Untuk mematangkan Pilkada 2020, Kamis akan digelar rapat dengar pendapat lanjutan DPR, pemerintah, dan penyelenggara pemilu. Namun, ada pendapat, pembahasan diarahkan untuk menunda pilkada karena masih Covid-19.
Oleh
Ingki Rinaldi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rapat dengar pendapat lanjutan antara DPR, pemerintah, dan penyelenggara pemilu pada Kamis (11/6/2020) sebaiknya diarahkan untuk menyepakati penundaan kembali pilkada serentak 2020. Terlalu berisiko jika Pilkada 2020 tetap dilaksanakan di tengah kondisi pandemi Covid-19 yang masih jadi ancaman utama di sejumlah daerah. Apalagi anggarannya belum jelas dan peraturan teknis yang menyertainya belum disahkan dengan sejumlah alasannya.
Pengajar hukum tata negara Universitas Trisakti, Jakarta, Radian Syam, Rabu (10/6/2020), mengatakan hal itu, seusai diskusi daring dengan tema ”Pilkada dan Pandemi, Apa yang Harus Dilakukan” di Jakarta. Radian mengatakan, sudah saatnya para pihak merujuk pada Ayat 3 Pasal 201A Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pilkada.
Aturan tersebut memungkinkan pemungutan suara serentak ditunda dan dijadwalkan kembali segera setelah bencana nonalam Covid-19 berakhir atas persetujuan bersama antara Komisi Pemilihan Umum (KPU), pemerintah, dan DPR. Hal ini diputuskan jika pemungutan suara serentak pada Desember 2020 dengan segala pertimbangannya tak bisa dijalankan.
(Dalam) RDP itu, (sebaiknya dibahas) kesepakatan terhadap penundaan pilkada serentak.
Radian mencontohkan kondisi Korea Selatan yang kembali mengalami kenaikan kasus Covid-19 setelah pada 15 April menyelenggarakan pemilu legislatif. ”(Dalam) RDP itu, (sebaiknya dibahas) kesepakatan terhadap penundaan pilkada serentak,” kata Radian.
Ia menambahkan, sehubungan dengan itu, tidak perlu lagi dikeluarkan perppu lain guna menganulir ketentuan pelaksanaan pemungutan suara pada Desember 2020. Ini sebagaimana telah diatur sebelumnya dalam Perppu No 2/2020. Sudah cukup hasil kesepakatan antara DPR, pemerintah, dan KPU. Selanjutnya, kesepakatan itu ditindaklanjuti dengan peraturan KPU yang didalamnya menegaskan penundaan hingga Maret 2021 ataukah September 2021.
Alasan lainnya, tambah Radian, juga kondisi kesehatan masyarakat, ketersediaan anggaran di sejumlah daerah yang cenderung tidak memungkinkan untuk pelaksanaan pilkada pada Desember 2020 sehingga harus menjadi pertimbangan. Selain itu, juga belum adanya regulasi teknis, baik berupa PKPU ataupun peraturan Bawaslu, untuk memulai tahapan lanjutan pada 15 Juni.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof Ari Fahrial Syam berharap agar pilkada yang akan digekar tidak menjadi kluster baru penyebaran Covid-19. Keputusan untuk menentukan kapan pilkada bakal digelar semestinya melibatkan epidemiolog untuk menentukan tingkat keamanan saat orang-orang keluar rumah dan berkumpul di tempat pemungutan suara (TPS).
Salah satu indikator kondisi yang relatif aman adalah jika di suatu daerah, nilai reproduksi infeksi penyakit Covid-19 sudah di bawah satu. Selain itu, juga tidak ada lagi kasus-kasus baru selama dua pekan.
Edukasi bagi masyarakat terkait keberadaan kelompok-kelompok rentan juga penting dilakukan. ”Inilah pekerjaan rumah bagi penyelenggara. Terutama untuk menyaring siapa-siapa saja yang boleh datang dan tidak ke TPS,” tuturnya.
Dalam hal ini, umur bukan menjadi satu-satunya ukuran. Fokusnya adalah pada kelompok-kelompok berisiko tinggi dengan penyakit penyerta. Selanjutnya, bagi yang berisiko rendah, harus ditentukan seperti apa protokol kesehatan yang harus dijalankan.
Ari menyebutkan, mitigasi terhadap potensi penyebaran Covid-19 harus detail serta tidak bisa dilakukan sembarangan. Sebab, risikonya penyebaran infeksi Covid-19 yang membahayakan, juga peningkatan kasus akan menjadi sorotan negara-negara lain. Terutama jika keputusan untuk berkumpul sudah diambil, tetapi tidak disiapkan dengan baik bagaimana tata cara orang-orang berkumpul.
Hormati keputusan sebelumnya
Menanggapi dorongan untuk menunda kembali pilkada, anggota KPU, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, saat dihubungi juga mengatakan, pihaknya menghormari keputusan terdahulu yang sudah diambil. Keputusan untuk melakukan pemungutan suara pada Desember 2020 itu menurutnya sampai hari ini belum ada perubahan.
Saat ini, lanjut Raka, KPU berharap bagaimana pemenuhan anggaran tambahan pilkada, dalam bentuk uang atau barang, diwujudkan. Hal ini penting untuk pelaksanaan protokol penanganan Covid-19 selama penyelenggaraan tahapan lanjutan pilkada.
Nah, kalau prasyaratnya tidak terpenuhi, tentu kita harus diskusikan. (Afifuddin)
Karena itu, Raka menilai RDP bersama pemerintah dan DPR pada Kamis esok menjadi penting. KPU, imbuh Raka, tetap mempertimbangkan sejumlah kemungkinan ke depan. Namun secara normatif, sebagai lembaga negara yang terikat pada mekanisme tata usaha negara, Raka menyebutkan KPU akan melaksanakan semua keputusan.
Anggota Bawaslu, Mochammad Afifuddin, menambahkan, pemenuhan kebutuhan anggaran tambahan penting untuk menjalankan protokol penanganan Covid-19 sebagai prasyarat untuk menjalankan tahapan lanjutan pilkada.
Ia mengibaratkan prasyarat itu sebagai ”portal pembuka” menyusul ketersediaan alat pelindung diri bagi penyelenggara dan pemilih sebagai pertimbangan utama dari sisi kesehatan masyarakat. ”Nah, kalau prasyaratnya tidak terpenuhi, tentu kita harus diskusikan,” sebut Afifuddin.
Ia mengatakan, RDP bersama DPR dan pemerintah pada Kamis akan dipergunakan untuk memastikan apakah prasyarat itu dipenuhi atau tidak. Dalam hal ini pilihannya bukan melanjutkan atau menunda kembali, akan tetapi lebih pada memastikan terpenuhinya prasyarat tersebut.