena sejumlah pasal bermasalah di dalamnya. Dari draf RKUHP terakhir per September 2019, Aliansi Nasional Reformasi KUHP mencatat, pasal-pasal bermasalah disimpulkan dalam 17 isu. Isu itu, di antaranya, penghinaan terhadap presiden dan pemerintah, larangan mempertunjukkan alat kontrasepsi, perzinaan, kohabitasi, penggelandangan, aborsi, serta tindak pidana korupsi, penghinaan terhadap lembaga peradilan (contempt of court), makar, kriminalisasi penghinaan yang eksesif, tindak pidana terhadap agama, tindak pencabulan yang diskriminatif, tindak pidana narkotika, dan pelanggaran HAM berat.
Adapun RUU Pemasyarakatan ditolak publik karena ada potensi hilangnya pengetatan remisi dan asimilasi serta pembebasan bersyarat terhadap napi tindak pidana khusus yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.