Panja RUU Cipta Kerja mengundang dua pakar untuk menjelaskan metode praktik pembuatan UU dengan "omnibus law". Salah satu pakar menilai, penggunaan "omnibus law" tidak sesuai dengan UU No 12/2011.
Oleh
Rini Kustiasih
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pembentukan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang dilakukan dengan metode omnibus law berpotensi menabrak Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Sebab, sesuai kelaziman, pembentukan atau perubahan UU di Indonesia dilakukan dengan mengubah UU yang bersangkutan melalui proses yang holistik, dan tidak semata-mata menyatukan, mencabut, dan menghapus ketentuan tertentu dari banyak UU sebagaimana ingin diterapkan melalui RUU Cipta Kerja.
Dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) kedua dengan pakar dan publik, panitia kerja RUU Cipta Kerja menghadirkan mantan Sekretaris Negara Bambang Kesowo, dan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Satya Arinanto. Rapat dipimpin oleh Wakil Ketua Badan Legislasi DPR dari Fraksi Nasdem Willy Aditya, Rabu (29/4/2020) di Jakarta. Para pakar yang diminta pendapat terkait dengan konsideran, serta maksud dan tujuan, menyampaikan pandangannya melalui telekonferensi.
Bambang mengatakan, UU No 12/2011 menyediakan suatu panduan yang standar, jelas, dan baku dalam tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan. Sesuai ketentuan itu, perubahan suatu UU dilakukan dengan mengubah UU bersangkutan yang pembahasannya melibatkan pemerintah dan DPR. Oleh karena itu, perubahan UU bila merujuk pada UU No 12/2011 juncto UU No 15/2019 tentang Perubahan UU No 12/2011 tidak mengatur soal perubahan UU melalui metode omnibus law yang bisa mencabut, mengubah, dan menghapus berbagai ketentuan dari berbagai UU asal yang berbeda-beda sekaligus.
Menurut Bambang, pemahaman omnibus law yang semacam itu pun tidak tepat. “Omnibus law ini satu metode untuk merangkai pelaksanaan secara terpadu sebuah kebijakan politik dalam berbagai kegiatan yang masing-masing sudah diatur terpisah dalam banyak UU. Karenanya, omnibus ini hanya metode, bukan act, bukan pula law. Bukan langkah kodifikasi, dan bukan kompilasi,” katanya.
Merujuk dari berbagai praktik omnibus di Eropa, Amerika Serikat, dan Kanada, menurut Bambang, metode itu merangkai atau menyatukan aturan. Tetapi, omnibus bukan metode untuk mengubah, menghapus, atau mencabut ketentuan atau aturan. Omnibus pun keliru bila dipahami sebagai aturan sapujagad.
Metode omnibus law yang berusaha digunakan untuk membentuk RUU Cipta Kerja tidak bisa menghapus, mencabut, atau mengubah ketentuan di dalam UU asal
Dengan kerangka pemahaman itu, metode omnibus law yang berusaha digunakan untuk membentuk RUU Cipta Kerja tidak bisa menghapus, mencabut, atau mengubah ketentuan di dalam UU asal. Namun, pada kenyataannya, pemahaman berbeda selama ini dipegang oleh pembentuk UU, yakni dengan berpandangan metode ini dapat mengubah, mencabut, bahkan menghapus ketentuan tertentu. Bila perspektif itu yang dipegang oleh pembentuk UU, menurut Bambang, ada potensi UU No 12/2011 ditabrak. Oleh karena itu, DPR diminta hati-hati dan mewaspadai kemungkinan terjadinya ketidaksesuaian pembentukan UU.
“Sekarang kalau dikaitkan dengan RUU Cipta Kerja, lantas apakah seperti ini diikuti saja. Bagaimana caranya bisa mewujudkan satu tatanan cara pembuatan peraturan perundang-undangan yang baku dan jelas sebagaimana dipatok di dalam UU. Ataukah UU No 12/2011 dan UU No 15/2019 diluweskan saja, apa mau diubah. Atau mau kita tabrak saja, kita tidak lihat,” katanya.
Bambang mengatakan, UU No 12/2011 memang tidak secara jelas mengatur dan melarang metode omnibus law. Namun, karena tidak diatur, apakah artinya praktik itu boleh dilakukan. Anggota DPR pun diminta menimbang dengan jujur dan bijak terkait metode itu, sebab praktek yang selama ini berlangsung tidak seperti itu, yakni dengan menghapus, dan mencabut banyak ketentuan di dalam UU yang berbeda. Jika memang metode semacam itu yang diinginkan, seharusnya dilakukan perubahan terlebih dulu terhadap UU No 12/2011 juncto UU No 15/2019.
Praktik negara lain
Praktik omnibus law di Amerika Serikat, misalnya, dilakukan pada 1986. Ketika itu, AS menghadapi satu kasus pembajakan kapal pesiar di Italia yang mengakibatkan warga negaranya menjadi korban jiwa. Dengan kejadian itu, AS merespons dengan menambahkan aturan di dalam Diplomatic Sevices Act.
“AS menambahkan kebijakan politik dan diplomasi tidak hanya membela keamanan nasional, tetapi melindungi kepentingan nasional di mana pun. Lebih konkretnya, AS ingin melindungi warga negaranya karena warga mereka merupakan bagian dari kepentingan nasional. Sejak saat itu, tugas diplomasi termasuk juga melindungi warga negara AS di wilayah diplomasi masing-masing,” katanya.
Indonesia, menurut Bambang, pernah punya UU yang sebenarnya dibentuk dengan metode omnibus law, yakni UU No 9/2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) No 1/2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan Menjadi UU. Di dalam UU No 9/2017, memang tidak ada keterangan soal omnibus law, karena penggunaan metode itu dilakukan tidak dengan sengaja. Akan tetapi, praktik yang dilakukan sebagaimana pembentukan UU itulah yang dipandang sesuai dengan pengertian omnibus law.
“UU itu memberikan akses Dirjen Pajak untuk memeroleh informasi keuangan seluas-luasnya kepada perbankan, asuransi, dan pasar modal, dan lembaga keuangan lainnya tanpa mengubah UU di bidang perbankan, asuransi, dan pasar moda. Itu sebenarnya omnibus yang sejati, yang sebenarnya. Nah, berbeda dengan dengan yang sekarang ini (RUU Cipta Kerja),” katanya.
Sementara itu, berbeda dengan Bambang, Satya menilai omnibus law punya peran menyederhanakan regulasi, termasuk di antaranya mencabut ketentuan yang sebelumnya berlaku. Ia merujuk pada praktik penyederhanaan regulasi di era awal kemerdekaan hingga Orde Baru. Pada saat baru merdeka, Indonesia mewarisi 7.000 peraturan kolonial. Secara bertahap, regulasi warisan kolonial itu disederhanakan menjadi regulasi nasional, hingga menjadi sekitar 400 regulasi kolonial saja yang tersisa pada 1995. Hingga 1998, sebanyak 338 di antara sisa peraturan kolonial itu telah diolah menjadi 82 naskah akademik.
“Memroses 7.000 regulasi hingga menyisakan 400 regulasi, dan kemudian mengolahnya menjadi 338 regulasi, lalu diproses lagi menjadi 82 naskah akademik ini yang saya lihat menggunakan metode omnibus law,” katanya.
Sejumlah fraksi antara lain menanyakan kepada pakar bagaimana semestinya panja bersikap terhadap RUU Cipta Kerja, bila dikaitkan dengan UU No 12/2011. Menurut mereka, bila UU No 12/2011 dan UU No 15/2019 ditabrak tentu tidak pas. “Oleh karena itu, saya mohon pandangan, kira-kira bagaimana sikap panja terhadap RUU yang sedang kami bahas ini bila dihadapkan dengan UU No 12/2011 dan UU No 15/2019,” kata Guspardi Gaus, anggota panja dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN).
Terkait hal ini, Bambang menyarankan niat baik dalam menyusun RUU itu harus disertai dengan cara yang baik pula. Ia menyarankan agar perubahan dilakukan satu per satu terhadap UU asal sehingga sesuai dengan tujuan penciptaan lapangan kerja, membuka investasi, dan kemudahan perizinan. Perubahan UU itu bisa diprioritaskan oleh anggota DPR.
Sementara itu, Hendrik Lewerissa dari Fraksi Gerindra mengatakan, pembahasan RUU Cipta Kerja itu harus dilakukan dengan mengoreksi norma-norma yang tidak sesuai dengan konstitusi, Pancasila, dan UU No 12/2011 yang telah diubah dengan UU No 15/2019.
“Kita harus patuh mengikuti Pancasila sebagai sumber hukum tertinggi kita, dan UU No 12/2011 juncto UU No 15/2019,” ujarnya.
Kita harus patuh mengikuti Pancasila sebagai sumber hukum tertinggi kita, dan UU No 12/2011 juncto UU No 15/2019
Sementara itu, Sukamto dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tidak setuju dengan pendapat Bambang. Menurut dia, berbagai literatur menjelaskan metode omnibus law bisa mencabut dan menghapus sejumlah ketentuan, tidak sekadar menyatukan.
Anggota panja dari Fraksi PDI- Perjuangan Hendrawan Supratikno mengatakan, partainya setuju meneruskan pembahasan RUU Cipta Kerja, tetapi tidak dengan tergesa-gesa.
“Kita siap membahas ini secara serius, karena itulah tidak mau tergesa-gesa. Energi optimisme harus kira pelihara, supaya bisa melahirkan UU yang baik, dan disusun dengan cermat, hati-hati, dan efektif,” katanya.