Nasib ”Anak-anak Reformasi” di Tangan Pembentuk Regulasi
KPK dan MK merupakan bagian dari lembaga yang terbentuk setelah reformasi. Namun, ”anak reformasi” itu kini menghadapi tantangan karena regulasi. Pembalikan agenda reformasi bisa terjadi lewat regulasi.
Dua lelaki dengan rompi oranye berdiri tertunduk menghadap dinding. Tampak lesu di bawah lambang institusi Komisi Pemberantasan Korupsi. Menghadap dinding, wajah mereka tak tersorot kamera. Jepretan jurnalis hanya jelas merekam tiga petinggi KPK yang duduk di depan mereka. Pemandangan ini tak ubahnya pengumuman tersangka pidana umum yang dilakukan oleh kepolisian.
Dua orang yang diumumkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), 27 April 2020, itu ialah tersangka perkara suap proyek-proyek di Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. Dua tersangka tersebut Aries HB, Ketua DPRD Kabupaten Muara Enim, dan Ramlan Suryadi, Pelaksana Tugas Kepala Dinas PUPR Kabupaten Muara Enim, diduga menerima suap masing-masing Rp 3 miliar dan Rp 1,1 miliar dari kontraktor yang mengerjakan proyek-proyek di dinas PUPR setempat. Perkara itu dikembangkan KPK sejak 2019.
Wajar jika dua orang itu tertunduk lesu. Sejak dilahirkan tahun 2002 dengan penerbitan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, lembaga tersebut memang menjadi momok bagi koruptor. Seiring dengan amanat dan agenda reformasi yang salah satunya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), lahirnya KPK menjadi penanda keseriusan mewujudkan cita-cita itu.
Pembentuk UU ketika itu menempatkan korupsi sebagai kejahatan luar biasa sehingga harus dibentuk suatu komisi khusus yang bertugas melakukan upaya-upaya luar biasa memberantas korupsi. Komisi khusus itu dibentuk karena lembaga penegak hukum yang ada, yakni kepolisian dan kejaksaan, dinilai belum dapat berperan optimal.
Baca juga: UU KPK Hambat Penindakan Korupsi
Kelahiran KPK yang tak bisa dilepaskan dari semangat dan agenda reformasi menjadikannya sebagai salah satu ”anak kandung reformasi” karena ia lahir dari rahim cita-cita dan agenda reformasi ketika itu. Tidak hanya KPK, lembaga baru lainnya yang dibentuk pascareformasi di antaranya Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (KY), serta berbagai komisi dan lembaga baru lain yang bersifat independen.
MK, misalnya, lahir karena dorongan untuk beralih dari supremasi parlemen menuju supremasi konstitusi. Transformasi itu merupakan bagian dari agenda supremasi hukum, yang bersama-sama dengan amendemen konstitusi menyiapkan jalan bagi demokratisasi setelah lepas dari rezim yang otoriter. Gambaran tersebut seperti diungkapkan mantan hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna, yang melihat MK pada saat berdirinya dirancang mewujudkan suatu negara demokratis yang berbasis konstitusi.
Lebih dari dua dekade sejak reformasi bergulir, ”anak-anak reformasi” mengalami pergulatan yang tidak ringan. Sebagai bagian dari struktur dan sistem politik kenegaraan, ”anak-anak reformasi” harus menunggangi gelombang dan ditantang menunjukkan keuletannya mengatasi zaman. Berbagai anasir kekuatan politik berkelindan tarik-menarik di antara kepentingan masing-masing, termasuk dalam pembuatan regulasi. Peristiwa politik itu pun tidak terhindarkan akan berdampak pada dinamika internal dan kelembagaan ”anak-anak reformasi”.
Tantangan berat, misalnya, dialami KPK. Pada 2019, terbit UU KPK yang baru, yakni UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), memberikan dampak signifikan secara kelembagaan. Sejumlah ahli, pegiat antikorupsi, dan akademisi pun memandang terbitnya UU KPK yang baru itu justru memperlemah KPK dan pemberantasan korupsi, bukannya memperkuat KPK.
Aturan dalam UU KPK yang baru, antara lain, menyebabkan rantai birokrasi dalam penindakan KPK menjadi lebih panjang, yakni dengan adanya Dewan Pengawas KPK. Penggeledahan, penyadapan, dan penyitaan harus atas izin Dewan Pengawas KPK.
Terbitnya UU KPK itu memicu kritik dari publik, kalangan akademisi, dan pegiat antikorupsi. Suasana pemberantasan korupsi menjadi ”berbeda” karena KPK yang merupakan ”anak kandung reformasi” dianggap dilemahkan secara sistematis melalui regulasi.
Sejak UU baru berlaku, KPK periode 2019-2023 melakukan dua kali tangkap tangan, yakni terhadap Bupati Sidoarjo Saiful Ilah dan mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan. Operasi itu pun merupakan kelanjutan dari kerja penyidikan di era pimpinan KPK periode sebelumnya. Sejak akhir Januari hingga Mei 2010, praktis KPK belum melakukan satu pun operasi tangkap tangan (OTT).
Capaian ini berbeda dengan catatan KPK sebelumnya, yang pernah melakukan 28 kali OTT pada 2018. Pada tahun yang sama, KPK menetapkan 108 tersangka, melakukan 157 penyelidikan, 178 penyidikan, 128 penuntutan, dan 102 eksekusi atas putusan pengadilan.
Kurang bergiginya penindakan korupsi, menurut Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sigit Riyanto, merupakan ancaman terhadap amanat reformasi, lebih dari dua dekade lalu. Pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) adalah salah satu agenda reformasi yang belum optimal dipenuhi karena korupsi masih bercokol di Indonesia.
”Kini, kekhawatiran banyak pihak terkonfirmasi dengan kinerja KPK yang memprihatinkan. Para komisioner yang sekarang bertugas tidak mampu memenuhi ekspektasi publik dalam upaya melawan korupsi. KPK tidak lagi menjadi tumpuan kepercayaan publik dalam upaya melawan korupsi,” katanya.
Cara pengumuman tersangka KPK dengan memajang mereka dalam pengumuman status juga merupakan bagian dari sesuatu yang berubah dari kebiasaan KPK sebelumnya. Baru pada April 2020 KPK mengumumkan tersangka dengan memajang mereka saat pengumuman status tersangka. Pada penindakan yang dulu lazim dilakukan KPK, tidak jarang tersangka diumumkan sebelum yang bersangkutan ditahan.
KPK tidak lagi menjadi tumpuan kepercayaan publik dalam upaya melawan korupsi.
Kadang kala tersangka masih dalam penjemputan oleh penyidik. Beberapa tersangka yang diumumkan KPK juga masih dicari dan masuk dalam daftar pencarian orang (DPO). Namun, karena keterlibatannya dalam suatu perkara dinilai terbukti dengan keberadaan minimal dua alat bukti, statusnya sebagai tersangka pun diumumkan.
Dengan mekanisme yang baru di bawah pimpinan KPK yang baru pula, kini pengumuman tersangka dilakukan ketika tersangka sudah ditahan. Informasi terkait perkembangan kasus per kasus pun tidak rutin diperbarui atau diumumkan sebelum KPK memastikan adanya tindak pidana. Hal ini menjadikan Gedung KPK seolah lebih ”sepi” atau hening daripada sebelumnya.
Anggapan pelemahan KPK dan pemberantasan korupsi karena terbitnya UU KPK yang baru dibantah oleh DPR. Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, mengatakan, perlu ada perubahan pola pikir pemberantasan korupsi, yakni tidak hanya penindakan, tetapi juga pencegahan. UU KPK yang baru ingin menyeimbangkan dua pendekatan pemberantasan korupsi itu.
”Kalau mindset pemberantasan korupsi hanya penindakan, ya bisa saja, atau wajar orang melihatnya sebagai pelemahan. Tetapi, yang juga harus dilihat ialah upaya membangun akuntabilitas hukum melalui UU KPK. Sebab, due process of law itu nilainya lebih tinggi. Jangan karena ditepuktangani publik, seolah-olah yang dilakukan KPK benar. Sebab, ternyata proses penegakan hukumnya kurang pas sehingga perlu diperbaiki,” katanya.
KPK selama ini pun dinilai tetap bekerja sekalipun tidak banyak OTT. Menurut Arsul, dalam laporannya kepada DPR, telah ada 31 tersangka yang ditetapkan KPK di bawah Firli Bahuri. Hal itu menunjukkan KPK bekerja.
”Kalau dulu seperti festivalisasi, sekarang juga sebaiknya tidak dalam mode mute (diam). KPK juga sebaiknya jangan bergerak dari satu ekstrem ke ekstrem lainnya,” katanya.
Mengenai upaya pencegahan ini, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Arteria Dahlan, membuat analogi tentang medan berbatu dan berkerikil yang harus dilintasi mobil. Namun, mobil itu harus tiba dengan selamat tanpa kotor sedikit pun. Dalam kondisi seperti itu, sulit memperoleh mobil yang bersih atau mulus terhindar dari debu dan kerikil. Sebab, medan yang dilintasi memastikan semua mobil yang lewat akan kotor.
”Jadi, kalau ada orang ditangkap, dan orang lainnya tidak ditangkap, bukan berarti yang tidak ditangkap bersih. Sebab, sama saja, medan yang dilintasi sama-sama berkerikil dan berbatu. Sulit mendapatkan orang yang benar-benar bersih. Kalau demikian caranya, berarti semua orang pasti kena, dong,” katanya.
Karena itu, menurut Arteria, diperlukan perspektif lebih holistik dalam melihat pemberantasan korupsi, yang tidak hanya menitikberatkan pada penindakan, tetapi juga membangun sistem pencegahan supaya korupsi tidak terjadi. Selain itu, harus dibuat ukuran yang jelas pada tataran apa KPK harus bergerak.
”Harus ada kesamaan platform dan kesepahaman baku bagaimana KPK menangani kejahatan yang berskala besar, kejahatan korupsi yang terstruktur, masif, seperti kejahatan di sektor energi, sumber daya alam, dan politik anggaran,” katanya.
Terkait anggapan KPK melemah karena UU KPK, Ketua KPK Komjen Firli Bahuri pun menampiknya. Kerja KPK, menurut dia, bukan hanya diukur oleh seberapa banyak pelaku korupsi yang ditangkap, melainkan sejauh mana pejabat tidak punya kesempatan melakukan korupsi. Sistem sosialisasi dan pencegahan korupsi menjadi hal yang digalakkan seiring dengan upaya penindakan.
”Jangan mengukur keberhasilan pemberantasan korupsi dari banyaknya penangkapan saja,” katanya.
Jangan mengukur keberhasilan pemberantasan korupsi dari banyaknya penangkapan saja.(Firli Bahuri)
Sementara itu, mantan pimpinan KPK mengamini dugaan upaya pelemahan KPK. Minimnya dukungan dari pemerintah dan parlemen, menurut mantan Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, dirasakan sejak lama. Ia menilai ada upaya terstruktur melemahkan KPK, baik oleh pemerintah maupun parlemen. Upaya itu salah satunya ditunjukkan dengan merevisi UU KPK. Di sisi lain, agenda penguatan KPK, seperti penambahan penyidik, tidak kunjung direalisasikan.
”Saya mempertanyakan keseriusan pemerintah apakah betul mereka melihat korupsi itu sebagai ancaman bagi kesejahteraan bangsa. Kedua, kalau pemerintah serius menggaet investor, sebetulnya ketakutan utama investor masuk ke Indonesia itu adalah korupsi,” katanya.
Sayangnya, menurut Syarif, niat memperkuat pemberantasan korupsi itu tidak tampak di pemerintahan, baik dari presiden maupun DPR. Beberapa kali rapat dengar pendapat (RDP) antara KPK dan DPR juga banyak diwarnai pertanyaan DPR tentang kasus apa yang sedang ditangani KPK dan upaya pencegahan KPK. ”Padahal, program pencegahan banyak sekali dilakukan oleh KPK, tetapi seakan-akan tidak ada dukungan yang riil kepada KPK,” katanya.
Membangun kelembagaan
Saat KPK sedang bergulat dengan dasar hukum yang baru, Mahkamah Konstitusi (MK), ”anak reformasi” lainnya, juga sedang menggantang nasib dengan adanya RUU MK yang diinisiasi DPR. Isi draf RUU itu dinilai kontroversial karena tidak menyinggung penguatan kelembagaan, tetapi lebih fokus mengatur syarat usia hakim, usia pensiun hakim, dan lamanya masa jabatan pimpinan MK.
Mantan hakim MK, I Dewa Gede Palguna, menyayangkan substansi di dalam RUU MK yang tidak mengatur penguatan kelembagaan MK, seperti tentang perlunya pengaturan hukum acara MK, kejelasan syarat kapasitas dan integritas calon hakim MK dalam perekrutan, dan pengaturan kewenangan MK menyidangkan pengaduan konstitusional warga. Namun, sebaliknya di dalam draf RUU MK hanya diatur tentang syarat usia calon hakim 60 tahun, masa pensiun hingga 70 tahun, dan masa jabatan ketua MK hingga 5 tahun.
”Kesannya substansi draf RUU itu memanjakan hakim MK dengan aturan masa pensiun dan perpanjangan masa jabatan pimpinan. Tetapi, substansi itu tidak menguntungkan, malah merugikan MK karena menjadi sorotan publik. Wajar jika publik bertanya-tanya apa yang menjadi alasan revisi UU MK dengan substansi seperti itu,” kata Palguna.
Palguna berharap MK dikuatkan secara kelembagaan, sebagaimana tujuan awal lembaga itu didirikan, yakni untuk membangun konstitutional negara demokratis yang berbasis konstitusi. Regulasi yang dibuat sebaiknya menguatkan MK. Sebab, posisi lembaga seperti MK di banyak negara dipandang sebagai ko-kreator demokrasi. Penguatan kelembagaan MK, oleh karena itu, berpengaruh besar pada tumbuh kembang demokrasi.
Pengajar hukum tata negara Universitas Negeri Jember, Bayu Dwi Anggono, mengatakan, upaya pembalikan agenda reformasi melalui jalur konstitusional atau jalur legal, yakni melalui pembentukan UU, sangat berbahaya. Sebab, publik yang menolak upaya itu dapat dianggap sebagai penentang hukum atau mengabaikan ketentuan hukum.
Padahal, ketentuan yang diatur di dalam UU itu pada dasarnya tidak partisipatif, manipulatif, dan transaksional sehingga bertolak belakang dengan cita-cita atau agenda reformasi. UU itu pun rentan bertentangan dengan kehendak publik.
”Otoritarianisme tidak hanya dimanifestasikan dalam personifikasi orang atau sosok pemimpin tertentu, tetapi juga dalam bentuk pembuatan kebijakan atau undang-undang, yang secara legal, seolah-olah benar. Padahal, itu hanya bajunya yang legal, tetapi isi hukum itu dibuat dengan manipulated, kurang partisipastif, dan transaksional,” katanya.
Menurut Bayu, untuk terus menjaga cita-cita reformasi, pembentuk UU harus memiliki komitmen kuat untuk tidak melakukan pembalikan amanat reformasi melalui pembentukan UU atau melalui cara-cara yang seolah-olah demokratis.
”Ini penting untuk memastikan UU yang dihasilkan tidak bertujuan untuk melemahkan cita-cita reformasi. Di sisi lain, sebenarnya ada MK yang bisa mengoreksi UU tersebut, tetapi MK di satu sisi juga menghadapi upaya pelemahan serupa, sebagaimana dihadapi KPK,” kata Bayu.
Kini, publik menunggu sejauh mana pembahasan RUU MK ini akan berkembang. Publik tentu boleh berharap ”anak-anak reformasi”, seperti KPK dan MK, tidak dibiarkan lemah dan berjuang sendirian. Pelemahan ”anak-anak reformasi” sama halnya dengan pengkhianatan terhadap agenda reformasi. Sebab, lembaga-lembaga itulah yang setidaknya mewakili prinsip-prinsip hidup bernegara yang ingin dicapai oleh reformasi.