Ketamakan dan Kerakusan Bisa Memanfaatkan Pandemi Covid-19
Bencana nonalam Covid-19 memaksa pusat dan daerah alokasikan anggaran relatif cukup besar untuk penanganan dan bansos warga terdampak. Meskipun tujuannya baik, dananya bisa disalahgunakan akibat ketamakan dan kerakusan.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·5 menit baca
Bencana nonalam Covid-19 memaksa pemerintah pusat dan daerah mengalokasikan anggaran yang relatif cukup besar untuk penanganan virus korona dan bantuan sosial bagi warga yang terdampak pandemi tersebut. Meskipun alokasinya bertujuan untuk kepentingan warga, pemanfaatannya dapat berpotensi menyimpang dan disalahgunakan oknum pejabat di lapangan.
Apalagi jika tanpa tujuan mulia itu tak disertai perencanaan dan program yang baik, itikad baik dalam pelaksanaan, dan pengawasan optimal yang ketat dari berbagai pihak terkait. Siapa pun pengguna yang memanfaatkan anggaran tersebut tanpa akuntabilitas dan transparansi juga dapat terjebak dalam tindak pidana korupsi.
Sejauh ini, pemerintah pusat telah mengalokasikan anggaran hingga Rp 405,1 triliun melalui perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2020 untuk penanganan pandemi Covid-19. Sementara itu, total realokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah hingga 17 April 2020 mencapai Rp 56,57 triliun.
Pengalaman selama ini menunjukkan, besarnya anggaran penanganan bencana rentan dan rawan disalahgunakan, bahkan dikorupsi di lapangan. Seperti terekam dalam laporan berbagai pemberitaan media massa selama ini.
Pengalaman selama ini menunjukkan, besarnya anggaran penanganan bencana rentan dan rawan disalahgunakan, bahkan dikorupsi di lapangan. Seperti terekam dalam laporan berbagai pemberitaan media massa selama ini, yaitu diduga terjadinya korupsi dalam situasi bencana, seperti gempa di Lombok, Nusa Tenggara Barat, belum lama ini. Pelakunya diduga justru anggota DPRD dan pegawai Kementerian Agama di Lombok Barat.
Dugaan korupsi juga terjadi pada gempa-tsunami di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah, yang terjadi dua tahun lalu. Buntutnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya menangkap pengusaha dan pejabat di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Pada bencana tsunami Selat Sunda, di Provinsi Banten, polisi juga menetapkan beberapa pegawai Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Drajat Prawiranegara, Serang, sebagai tersangka. Mereka diduga melakukan pungutan liar saat proses pengurusan jenazah korban tsunami di kawasan tersebut (Kompas, 28 Januari 2019).
Menanggapi hal itu, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, Rabu (13/5/2020) di Jakarta, mengungkapkan, manusia memiliki kecenderungan yang tak hanya bertahan untuk hidup, tetapi juga berusaha meraih posisi dan status tertentu dengan berbagai cara.
”Yang berbahaya adalah jika tidak ada visi yang menuntun arah kehidupannya. Dengan caranya menjadi machiavelis (menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan yang buruk). Uang, uang, dan uang (yang digunakan dan dikejar). Bukannya mengerahkan segala cara yang halal untuk mencapainya, justru sebaliknya, menghalalkan segala cara termasuk korupsi,” kata Fickar melalui pesan singkat saat ditanya.
Menurut Fickar, keinginan seseorang untuk melakukan korupsi bisa terjadi kapan saja tanpa terpengaruh ruang, waktu, dan situasi. Oleh karena itu, pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dijelaskan bahwa bencana nonalam termasuk bencana kesehatan seperti Covid-19, pengulangan tindak pidana korupsi, dan krisis ekonomi masuk dalam ”keadaan tertentu”.
Orang yang korupsi dalam ”keadaan tertentu” dapat hukuman yang berat, yakni hukuman mati. Namun, pada faktanya, meskipun sudah ada korupsi pada saat bencana alam, selama ini tidak ada yang dijatuhi hukuman mati oleh peradilan.
”Mungkin para hakim masih gamang karena tidak melihat korban atau akibat langsung dari korupsi yang mati atau terluka fisiknya dari perbuatan korupsi tersebut. Karena itu, hukum pun menjadi gamang, padahal sudah jelas aturan mainnya,” kata Fickar menambahkan.
Ia menuturkan, korupsi dalam masa pandemi Covid-19 ini sangat mungkin terjadi. Sebagai contoh, kasus staf khusus milenial Presiden, beberapa waktu lalu, melakukan sesuatu yang penuh muatan konflik kepentingan yang bisa menjadi sumber korupsi. Kacaunya pembagian bantuan sosial (bansos) dan persoalan akurasi data di lapamgan juga menggambarkan korupsi tak mengenal tempat dan waktu.
Mungkin para hakim masih gamang karena tidak melihat korban atau akibat langsung dari korupsi yang mati atau terluka fisiknya dari perbuatan korupsi tersebut. Karena itu, hukum pun menjadi gamang, padahal sudah jelas aturan mainnya.
Sependapat dengan Fickar, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, mengungkapkan, situasi pandemi seperti sekarang ini bukan tidak mungkin digunakan untuk korupsi secara bersama-sama oleh aparat pemerintah dan pihak lainnya. Sebab, aliran bantuan dari pemerintah untuk masyarakat terbilang besar dan minim pengawasannya di lapangan.
Oleh karena itu, UU Tipikor harus ditegakkan. UU Tipikor membuka peluang pemberatan hukuman jika pelaku kejahatan mengambil keuntungan pada saat situasi seperti sekarang. Meskipun demikian, ICW tidak sepakat dengan klausul hukuman mati karena idealnya adalah pemidanaan penjara yang maksimal dan mengedepankan aspek pemulihan kerugian negara.
Integritas
Dalam Jurnal Integritas Volume 1 yang diterbitkan oleh KPK pada November 2015, Listyo Yuwanto dari Fakultas Psikologi Universitas Surabaya, mengutip Utari I.S (Pendidikan Anti-Korupsi untuk Perguruan Tinggi, 2011), menuliskan, faktor internal yang mendorong perilaku korupsi adalah aspek perilaku individu, yaitu sifat tamak atau rakus manusia, moral yang kurang kuat, serta gaya hidup yang konsumtif dan hedonistik.
Sejalan dengan pemikiran Utari, Yuwanto menambahkan, faktor internal juga menjadi pendorong perilaku koruptif adalah nilai yang dimiliki seorang individu. Nilai merupakan keyakinan seseorang yang mendorong perilaku untuk mencapai sebuah tujuan.
Wakil Ketua KPK periode 2015-2019 Saut Situmorang menambahkan, jika persoalan integritas yang menjadi masalah, tidak akan mengenal ruang dan waktu. Korupsi bisa terjadi karena ada kekuasaan atau kekuatan yang disimpangkan oleh individu atau kelompok secara terbuka ataupun tertutup.
”Psikologi korupsi itu dikaitkan dengan sejauh apa seseorang mampu mengendalikan (dirinya) agar tidak mengambil yang bukan haknya. Sebagai contoh bentuk korupsi adalah perbuatan curang,” kata Saut.
Kalau ada kemauan dan ada kesempatan, bisa saja terjadi korupsi. Saat pandemi seperti sekarang ini, kesempatannya akan semakin besar jika tidak ada pengawasan yang ketat. Jadi, kalau (ada seseorang) yang tetap (punya) niat, sekarang semakin lebih mungkin bisa terjadi korupsi.
Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan mengungkapkan pula, peluang korupsi dalam situasi pandemi menjadi semakin terbuka. ”Kalau ada kemauan dan ada kesempatan, bisa saja terjadi korupsi. Saat pandemi seperti sekarang ini kesempatannya akan semakin besar jika tidak ada pengawasan yang ketat. Jadi, kalau (ada seseorang) yang tetap (punya) niat, sekarang semakin lebih mungkin bisa terjadi korupsi,” kata Pahala menjelaskan.
Dengan situasi serba darurat, kecepatan mengambil keputusan atau bertindak dinilai menjadi lebih penting meskipun pelaksanaannya kedodoran dan bisa terjadi kemungkinan penyimpangan. Ujungnya, regulasi apa pun bisa ditabrak secara sengaja dengan alasan harus segera bertindak cepat dengan dalih unsur kedaruratan dan bencana tersebut.
Alasan harus segera bertindak tersebut itulah yang ujungnya sering terjadi peluang korupsi karena aturan yang ditabrak memenuhi unsur tindak pidana korupsi. Apalagi, jika ada itikad kurang baik yang melandasi tindakan dengan memanfaatkan situasi yang ada untuk mengambil kesempatan besar atau kecil-kecilan dengan memberi peluang untuk diri sendiri atau orang lain demi mendapatkan keuntungan. Oleh karena itu, risiko terjadinya korupsi akibat memanfaatkan situasi seperti itu, terutama pada saat pandemi Covid-19 seperti ini, semakin lebar dan terbuka.